Keabadian Kepatuhan

Jikalau engkau mampu mengingat, aku hadir di setiap peristiwa penting hidupmu.
Aku hadir di saat pertama kali engkau memasuki tahun pertama sekolahmu.
Aku hadir di saat kelulusan kuliahmu.
Aku hadir di saat pernikahanmu.
Aku hadir di saat engkau harus memakamkan orang tuamu.
Kini, aku hadir di sampingmu, menemanimu dengan setia di samping tempat tidur.
Aku tetap hadir di sini, walau terkadang engkau melupakan keberadaanku.

Wajahmu terlihat tua, keriput yang semakin terlihat.
Namun aku masih mengenalmu, tidak hanya sekedar wajah.
Terlihat semangat mulai meredup seiring tahun yang berlalu.
Seolah tak adil, roda waktu terasa terlalu cepat berputar.
Menggilas semua bara api kehidupanmu, namun gagal menghilangkan gairahmu.
Sayang... Badanmu sudah tak mampu menampung luapan gairah.
Engkau terlalu renta.

Janganlah takut, Kasih.
Aku tetap di sini.
Garis waktu takkan mampu menghilangkanku dari sisimu.
Aku ditakdirkan untuk selalu ada demi engkau, wahai makhluk termulia.
Engkau patut bahagia, penuh impian.
Aku patut terdiam, patuh.

Engkau patut mendapatkannya, alam semesta.
Aku patut terdiam....

Patuh...

Masih Rapuh

Di bawah hamparan cahaya kuning temaram, gue terduduk merapatkan punggung ke tembok putih yang tertutup lembaran-lembaran poster. Gue masuk, terjebak mungkin lebih tepat, dengan situasi aneh yang belum pernah gue alami sebelumnya. Pengalaman gue yang terdahulu sudah mengajarkan untuk tidak terlalu berharap banyak dan terlalu mempercayai perasaan yang kerap menutup logika. Dulu harapan-harapan itu gue bentuk sendiri. Gue membuatnya dari awal, yang perlahan-lahan akan menjadi bangunan kokoh. Namun kerap kali pula bangunan itu masih setengah terbangun dan gue harus menghancurkannya. Rata dengan tanah. Terkadang gue harus hentikan kala dia masih rapuh, hanya supaya mudah gue rubuhkan sampai tak tersisa bahkan puing-puingnya yang terkecil. Gue selalu mempersiapkan hati dan diri untuk menerima segala keadaan.

Sekarang gue menghadapai sebuah masalah (bukan masalah mungkin, tapi lebih kepada dilematika yang terus kebawa mimpi) yang sedikit mempengaruhi segala persepsi gue sedari awal. Pertama-tama gue udah memutuskan untuk tidak membangun sebuah fondasi di tempat tersebut. Gue sedikit, bisa dibilang, terobsesi untuk menempatkan sebuah tiang pancang besar di tempat lain. Namun setelah tiang pancang tersebut berdiri dan payung harapan mulai berkembang, tanpa gue sadari seseorang telah masuk ke salah satu ruang kosong tanpa izin. Di sana, sosok tersebut mulai membangun sebuah harapan maya. Gue masih ragu untuk bisa menyebutnya nyata. Keraguan ini muncul karena tidak adanya fondasi yang mengikat dasar harapan tersebut. Ibarat seperti tenda yang Cuma menancapkan pancang-pancangnya yang pendek ke dalam pasir. Tapi, gue memutuskan untuk meneruskan sebangun harapan tak berfondasi ini.

Ikatan-ikatan kecil yang terjalin mulai merapatkan gue. Sebuah perasaan yang gak tau darimana datangnya semakin menyesakkan dada, namun terasa sedikit menusuk jantung. Luka-luka kecil seolah menjadi penanda, tapi gue menganggap itu adalah pertanda. Gue lagi-lagi harus menyiapkan segala kemungkinan. Ekspektasi baik dan buruk udah ada di kepala dibarengi dengan akibat-akibatnya di depan mata.

Sepeda Pinjaman

Dan aku menganggap relung di hati telah terisi
Kehampaan yang menjadi pengharapan kupikir telah terganti
Sejumlah pesn yang terkirim lewat heningnya udara kumaknai
Sejumput harapan kupetik dari waktu yang terasa takkan terganti.

Pertemuan yang teriring dengan lagu-lagu cerita
Semilir angin malam nan dingin tak menhentikan ayunan kakiku
Sepeda pinjaman itu terus berlari di atas aspal yang kering akibat kemarau
Ditemani lampu-lampu sepeda motor yang terus menerus menyusul selagi aku berjalan di pinggiran trotoar
Nafas yang masih teratur berharmoni dengan jantung yang telah bekerja sedemikian cepat
Lelah kuabaikan sudah hanya untuk bertemu dia.

Aku menunggu kedatangannya di komplek gereja.
Sembari melepas lelah, sebatang rokok yang tersisa tadi siang kuhisap dalam-dalam.
Dan terlihat sudah bayangannya yang berjalan
Sinar lampu jalan nan temaram semakin memperjelas sosoknya
Masih lelah namun memperlihatkan keindahan senyuman

Aku pun tenggelam dalam tawa-canda
Pribadi yang indah dan suaranya yang khas seolah tertanam dalam segenap memori
Aku kecanduan dengan hadirnya

Sampai aku melihat wajah lelaki itu terpampang serasi di sampingnya
Gambar yang mampu meredam segala gejolak yang telah aku pikul
Terdiam sejenak, senyumku menghilang perlahan
Hening
Aku kembali mengayuh sepeda pinjaman itu
Hening dan tak lagi bergejolak

Hening...

Untitled Utopia

Masing-masing dari kita tentu percaya bahwa ada “sesuatu” di balik segalanya. Selalu ada hubungan sebab dan akibat di kehidupan kita. Kita percaya kalo seluruh tataran angkasa dan jajaran planet serta sebaran bintang-bintang ini diciptakan oleh sebuah “Maha Elemen”. Kita juga tentu percaya kalo daging yg akan membusuk ini diisi dengan jiwa dan roh oleh “Maha Sesuatu” pula. Dan sampai detik ini, beberapa orang di seluruh belahan dunia pasti setuju kalo Maha Elemen dan Maha Sesuatu itu punya sebutan “Tuhan”.


Para ilmuwan di luar sana sudah mencoba segala cara utk menjadi (setidaknya menyamai) Sang Maha Elemen tsb. Dan sekarang gue udah menemukan cara yg lebih simpel utk jadi Tuhan.


Menulis adalah cara lo menjadi Tuhan. Kata-kata yg kita rangkai menjadi kalimat akan semakin tersusun dan membentuk sebuah “dunia” baru. Cerita yg berisi tokoh2 yg dgn leluasanya lo bentuk sendiri. Lingkungan yg dgn semaunya bisa lo tentukan seenak jidat. Tokoh di dunia lo adalah keputusan prerogative lo. Lo yg membentuknya dari awal, lo pula yg menghembuskan jiwa ke dalamnya. Dunia yg masih kosong berwarna putih lo bentuk perlahan-lahan dan menjadi keputusan lo utk menjadikan bentuk akhirnya. Takdir para tokoh di dalam cerita. Kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan, kebahagian, kemunafikan. Lo yg berkuasa di dunia itu. Alur cerita yg lo susun sendiri. Awal terbentuknya cerita sampai akhirnya, semua ada di jemari lo.


Sayangnya, gue sering banget gagal nyelesain dunia gue. Kadang dunia bentukkan gue terlalu sempurna. Sebuah utopia. Tanpa kenegatifan. Tokoh yg gue buat seringkali terlalu perfect utk menjadi nyata. Dan akhirnya seringkali gue iri dan cemburu dgn mereka. Karna terlalu sempurna, akhirnya gue memutuskan utk membunuh mereka tanpa mereka tahu apa yg akan terjadi di akhir jalan cerita.
Dunia gue yg terlalu sempurna terbengkalai gitu aja. Mereka udh terbentuk dgn rapinya, tapi sayang terlalu sempurna. Kesempurnaan memang gak bisa didiamkan. Harus ada sebuah noda di dalam dunia sehingga dia tetap berjalan. Mereka bilang itu adalah keseimbangan. Tapi pribadi ini bilang bahwa itu adalah satu-satunya cara gue menelisik lebih dalam, berpeluk lebih menyatu dengan-Nya.


diambil dari: tovalzky.tumblr.com

Uneg-uneg Sepakbola Awam


Kemarin (Selasa malam, 6 September 2011) gue menyempatkan diri buat nonton pertandingan Indonesia melawan Bahrain via televisi di ruang tamu rumah gue disertai dengan perasaan miris. Miris karena ternyata timnas Indonesia tidak bermain sesuai dengan harapan gue pribadi. Awal-awal babak pertama para pemain Indonesia terlihat mempunyai determinasi tinggi, terus-menerus menyerang pertahanan Bahrain. Keliatan jelas Bahrain sedikit kerepotan menjaga daerah pertahanannya. Tapi lama-kelamaan, gak tau kenapa, determinasi tersebut surut perlahan-lahan. Para pemain mulai kehilangan fokus dan kehilangan kontrol. Penguasaan lini tengah mulai terlihat kendor dan malahan kosong sama sekali. Dulu ada pepatah yang bilang kalo nyawa/roh permainan sepak bola ada di lapangan tengah. Ahmad Bustomi yang kala itu berduet bareng Firman Utina gagal, walaupun gak sepenuhnya, menjadi jangkar buat tim. Tiga gelandang serang di depan mereka berdua terpaksa berjuang sendirian. Boaz memang seringkali melakukan penetrasi ke sayap lawan lewat umpan lambung dari lini belakang. Tapi kerap gagal karena tidak ada dukungan dari belakang. M. Ridwan yang berposisi sebagai penyerang sayap pun acap kali bentrok dengan pemain lawan tanpa tersokong. Giliran Bambang Pamungkas yang berposisi sebagai second-striker yang terus mendera gawang Bahrain lewat tendangan dari luar kotak penalti. Sundulan kepalanya hasil umpan brilian Boaz dari sayap kanan juga menerpa sisi gawang Sayed Jaffer.

Otomatis gue akan membandingkan timnas saat berada di rezim Alfred Riedl. Penumpukkan lini tengah dengan empat pemain yang dikomandoi Firman Utina nyatanya berhasil menyeimbangkan kinerja tim. Kala itu Riedl berpendapat bahwa tidak ada pemain Indonesia yang mempunyai skill seperti pemain-pemain tengah Arsenal atau Barcelona, maka itu dia mengandalkan serangan dari sayap. Kiri dikuasai Okto Maniani sedangkan kanan dipegang M. Ilham. Gelandang tengah dijaga duet Firman Utina dan Ahmad Bustomi. Bek sayap kala itu adalah M. Nasuha dan Zulkifli Syukur. Dua pemain bertahan ini kerap membantu sayap tim ketika mereka kehabisan akal menggedor pertahanan lawan. Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales jadi andalan di garis depan. Dua juru gedor ini sangat berbeda tipe. El Loco menurut gue adalah tipe finisher sedangkan Bachdim lebih ke second striker, berdiri di belakang striker utama untuk menyokong striker utama. Bachdim juga sering diharapkan untuk berlari dari lini kedua membantu serangan di dalam kotak penalty ketika Gonzales mengalami dead-lock. Secara teknis, ini adalah tim yang sangat seimbang. Riedl berani mengganti striker tradisional Indonesia, yaitu Bepe dan menggantikannya dengan pemain hasil naturalisasi Belanda yang bisa dibilang baru mengenal karakter permainan timnas Indonesia saat itu. Walaupun tidak berhasil sepenuhnya, jujur saja, kala itu keliatan banget permainan Indonesia ada kemajuan pesat.

Beralih ke era Wim Rijsbergen, keliatan banget dia maksain formasi 4-2-3-1. Memang Ahmad Bustomi dan Firman Utina tetap jadi duet di lapangan tengah. Tapi formasi yg telalu rigid memaksa mereka bekerja keras sendirian. Ketika tugas mereka ada menyambung suplai bola dari pemain bertahan kepada penyerang dan gelandang serang, mereka malah terlihat linglung di sana. Kontrol yang terlalu lama dan bingung menentukan arah bola sering kali terjadi. Peran destroyer dan supplier agak rancu di antara mereka berdua. Dua sayap terkadang diharuskan untuk mencari bola sampai belakang. Malah bola-bola panjang kerap diluncurkan langsung dari belakang. Duet Utina-Bustomi tenggelam. Mereka berdua tidak terlihat sama sekali di lapangan. Cristian Gonzales yang sempat moncer di era Riedl juga ikut-ikutan kebingungan. Krisis identitas lapangan kalo gue boleh sebut. Bepe dan El Loco sebenernya dua penyerang yang mirip cara bermainnya. Keduanya adalah finisher, striker. Bepe sangat dipaksa menjadi supporter penyerang utama. Kecepatannya udah gak kayak dulu lagi semasa dia muda. Hasilnya serangan dari lini kedua sama sekali gak ada. Kalo lini belakang, kayaknya udah gak usah diomongin lagi, lah. Belum ada penampakkan yang menurut gue baik. Bola-bola atas masih jadi kelemahan paling mendasar. Tackling ala Indonesia (baca: ngawur; tarkam) masih menghiasi permainan Indonesia. Selebihnya, gak ada yang harus gue gambarkan lagi.

Namun, hal utama yang gue lihat waktu pertandingan kemarin adalah sikap supporter yang masih rada kampungan. Menyalakan petasan dan mercon kala menyanyikan “National Anthem”, serta dilanjutkan lagi pada menit 75 (kalo gak salah) ketika Indonesia sudah ketinggalan 0-2. Akhirnya official FIFA pun bergerak menghentikan permainan dan pemain Bahrain pun segera masuk ke ruang ganti. Tinggal pemain-pemain Indonesia yang duduk termenung meratapi nasib. Cuma segelintir pemain aja yang masih berusaha menanyakan keputusan tersebut kepada para official pertandingan. Malah Boaz gue liat udah melepas kostumnya dan ngobrol sama Gonzales sambil nunjuk-nunjuk tribun penonton. Gak tau dah apa yang mereka omongin. Mungkin mereka lagi ngatain penonton kayak manusia purba yang gak tau aturan. Jelas-jelas udah ada larangan dilarang bawa mercon dan petasan ke dalam stadion, eh.. masih aja tuh orang-orang udik ngotot. Waktu perhelatan Piala AFF pun keliatan jelas kalo penonton Indonesia juga sempat nyalain mercon. Gue agak lupa di pertandingan apa, tapi terlihat jelas kalo asap hasil pembakaran bahan peledak ringan tersebut sempat menutupi lapangan hijau. Gue kira kabut, coy. Ternyata asap mercon. Yaudahlahya.. Udah keliatan banget selain secara teknik, kita pun ternyata belum siap secara mental untuk menghadapi aturan dan kekalahan. Memang harus dirombak dari bawah banget.

Eits.. Masih ada satu uneg-uneg gue soal sepakbola kemarin. Mengenai RI 1 yang gembar-gembor via media kalo mereka dan rombongan harus merogoh kantong demi membeli tiket (maksudnya pengen nunjukin kalo doi gak nonton gretongan), terus dateng telat dan pertandingan udah berjalan (kalo gak salah udah 10 menitan, yeh?), dan akhirnya pulang duluan waktu Indonesia udah ketinggalan 0-2 (katanya sih doi kecewa sama pendukung timnas yang nyalain petasan+mercon di dalem stadion). Serius deh, Bro. Dateng telat trus pulang duluan? What the FUCK..!!?? Kalo leadernya aja udah begini, jangan salahin followernya kalo bertindak lebih buruk. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

In the end, memang persepakbolaan Indonesia gak sekedar dibenahi. Tapi dirombak, dihancurkan, lalu dibangun perlahan-lahan dari awal. Dulu kita terjebak dengan euphoria #NurdinTurun. Sekarang Nurdin Halid lagi cekikikan di rumahnya sambil nyumpah-nyumpahin kita. Dan ternyata saudara-saudara, bukan cuma sepakbola doang yang kudu dirombak, nyata-nyatanya NKRI ini juga harus dihancurkan dan dibangun dari awal. Mental kita belum siap buat merdeka. Kita merdeka akibat Jepang kalah WO dari Amerika gara-gara bom atom di Hiroshima-Nagasaki. Idealisme demokrasi yang didewa-dewakan oleh para pendiri negeri ini gagal didefinisikan oleh para penerusnya. Kepala mereka mulai terenggut dengan hal-hal di luar kepentingan rakyat. Penyelesaian menurut gue pribadi adalah, bubarkan NKRI. J

Transformers: Dark Of The Moon [2011]


Seiring menyurutnya larangan film-film Hollywood untuk tayang di bioskop Indonesia, gue semakin excited dengan kabar bahwa franchise terakhir dari film fenomenal Transformers akan ikut tayang dalam waktu dekat. Akhirnya keinginan gue pun terkabul. Setelah cukup dikecewakan dengan seri keduanya, Transformers: Revenge Of The Fallen, gue cukup menaruh ekspektasi tinggi terhadap seri terakhir film ini.

Film ini dibuka dengan cerita sang pemeran utama Sam Witwicky (Shia LaBeouf) dan Carly Spencer (Rosie Huntington-Whiteley). Tidak diceritakan bagaimana awalnya hubungan mereka dan akhir dari hubungan Sam-Mikaela Banes (Megan Fox). Lalu cerita langsung beralih kepada aksi kepahlawanan lascar Autobots dalam membantu manusia membasmi kejahatan di berbagai negara, hingga mereka menemukan sebuah informasi di Chernobyl tentang adanya sisa-sisa pesawat Cybertronian dari planet Cybertron. Decepticon pun tidak tinggal diam. Mereka merencanakan sebuah rencana jahat untuk menghancurkan bumi dan menjadikan manusia sebagai budak-budaknya. Sedangkan Sam Witwicky masih harus membuktikan diri bahwa dia adalah juga seorang pahlawan bersama rekan-rekan lamanya Lennox (Josh Duhamel) dan Epps (Tyrese Gibson). Namun dibalik semua itu, ternyata tersembunyi juga rencana jahat dari bekas pemimpin Autobots, Sentinel Prime, yang tidak diketahui oleh Optimus Prime dan rekan-rekannya. Perang hebat antara robot pun tersaji dan Sam harus kembali menjadi salah satu dari penyelamat bumi.

Keseluruhan jalan cerita ini sebenarnya sangatlah datar. Konflik kecil namun sensitive antara Sam dan Carly (mengenai pendapatan) menjadi kunci dari segala permasalahan di film ini. Isu-isu pengkhianatan sering diumbar di dalam cerita. Tapi entah karena memang kurang tertata rapi sehingga agak bisa tertebak atau memang sengaja tidak disembunyikan secara baik karena notabene ini memang film summer. Film yang sengaja dibuat untuk hiburan sehingga tidak begitu mementingkan efek-efek kejutan. Yang membuat gue pribadi sedikit mengejutkan adalah ketika ternyata Sentinel Prime berpihak kepada Decepticons. Sosok Sentinel Prime bisa dikatakan sebuah individu anti-hero. Dia terpaksa melakukan sesuatu yang jahat demi menyelamatkan planet asalnya. Perannya cukup mengkerdilkan Megatron. Yang paling mengejutkan gue adalah kematian seorang tokoh di kelompok Autobots. Damn..!! Dia salah satu idola gue di film pertama.

Ekspektasi gue terhadap film ini bener-bener menurun drastis. Di awal launching, sutradara dan para pemain seolah mempromosikan bahwa akan lebih mementingkan jalan cerita. Oleh sebab itu, Michael Bay berikrar akan mengurangi jumlah robot dan lebih mendalami sisi-sisi karakteristik tiap tokoh. Namun semuanya gagal. Aktik pas-pasan si model lingerie sama sekali gak nolong. Peran stagnan Sam Witwicky dari dua episode sebelumnya juga gak berkembang. Malah dua orang tua Sam, Ron dan Judy, malah ditenggelamkan. Padahal di episode kedua, Rise Of The Fallen, peran mereka sedikit banyak berhasil menumbuhkan sisi-sisi kemanusiawian Sam. Hubungan orangtua dan anak di cerita tersebut berhasil tergali. Namun di installment ketiga terasa hambar tanpa dua “pengganggu” tersebut. Bay jelas gagal dengan niatannya untuk fokus pada tokoh-tokoh utama manusia. Cerita dirangkum dengan segala kedataran tanpa dinamika berarti. Tapi film ini gak seluruhnya buruk. Visual effect yang semakin memukau berhasil tersaji. Adegan-adegan slow motion berhasil membuat rahang lo jatuh. Pertarungan antar robot yang dikemas dengan detil, serpihan-serpihan metal yang melayang ketika terjadi bentrokan membuat gue terpana. Tapi yang membuat gue sedikit bertanya-tanya, cairan merah apa yang keluar dari luka-luka para robot? Darah atau mungkin minyak rem yang bocor akibat benturan? Hmmm… Absurd.

Overall gue akan memberikan dua jempol ke atas untuk visual effect dan dua jempol ke bawah untuk jalan cerita. Ow.. Ow… Gue juga bakalan ngasi empat jempol ke atas buat Rosie Huntington-Whiteley. Bukan untuk aktingnya, tapi untuk bodinya yang luar biasa. So, I’ll give 5.5/10.

The Edge [1997]

Apa yang terjadi ketika seorang jutawan/milyarder terkenal pada akhirnya terjebak di tengah hutan dan alam liar? Kisahnya dimulai ketika Charles Morse beserta istri (diperankan Elle MacPherson) dan rombongan mengikuti liburan di Alaska. Liburan mereka akhirnya berubah menjadi sedikit mencekam ketika salah satu orang kepercayaan Morse, Robert Green (Alec Baldwin) mengajaknya untuk mencari seorang Indian untuk dijadikan model fotonya. Morse, Green, dan satu rekan lainnya Stephen (Harold Perrineau) menjelajahi alam Alaska demi mencari sang Indian. Nasib tak memihak mereka, pada akhirnya pesawat amfibi yang mereka gunakan pun terlibat kecelakaan. Morse, Green, dan Stephen dipaksa untuk bertahan di alam liar. Dengan segenap pengetahuan yang dimiliki oleh Charles Morse, mereka diharuskan bertahan hidup di alam liar dan juga serangan beruang ganas pemakan manusia. Insting bertahan sekaligus intrik-intrik pengkhianatan tersaji hingga akhirnya sisi kemanusiaan mereka harus diuji sedemikian rupa. Milyarder tua yang menghadapi ganasnya alam Alaska.

Alasan gue menonton film ini adalah karena kehadiran Anthony Hopkins sebagai pemeran utama. Ditambah pula nama Alec Baldwin yang cukup mentereng pada jamannya. Awal-awal cerita, sosok Charles Morse berhasil dibawakan sedemikian rupa oleh Hopkins. Tokoh Green (Alec Baldwin) juga berhasil menjadi penyeimbang. Namun sesampainya di tengah-tengah cerita, gue merasa agak janggal dengan pembawaan Hopkins. Entah karena gue terbiasa melihat dan menonton dia di franchise Hannibal Lecter atau memang dia kurang cocok memerankan tokoh yang selalu dikelilingi orang-orang bawel sejenis Robert Green dan Stephen. Hopkins seolah kehilangan sentuhannya. Justru tokoh Robert Green-lah yang pada akhirnya berperan menonjol. Baldwin sedikit banyak berhasil menggambarkan secara maksimal tokoh tangan kanan Morse di perusahaannya. Hopkins lebih cocok berperan sebagai tokoh-tokoh yang berdiri sendiri tanpa terkelilingi siapapun. Lihatlah peran-perannya sebagai Hannibal Lecter atau Ted Crawford di film Fracture. Justru aktingnya sangatlah monumental di dua film tersebut. Sendirian melakukan apa yang dia pikirkan tanpa terpengaruh orang lain, justru orang-orang di sekelilingnyalah yang terpengaruh oleh daya magis ucapan-ucapan dan sikap-sikap maniaknya.

Jalan cerita di film ini terkesan standar tanpa kejutan apapun. Isu survival di tengah rimba tidak dibungkus dengan rapi walaupun banyak sekali pelajaran mengenai cara bertahan hidup di hutan yang diumbar di film ini dan rata-rata memang sebagian besar adalah benar adanya. Cara membuat kompas dengan jarum yang dibuat dengan magnet listrik statis, menentukan utara-selatan dengan melihat konstelasi bintang, dan pelajaran-pelajaran survivalisme lainnya. Isu mengenai pengkhianatan anak buah terhadap sang Bos pun terkuak di akhir cerita yang sejak awal-awal film memang dikembangkan. Inilah yang membuat cerita jadi sedikit berantakan. Apa yang mau dikemas? Survival di tengah hutan sambil melawan beruang Kodiak atau kepercayaan terhadap sesama?

Kalau Anda adalah salah satu penggemar berat Anthony Hopkins, mungkin sebaiknya Anda kembali menonton The Elephant Man sebagai penetralisir. Tapi, jika Anda memang ingin film-film hiburan ditambah pengetahuan cara bertahan hidup di hutan, film ini bisa dijadikan alternative.

Rekoleksi Sebuah Perdebatan Kaum Awam

Dua hari (6-7 Agustus 2011) gue mengikuti rekoleksi di St. Monica 2, Bogor. Perjalanan dimulai dari Jakarta, menembus tol menuju Bogor. Sedikit terhambat dengan kemacetan dan matahari yang masih setia menghangatkan bumi. Ini pertama kalinya gue mengikuti rekoleksi Komkep KAJ setelah dua tahun belakangan gue selalu digoda untuk tidak mengikutinya. Isi yang tidak begitu menarik dan klise adalah alasan yang sering keluar dari mulut para berpengalaman yang telah mengikuti rekoleksi ini sebelumnya. Gak ada ekspektasi apa pun dari gue dan gue memang tidak mempunyai pandangan apa pun. Hari pertama gue lewati dengan kesan yang biasa-biasa aja. Beruntung gue bertemu dengan rekan-rekan yang dalam waktu dekat langsung menjadi sahabat seperjuangan di dua hari nan pendek tsb. Beruntung di sana tidak ada warung yang menjual anggur merah cap Orang Tua karena masih masuk dalam bulan puasa.

Hari kedua, jam 6 pagi, dimulai dengan senam a la Warkop DKI dan dilanjutkan dengan senam penguin (yang asli, agak gak jelas tujuannya) serta ditutup dengan main bola bareng. Beberapa wajah urung terlihat karena baru tertidur jam 5 pagi. Mandi dan makan pagi, akhirnya sesi ketiga (dua sesi dari hari pertama gak gue jelaskan karena memang kurang berkesan buat gue) dimulai. Gue sedikit lupa dengan judul yang akan dibawakan pada sesi ketiga tersebut, tapi entah mengapa pada akhirnya sesi tersebut tiba-tiba menjadi sebuah perdebatan antara peserta dengan panitia. Semua berawal dari pertanyaan mengenai Pastor moderator yang kurang aktif, cuek, dan mempunyai sikap negative lainnya yang tidak mampu merangkul anak muda. Romo Yadi dan Kak Maria mencoba menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Gue agak lupa kenapa tiba-tiba ada perdebatan mengenai jatah 5% yang menjadi “hak” pengembangan anak muda. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin berkembang dan terus berkembang. Dari yang memprotes ketidak-transparanan mengenai dana untuk anak muda sampai mereka yang menyanggah bahwa dana dari gereja (atau Dewan Paroki) memang tidak terlalu dibutuhkan untuk memandirikan anak muda. Sesi sharing berubah menjadi perdebatan alih-alih diskusi. Gue? Gue memilih cabut keluar dari ruangan. Debat yang gak jelas arah tujuannya semakin diperkeruh dengan penjelasan dari Komkep yang tidak menjelaskan secara tuntas yang akhirnya malah semakin memancing pertanyaan kritis dari berbagai paroki. Gue mendingan ngerokok sambil ngedengerin ocehan-ocehan yang udah sering banget gue terima dari pastor moderator gue di paroki.

Sesi ketiga ditutup (paksa) akibat keterlambatan jadwal. Gue melahap makan siang sambil mengobrol dengan beberapa teman. Ketertutupan dalam menjelaskan menjadi pertanyaan dari beberapa OMK. Persis seperti yang gue rasakan. Masih ada rasa ketidak-puasan dari segala penjelasan tersebut. Temen gue sempat berujar, “Judul pertemuan ini ‘REKOLEKSI’, tapi kenapa jadi kayak debat Parpol gini?”. Gue cengar-cengir sambil jawab, “Pertanyaan yang dijawab setengah-setengah bakal bikin perdebatan.”

Setelah foto bersama, akhirnya gue dan rombongan pulang dan kembali menuju Katedral. Rasa lelah menggantung di sekujur tubuh. Namun semangat perubahan tak pernah hilang dari diri. Sistem harus dibuat secara proporsional sehingga mampu berfungsi secara optimal. Sejujurnya, gue tidak mendapatkan apa pun dari Rekoleksi ini, kecuali penjelasan-penjelasan klise, teman-teman seperjuangan idealisme, dan rasa capek yang terlingkar di leher.

Maha Esa

Waktu itu, siang hari sebelum jam makan siang, gue berjalan terburu-buru. Resep yang seharusnya gue tebus kemarin sore terbawa pulang, menyelinap di kantong celana jeans gue. Gue berjalan agak cepat, kadang berlari kecil, sambil menghindari orang-orang yang berjalan pelan di depan gue. Kebetulan kamar rawat nyokap gue berlokasi agak jauh dari dari apotik di rumah sakit ini. Sepuluh menit perjalanan antara dua tempat itu. Sesaat kemudian, wangi obat-obatan semerbak tercium. Bebauan yang sangat familiar di seluruh koridor rumah sakit. Udah terlalu sering gue menciumnya. Akhirnya, gue pun sampai di apotik. Nomor antrean gue sabet, gue langsung menyerahkan tiga lembar kertas resep sekaligus, dua untuk hari ini dan satu untuk hari kemarin. Penjaga apotik pun sempat bingung, “Tiga resep, Mas?,” tanyanya ragu. Gue Cuma bisa cengar-cengir sambil mengangguk. Tanda terima resep berwarna kuning diberikan dan gue memutuskan untuk mengambilnya setelah lewat jam satu siang. Maklum, antreannya panjang gak keruan. Daripada gue bengang-bengong, mendingan gue balik ke kamar nyokap atau nyari makan siang. Gue pun berjalan melewati tempat-tempat duduk yang penuh terisi pasien atau penunggu pasien yang mau mendaftarkan Askes dan menunggu namanya dipanggil untuk menerima obat dari apotik tersebut. Gue nyempetin buat mampir ke kios majalah untuk beli tabloid “Bola”. Bahan baca-baca sekaligus buat ngilangin bosen. Sambil membaca berita-berita soal pertandingan Copa America, gue berjalan santai menyusuri lorong-lorong yang didominasi warna putih. Seorang petugas kebersihan lewat sambil membawa sekeranjang kain berwarna hijau. Ia menyapa beberapa temannya yang kebetulan berpapasan dengannya. Gue masih tetap membaca tabloid. Akhirnya gue sampai di kamar bernomor 108, tempat nyokap masih bergulat dengan penyakitnya, dan tanpa mengetuk pintu gue langsung menghambur masuk. Udara di luar memang cukup terik.

Begitu gue masuk, gue menemukan nyokap gue sedang dikelilingi oleh dua orang, pria & wanita. Sang pria berpakaian batik dan sang wanita memakai baju bermotif kain ulos. Keduanya telah menyentuh paruh baya. Ketika itu, mereka sedang berdoa dengan penuh semangat sambil menengadahkan tangan kanannya ke langit-langit ruangan dan tangan kirinya menggenggam Alkitab. Gue menutup pintu perlahan dan berdiri sambil menundukkan kepala. Lima menit kemudian akhirnya mereka selesai mendoakan nyokap. Gue langsung menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri. Mengobrol sebentar soal riwayat penyakit nyokap, mereka pun akhirnya meninggalkan ruangan. Nyokap yang agak sumringah langsung manggil gue dan bilang, “Banyak banget yang doain Mama. Beda-beda agama pula.” Gue pun ketawa mendengar komentar nyokap. Memang sejak beberapa hari yang lalu sejak nyokap masuk rumah sakit, ada beberapa tim pendoa yang terus-menerus berdatangan secara rutin untuk mengunjungi setiap pasien sesuai dengan agamanya masing-masing. Yang bikin lucu, kenapa hampir setiap hari para pendoanya beda-beda agama melulu. Ah.. Mungkin ini akibat penyamarataan istilah “Kristen” dari manajemen rumah sakit supaya gak bikin bingung. Atau memang Kristen ini udah kebanyakan aliran dan hasilnya malah bikin bingung. Walaupun bikin bingung, tapi tetep gak bikin absurd, kok. Yang bikin absurd cuma dia seorang. *Lha? Malah galau.. -.-“

Nyokap gue memang gak pernah keberatan dengan berdatangannya para pendoa dari agama lain. Dia selalu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Toh itu cuma doa. Ditujukannya sama kepada Tuhan. Kenapa mesti ditolak? Prinsip nyokap yang selalu gue pegang sampai sekarang. Gue dibesarkan dari kecil sebagai seorang pemeluk Katolik. Gue tumbuh dalam keluarga yang bernafaskan Katolik. Bokap selalu mendidik gue untuk menjadi penganut agama yang taat. Nyokap rutin mendongengkan gue dengan cerita-cerita indah dari Alkitab waktu gue kecil. Gue seperti dijejali fanatisme Katolik. Tapi, perjalanan merubah segala pandangan gue. Ternyata, nyokap-bokap gak pernah menjejali kepala gue dengan hal-hal berbau fanatisme. Ketika gue beranjak dewasa dan bertemu dengan dunia nyata, gue merasakan indahnya perbedaan. Berwarna-warni bagai pelangi. Waktu kuliah, gue suka banget nongkrong di musholla waktu istirahat jam 12 siang sambil ngobrol-ngobrol bareng temen-temen gue. Sampai pada akhirnya gue kepincut sama salah satu perempuan di sana. Eitss.. Bukan sesi curhat. Yang pasti, gue jadi lebih banyak mengenal apa itu agama-agama dan keyakinan di luar iman gue. Pengetahuan itulah yang membuat gue tidak langsung men-judge seseorang berdasarkan agamanya. Yang amat disayangkan, masih banyak orang-orang yang berlaku seperti itu. Miris.

Gue semakin merasakan keindahan hidup berdampingan tanpa ada sekat yang membatasi kita. Jangan mendirikan tembok tinggi di sekitar kita. Jangan jadikan agama sebagai tuhanmu karena Tuhan lebih besar dari agamamu. Mereka yang terjebak fanatisme dan akhirnya menyetujui semangat fasisme, adalah orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau belajar. Dan akhirnya nyokap gue berkata pelan, “Jangan jadikan agama sebagai sekat. Kita makhluk sosial, saling berangkulan.” Yes, Mom. I get it. 

Dialog Subuh

Subuh ini, dibangunkan oleh suara pengajian menjelang adzan. Sungguh sebuah cara bangun yang sangat indah. Suara familiar di masjid seberang terus mengumandangkan ayat-ayat Quran. Sudah sejak SMA suara itu masih setia membangunkan gue dari mimpi. Ia, di seberang sana, seperti mempunyai ketetapan hati. Sebuah komitmen dlm keyakinannya untuk mengingatkan umat-Nya. Ia membayar cinta-Nya.

Suara kumandang adzan yg bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid yg lain berhasil memecah kesunyian pagi. Membuat riak menjelang fajar. Lampu-lampu jalanan masih menyala menerangi setiap jengkal ranah kehidupan. Suara kicau burung belum terdengar. Namun ia telah terduduk. Satu-persatu mereka memasuki ruangan kecil beralaskan karpet yg bergambar Kaabah. Wajah dan rambutnya basah. Siap berdialog dgn Sang Khalik. Kantuk masih menggelantung di lehernya. Mereka terduduk bersila, ber-salam2an dgn tangan-tangan yg dikenalnya.

Secercah senyum mendahului mentari. Seorang anak berjalan menyusuri gang kecil. Sarung motif kotak2 menutupi sekujur lehernya. Angin dingin di pagi hari terlalu kejam untuknya. Masih nampak lelah, namun pancaran sinar matanya sungguh bersemangat. Tak ingin kehilangan kesempatan berdialog dengan-Nya di hari pertama.

Suara lemah di pengeras suara telah memperdengarkan adzan. Percikan air dr keran yang menyala semakin ramai. Alas kaki mulai menumpuk di luar. Barisan rapi terbentuk. Si anak berdiri di antara para dewasa. Matanya tertutup rapat. Kaki telanjangnya basah. Terburu-buru tampaknya. Mereka menunduk. Khusyuk. Mereka sedang berdialog. "Aku cinta pada-Mu seperti Engkau cinta padaku. Kerahiman-Mu adalah mata airku."

Tersujud. Si anak kecil matanya masih terutup. Bibirnya bergerak pelan. Sebuah percakapan intim antara pencipta dan ciptaan. Pagi ini Indah.


~ 11 Juli, 2011. 4 a.m - 5 a.m. ~

Paradigma Sebuah Status

Di pojok Seven Eleven Taman Puring, hampir jam sebelas malam, gue dan tiga orang teman duduk sambil mengobrol. Sebotol bir untuk masing-masing berdiri tegak di meja bundar putih. Perbincangan dengan topik yang dimulai sejak pertemuan kami menyambut tahun baru 2011 kemarin di Pantai Sawarna kembali naik daun. Sebuah perdebatan kecil mengenai arti cinta yang tulus, cinta yang tak kenal pamrih, cinta yang hanya memberi namun tidak mengharapkan imbalan apa pun. Cinta yang sempurna ungkap teman gue kemarin. Dia mengandaikannya dengan sebuah persamaan cinta Tuhan terhadap umat-Nya. "Ketika Tuhan mencintai kita, Dia tidak mengharapkan balasan dari kita. Itulah cinta yang sempurna," katanya. Sedetik tampak sangat masuk akal, namun sedetik kemudian hati dan pikiran gue sedikit bergejolak. Teman gue yang lain sedikit menyanggah, "Jangan samain cinta sesama manusia dengan cinta Tuhan terhadap manusia. Ketinggian." Gue pun gak bisa menolak sanggahan tersebut. Di satu sisi manusia memang "diwajibkan" untuk mencinta, tapi apakah mereka tidak berhak meminta sedikit balasan dari rasa cinta yang telah ia berikan? Memang cinta itu adalah cuma-cuma alias gratis a.k.a gretong. Gak diminta bayaran. Memang manusia diciptakan serupa (secara fisik) dengan Tuhan dan kita juga sebagai umat-Nya diharuskan untuk sama secara sifat dengan-Nya. Tapi, sanggupkah kita memberikan cinta tanpa pamrih?

Belajar dari segala pengalaman gue dalam mencinta dan bercinta, udah cukup sering gue memberikan cinta (atau perasaan sejenisnya) kepada lawan jenis gue. Sayang, cuma lima orang yang matanya sedikit terbutakan oleh jahanam yang bernama cinta. Sisanya? Mereka masih sadar dan masih yakin kalau cinta tidak bisa menutup kekurangan fisik, walaupun (katanya) secara fisik kita udah mirip Tuhan. Well, bukan itu yang mau gue bahas. Okay, fokus pada titik permasalahan. Back to topic. Gue pribadi mengalami tahap dimana gue mengawalinya dengan sekedar perasaan suka. Lama-lama perasaan itu semakin tumbuh dan semakin membesar, sampai akhirnya membuncah keluar dan menyumbat semua nadi-nadi di dalam tubuh. Aliran darah yang berisi oksigen dari paru-paru menuju otak seolah tertahan. Ya... Gue (hampir) selalu pengen pingsan kalo ngeliat perempuan yang gue suka ada di seberang mata gue. Dan ketika berpapasan, jantung gue langsung bekerja keras berusaha mengirimkan darah menuju kepala. Tapi, nadi gue bener-bener tersumbat. Alhasil, gue cuman bisa cengar-cengir gak jelas. Ya, itu semua akibat otak gue yang kekurangan oksigen. Beberapa sel otak gue sepertinya mati dan meninggalkan gue dengan ekspresi aneh ketika bertemu sang lawan jenis. Eh... Ini kok malah curhat, sih? Shit.. Ganti paragraf.

Intinya adalah, ketika gue suka sama perempuan dan perasaan itu semakin bertumbuh, pasti ada sesuatu yang berubah dari sikap gue. Segala perhatian pastinya gue fokuskan cuma buat dia. Tapi, apa yang terjadi ketika dia gak membalas perasaan gue yang udah tumbuh sedemikian besar? Gue pasti kecewa. Gue pasti marah dan gak terima. Dalam hati, gue pasti akan mencak-mencak, "Dengan segalanya yang udah gue korbankan dan lo masih gak melirik gue sedikit pun? Dan lo malah milih cowok-cowok berotot bertampang gay? WHAT THE FUCK, GIRL..!!" Ya. Itu adalah gue yang sedang kecewa dan gue bilang itu sangat manusiawi. Mencintai tanpa dicintai? Seriously, are you joking?

Gue adalah penganut mencintai harus dicintai, cinta harus memiliki. Gue beranggapan bullshit kalo cinta itu tak harus memiliki. Well, seiring perjalanan gue, akhirnya gue harus berani merubah paradigma gue. Perubahan pandangan gue berawal ketika gue sadar gue sangat menyukai dan menyayangi seorang perempuan. Seorang yang spesial di hati gue. Dia ada di tempat khusus di dalam hati dan pikiran gue. Gue sempat berpikir, gue harus "jadian" sama dia. Tapi, waktu tidak menyetujuinya. Perasaan gue berkembang terlalu besar. Perasaan sayang dan cinta gue untuknya tiba-tiba merubah gue secara total. Ketika seharusnya jantung gue bekerja keras memompa darah menuju otak, kali ini dia berdegup dengan santai. Saat gue berada di dekatnya, gue merasa sangat nyaman. Perasaan cinta yang gue berikan untuknya memang tidak berbalas, namun gue gak menuntuk untuk dibalas. Aneh.. Emosi gue teredam.

Sampai sekarang, perasaan itu masih ada dan masih terpendam jauh di pojok otak kecil gue di sebelah kanan gang sampe mentok portal, baru belok kiri. Gue gak memendam, tapi teredam seperti yang gue bilang di paragraf sebelumnya. Di kasus ini, jujur gue setuju dengan pendapat teman gue yang mengatakan bahwa perasaan itu tidak bisa dikungkung status "pacaran" atau "jadian". Perasaan sayang dan cinta itu universal, jangan dikotak-kotakkan dengan sebuah ikatan. Karena terkadang status cuma dijadikan legalisasi gandengan, ciuman, dan grepe-grepe. Shit..!! I definitely don't agree with that. Mencintai tanpa menuntut balik. Ya, gue sudah sampai di posisi itu.

Dari yang udah gue rekam dari pembicaraan kemarin, sebenarnya gue pribadi cuma menuntut kepastian. Ketika gue menyatakan sebuah perasaan, gue cuma meminta sebuah respon. Persetan dengan respon tersebut. Kalau dia sayang sama gue, puji Tuhan. Kalau nggak, ya setidaknya gue udah menyatakan. Intinya kan cuma itu, bukan? KEPASTIAN. Terikat status atau tidak, itu masalah belakangan. Selama keterikatan lo terhadap status cuma buat cipok-cipokan, ya itu urusan lo. Tapi, ketika lo gak terikat status apapun tapi lo bisa saling mencinta tanpa ada maksud melucuti baju pasangan lo, kenapa nggak? So, kesimpulan gue adalah status itu memang gak perlu. Tapi ungkapan perasaan disertai dengan sedikit kepastian dari perempuan/laki-laki yang lo berikan perasaan lah yang menurut gue sebuah keharusan. Jujur, lo kira gue jemuran bisa lo gantung seenaknya? Makanya, nyatain perasaan lo keburu telat. Perkara jadian atau nggak, itu urusan belakangan. :)

Tanpa Emosi Di 19:29

18:52. Reski duduk sendiri di meja bundar. Di sampingnya berdiri sebuah tempat sampah yang baru dikosongkan oleh seorang petugas kebersihan berseragam biru kotak-kotak. Reski meminta sebuah asbak untuk menaruh batang rokok yang telah terbakar. Punggung tangannya memperlihatkan sebuah luka bakar dan sayatan pisau. Luka yang yang ingin ia hapuskan. Luka yang terus menerus mengingatkannya pada sebuah memori buruk beberapa tahun sebelumnya. Sebuah botol bir dingin berdiri di sebelah buku jurnalnya, basah akibat pertemuan fisik sebuah kesepian dalam ruang dingin dengan kehangatan udara di luar, namun muram. Keringat gugup yang seolah menyambut keramaian. Sebuah paksaan untuk menelan keberaturan.

Reski dua kali menghisap rokoknya dan kembali menaruhnya di lengkungan asbak kuning, membiarkannya menyala dan berasap. Nyalanya tak mampu menerangi kesendirian dan asapnya malah semakin menyesaki pikirinannya yang kalut. Jurnal itu dibuka dan lembaran kertas putih bergaris sekonyong-konyong menatap penuh tanya, apakah ia siap dibelai halus oleh cinta dan kelembutan atau diperkosa dengan kasar, penuh nafsu keji. Reski hanya bisa membalas tatapannya. Ia sendiri pun masih bimbang. Kegalauan terkuak dari ranah imajinasinya. Tangannya tidak lagi menggenggam botol hijau. Kali ini sebatang ballpoint biru menggantikan singgasana sang botol di tangannya. Ia mengarahkannya pada kertas kosong tersebut, bagai busur yang siap meluncurkan si anak panah. Namun Reski tak mampu juga menemukan sasaran. Ia pun bersandar pada bangku plastik putih. Membagi bebannya, berdua bersama benda mati tersebut. Kumandang adzan sedikit menenangkan hatinya. Matanya terpejam. Khayalnya melayang.

Rokok pertamanya telah terbakar habis meninggalkan abu di dalam asbak kuning. Membiarkan Reski dalam keramaian yang semakin membuatnya merasa terkucilkan. Ballpoint itu masih di dalam genggamannya. Tangannya menunggu perintah dari otak. Hatinya menahan instruksi tersebut. Tempat sampah itu masih setia berdiri di sampingnya walau telah terisi bungkusan makanan ringan kosong dan kardus hotdog. Namun ia masih setia menunggu Reski dalam ketidaksinambungan hati dan pikiran. Kemanusiawian dan akal sehat mutlak dipegang Reski, tapi sikap dan keteguhan tetap terjaga oleh para benda mati. Andai budi dan kengototan mampu ia satukan. Andai saja.

Mercusuar telah tertuju pada satu objek. Terangnya lampu sorot terus menerus mengarahkan

perahu yang akan menepi. Lampu itu sesekali bergerak, menerangi perairan gela tersebut. Entah mengapa kapal itu tetap tidak bergerak. Sauhnya terus terantuk pada dasar laut hitam. Ombak yang semakin meninggi terus mengombang-ambingkannya. Namun kapal itu tetap tidak bergerak. Sang nakhoda memberikan sebuah sinyal pada mercusuar. Ia telah melihat jalan menuju dermaga terdekat. Tetap…. Ia tidak bergerak. Sang mercusuar terus setia meneranginya di dalam gelap. Terus menunjukkan jalan menuju tempat tambatan.

Hati Reski akhirnya berubah. Dengan segenap kekuatan, ia menggerakkan alat tulis berwarna biru itu. Kertas jurnal tersebut berlaku pasrah, siap menerima perlakuan apa pun. Mata alat tulis segera menghujam sang lembaran kosong. Dan…. Kertas itu kecewa. Hujaman itu menari tanpa emosi. Tanpa perasaan. Namun, kental kebimbangan juga penuh ketulusan.

“AKU RINDU…”

Jurnal pun tertutup rapat. Reski menyudahi semuanya. Tanpa emosi di 19:29…

Insidious is a total heart-attack

Insidious berhasil memukau gue. Scene pertama film ini berhasil membuat mata gue membelalak dan napas gue tertahan di kerngkongan. Damn..!! Siapa yang bisa tahan dengan gambaran di detik-detik pertama film itu. Dengan tata suara yang sepi dan warna ruangan yang mencekam, gue udah bisa menebak apa yang akan terjadi di scene-scene berikutnya. Tanpa sadar gue, telapak tangan gue mengepal dan meremas gelas popcorn yang (untungnya) dibeli sama temen gue. Wanjeng..!!

Scene berikutnya, gue berusaha untuk mengatur napas gue supaya teratur dan mencoba mengikuti alur cerita. Gambaran umumnya sangatlah klise: sebuah keluarga bahagia baru saja menempati tempat tinggal baru, rumah baru. Dan pada akhirnya mengalami gangguan-gangguan supranatural setelah sang anak, Dalton, mengalami koma akibat terjatuh dari tangga. Fooohhh…!!! Sinting. Film ini bener-bener bikin gue harus menutup mata berulang kali ketika kamera mengambil gambar close-up atau ketika sayatan biola mulai mendenging. Dan akhirnya, temen gue gak lagi-lagi ngoper popcorn ke gue. Karena dia tahu kalau popcorn itu bakal terbuang percuma sama gue.

Kalo lo perhatikan di poster film Insidious, lo akan menemukan tulisan “from the makers of Paranormal Activity and SAW”. The makers named James Wan, the one who responsible for making us feel sick when we’re watching SAW. Di film ini, Wan tidak menumpahkan segalon darah, bahkan setetes pun. Tapi berhasil membuat gue sedikit (okay, agak sering) menutup mata dan berteriak (walau gak kayak anak perempuan). Penampilan para hantu sangat mengerikan. Mereka datang dengan timing yang tepat tanpa memberikan kita waktu untuk bersiap. Para hantu di sini bukan tipikal hantu yang ngagetin macam hantu-hantu Indonesia. Mereka tampil dengan konsisten, muncul di saat yang tepat di saat lo lagi menyeruput minuman atau ketika tangan lo sedang menyuapkan segenggam popcorn ke dalam mulut. Dan, JRENG..!!! Hantu itu muncul sambil menampilkan wajah old-school. Siapa yang tahan dengan hantu old-school? Berpakaian layaknya noni Belanda, memberikan senyuman lebar. Damn..!! I got goose-bump right now.

Paranormal Activity memang mengejutkan. Tapi, Insidious berhasil menghipnotis gue untuk rutin meremas sandaran lengan di bioskop. Beberapa wajah hantu yang diambil close-up dan gambaran makhluk aneh yang…. gila..!! Gambaran hantu ini mirip dengan film Drag Me To Hell karya Sam Raimi. Tapi lebih mencekam. Warna-warna di setiap scene hampir mirip dengan franchise SAW. Nuansa kelam dan gelap tersaji. Jalan ceritanya memang sedikit aneh di tengah-tengah ketika istilah “astral-projection” disebutkan. But, hell. Stay tune, folks. You are going to jump your ass of the chair at the last scene. Bagi yang gak kuat jantung, jangan pernah nonton ini sendirian. Bagi yang sudah terbiasa nonton film genre ini, lebih baik tonton rame-rame, karena film ini adalah hiburan paling menyenangkan dibandingkan lo nonton Scream 4 yang teramat dangkal.

My score: 8.5/10

Keep It Going


I just wanna fill your days, your life.
Doesn’t offend me when you share your story of your past.
Just don’t shed your tears, I’m here to ease your pain.
I’m here to complete you.
But you’re giving me up.



Find more MISKUZI songs at Myspace Music

Siapa Masuk Surga…?

Saya sungguh beruntung bisa mengikuti seminar Apologetik – Pembelaan Iman yang dilaksanakan di Auditorium MBK. Terlihat sekali minat para umat MBK dari membludaknya peserta. Ruangan Auditorium penuh sesak. Panitia sampai terlihat sedikit kesulitan dalam mengurus tempat duduk dan konsumsi makan malam. Bahkan saya pun mendapatkan makanan yang berbeda dari yang lain. Bapak di sebelah saya mendapatkan sebuah nasi kotak, sedangkan saya mendapatkan sebuah paket dari salah satu restoran makanan cepat saji. Banyak wajah yang saya kenal yang datang dari lingkungan dan wilayah saya selain, tentu saja, orang tua saya. Mama saya terutama yang sangat antusias dalam mengikuti seminar tersebut. Ia dan kedua temannya rela datang lebih sore demi mendapatkan tempat duduk terdepan. Saya datang terlambat ke seminar tersebut bersama ayah saya. Romo (saya lupa nama beliau) sudah menjelaskan hampir separuh dari materi pertama dan saya cukup kesulitan mencari tempat duduk kosong. Panitia pun agak bingung mencarikan saya tempat duduk. Ah, akhirnya saya mendapatkan kursi kosong walaupun berlokasi sangat jauh dari panggung dan sedikit di pojok kanan ruangan. Seminar tersebut memang menarik sampai tiba di sesi tanya jawab. Nah.. Inilah yang membuat saya semakin tertarik.

Seorang muda yang duduk di barisan tengah berdiri sambil memegang microphone dan bertanya kepada Romo. Saya masih ingat dengan jelas apa yang ia tanyakan dan nyatakan saat itu, “Romo. Menurut Konsili Vatikan, dikatakan bahwa ada keselamatan di luar gereja. Apakah itu benar? Kalau itu benar, maka saya adalah orang pertama yang menolaknya. Terima kasih.”

Wow. Saya terkesima dengan pernyataan tersebut. Orang muda tersebut, yang secara kebetulan ternyata adalah teman saya di lingkungan gereja, berani membuat sebuah pernyataan yang menentang Vatikan. Umat peserta sedikit geger. Mereka berbisik-bisik menanggapi perkataan barusan, sedangkan bapak di sebelah saya hanya bisa terkekeh. Namun, yang menjadi masalah adalah, benarkah tidak ada keselamatan di luar gereja? Atau kalau mau lebih disederhanakan lagi, benarkah tidak ada keselamatan di luar agama Katolik? Kemanakah perginya roh/jiwa para penganut agama lain di luar Katolik ketika mereka mati? Ke neraka, ke surga, atau malahan tidak diterima di kedua tempat tersebut? Wah, jadi arwah gentayangan, dong? Serem juga…

Saya akhirnya penasaran dengan permasalahan tersebut. Di rumah, saya langsung googling mengenai Konsili Vatikan II mengenai pernyataan tersebut dan saya mendapati bahwa memang Konsili tersebut mengatakan bahwa “Ada keselamatan di luar gereja”. Tapi… “Tidak ada keselamatan di luar Kristus”. Pertama-tama, Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan UMAT MANUSIA. Tujuan Yesus yang rela lahir di kandang hewan, diletakkan di palungan, yang pada akhirnya disiksa dan mati di kayu salib adalah untuk menghapuskan dosa SELURUH UMAT MANUSIA. Di Alkitab tidak pernah tertulis mengenai misi penyelamatan Yesus hanya untuk umat Kristen saja.

Kedua-dua. Saya sempat berkonsultasi dengan teman saya melalui twitter untuk menanggapi isu ini. Dan teman saya dengan berapi-api langsung menjawab bahwa ia sebagai umat Kristen percaya, yakin, dan mengimani bahwa Yesus bukan penganut fasisme ala Adolf Hitler. Hitler membantai orang Yahudi untuk membuktikan keunggulan ras Aria, ras asli Jerman. Sedangkan Yesus, Dia pernah berjanji untuk menyelamatkan orang Yahudi dan bukan Yahudi, bersunat ataupun tidak bersunat. Janji tersebut tetap kita pegang dan kita hayati dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita mau teliti lebih jauh lagi, agama kita, yaitu Katolik, mempunyai definisi yang luar biasa. Definisi dari Katolik adalah UNIVERSAL. Tidak berbatas, tidak terbatas, tidak terkotak-kotakkan, dan tidak membeda-bedakan. “Datanglah kepada-Ku, kamu yang haus dan lapar,” kata Yesus dalam suatu kesempatan. Teman saya sekali lagi menandaskan dan menegaskan dengan keras, “Yesus bukan penganut fasisme.”

Dari penjelasan Konsili Vatikan II ditambah komentar teman saya nan berapi-api, akhirnya saya semakin percaya bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, tanpa pengecualian. Tapi, jangan senang sambil senyam-senyum dulu. Yesus hanya menyelamatkan mereka yang BERKENAN kepada-Nya dan bagi mereka yang tidak berkenan kepada-Nya maka akan dilempar ke dalam api abadi. Sekarang, tergantung Anda, mau masuk Surga atau Neraka jahanam. 

Sudahkah?

Belum lama ini saya menonton sebuah film yang berjudul “Crossing Over”. Film yang dibintangi Harisson Ford, ini mengisahkan perjuangan para pengungsi dari negara Meksiko yang sedang, akan, dan telah melintasi perbatasan untuk mencari penghidupan dan kehidupan yang lebih baik di negara adidaya Amerika Serikat. Setelah selesai menonton film ini, ingatan saya langsung beralih kepada nasib para pengungsi di negara kita tercinta, Indonesia.

Terakhir yang masih sedikit terngiang di ingatan kita adalah sebuah bencana alam massif yang menimpa kita, yaitu meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah. Begitu besarnya letusan gunung tersebut, sehingga banyak sekali warga yang pada akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka yang tinggal di sekitar kaki gunung, berbondong-bondong turun mencari tempat perlindungan yang mereka rasa aman dari tiupan awan panas dan lahar dingin. Di tanggal 8 November 2010, menurut data dari sebuah situs berita online, hampir 280.000 jiwa mencari tempat perlindungan dan jumlah tersebut akan terus bertambah setelah pemerintah memperluas zona bahaya. Sayangnya, mereka yang mencoba untuk bertahan hidup dari bencana ini pun seolah terlupakan. Di tempat pengungsian, nasib mereka pun terkatung-katung. Tempat pengungsian yang seharusnya menjadi tempat yang mampu membuat perasaan aman malah menjadi kebalikannya. Kurangnya perhatian dari pihak berwenang meningkatkan garis depresi. Sikap acuh tak acuh pemerintah akhirnya membuat mereka memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing, walaupun jelas-jelas Gunung Merapi masih berbahaya. Kucuran dana bermilyar-milyar dari pemerintah tidak sampai ke tangan para korban bencana alam. Hak-hak mereka terlupakan.

Kalau Anda lebih jeli melihat, seringkali kita juga membaca di media massa dan juga menonton di televise mengenai aksi-aksi penggusuran oleh sang pemegang wewenang. Rumah-rumah dihancurkan. Tembok-tembok dirobohkan. Dengan berbagai alasan mengenai “penempatan lahan milik pemerintah”, mereka dengan bambu dan traktor menghajar setiap bangunan yang masih berdiri tegak. Walhasil, para “pemilik” tempat tinggal pun harus kembali mengungsi, mencari tempat tinggal yang dirasa lebih layak. Memang jika dilihat dari satu sudut pandang, para penduduk liar tersebut secara jelas mendirikan rumah tanpa ijin, membuat rumah di bantaran-bantaran kali yang pada akhirnya dijadikan alasan sebagai penyebab banjir. Para pengungsi yang sedianya ingin mencari penghidupan yang lebih baik di ibukota pada akhirnya menjadi korban dari arogansi satu pihak.

Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 Juni 2011, sedianya kita dingatkan kembali mengenai hak-hak para pengungsi. Tidak usahlah kita memperhatikan para pengungsi akibat perang di Irak, Palestina, atau di negara-negara Afrika yang sedang dirundung perang. Alihkanlah pandangan kita kepada para pengungsi di negara Indonesia sendiri. Nasib para pengungsi korban bencana alam Gunung Merapi, para pengungsi di Sidoarjo akibat lumpur Lapindo yang tidak berkesudahan, para petani di Kebumen yang sedang mengalami konflik dengan pihak otoritas TNI, para pengungsi di Irian Barat yang juga sedang bentrok dengan pemerintah, dan secara khusus, para pengungsi di daerah sekitar Jakarta yang mengalami penggusuran dan pada akhirnya ditelantarkan pemerintah. Tertulis jelas di Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Juga di Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Sudahkah?

Legalize Ganja..!!



A very well built documentary about cannabis and drug prohibition. Does the drug prohibition work? Have a look and think for yourself.

Letter To Them

To my beloved Brother and Sister,

Hi. How are you guys doing? I bet you’re heavenly doing good in there. Me? I’m beautifully better out here. You know what, I’ve never seen you guys for 25 years. I’ve no idea what you guys look like right now. First time I look at your picture, you’re still a baby born. Cute and simply innocent. But I’ve only saw Nic’s picture. I’ve asked our parents about Maria’s picture, but they didn’t have a chance to take it. Swear to God, I want to see your face, Sis. Well, in anyway I might could describe you from our parents story. They told me that you are as beautiful as angel. Blooming like fresh flowers in a green field. Just an unfortunate event that you were being touched by the death inside the womb. But now, I kinda grateful that you haven’t breath the air of the earth which full of filth and artificiality.

And Nic. I’ve seen your picture like I said before. A little baby, closing his eyes in concordance, seems like you enjoy the harmony. Our parents told me that you live this life for only ten minutes. Your cry was so delicate and it was fainting away. Faded inside the babies room in the hospital. Mom told me that you take your last long breath heavily and release it peacefully. When you dissolved our parents just started to cry without mourning your disappearance. They know it rather be like that. They also said that your eyes are blinking once and seeing our father who was holding you in his arms. That’s the best experience since my birth in his life, he said, to see you staring into his eyes for two seconds away. Then you close your eyes… forever. “He is a handsome boy if he lives now,” our dad said once.

Nicholas and Maria. If I may, I would call you guys by Nic and Mary. Shorter and more intimate for me. And probably will waste some spaces if I write your real name in this letter. Hahaha.. Kidding. But, really. Your nick name was made when I was in junior high. By me of course, you shouldn’t have asked that though. J

Nic. Mary. Honestly, I miss you both. Never understand why I can miss two persons which I never met before, but I really feel that something is missing when I sleep alone in my room. When I want to tell some story about my life in the afternoon. When I want to share about the girl that I like. About the first time I smoke cigarettes. About the first time I smoke ganja (in this case, both of you could have punch me in the face). About any rebellions that I did in my life. I don’t exactly know how does it feels to be hugged by you two in my sleep. For your information, guys. I think I have dreamt about you. Suddenly in my dream, there’s a stranger come by and holding a board written “Nicholas” and “Maria”. Under that, it said “What’s up lil’ brother”. And I didn’t even recognize you or translate that vision. But I guess I remember your face. Nic has the face of mom and the eyes of dad. But Mary was as beautiful as mom. God, if only I can meet you again sometimes. I will hold you and kiss you. Either way, I could just start wishing that we can talk and having a long conversation about anything or everything. About the girls that I love or another. If only.

Of all that. I miss you. We’re bound in blood. Only faith that cannot make us living together under the same roof.



Your lil’ brother,


Andre

Tertuju Untukmu

Dear Perempuan yang sedang duduk di pojok ruangan,

Apa kabar? Gimana kerjaan, Lin? Sekarang udah dapat kerjaan baru, ya? Eh, lo tau gak seeehhh. Gue tuh banget pengen ngobrol sama lo. Tapi, dikarenakan muka lo tuh sering banget jutek dan sok serius. Gue jadi agak-agak takut kalo ngajak ngobrol lo. Takut dimarahin. Sadar gak sih, kalo gue sering banget jadi bahan pelampiasan “amarah” lo. Hehehe… Setiap kali ketemu, walaupun dengan senyum tersirat di muke lo, ujung-ujungnya pasti lo marah-marah. Gue gak tau sebabnya. Atau mungkin karena gue memang sering nyela lo? Jadi, lo ngerasa kalo gue adalah orang yang pas buat di omelin. Gue sih terima-terima aja kalo dijadikan bahan pelampiasan stress lo yang udah menumpuk, tapi jangan sering-sering, lah. Capek, tau. Hahaha.. Tapi, gak kenapa. Gue malah jadi ngerasa makin deket sama lo. Seperti ada chemistry di antara kita (ciaelah…).

Ngomong-ngomong soal chemistry, gue mau jujur sama lo. Pertama kali kita ketemu, yang gue gak ingat kapan, di saat itulah juga gue suka sama lo. Gue gak tau kenapa. Kalo boleh jujur, sebenarnya gue pertama kali gak tertarik dengan muka lo, karena muka lo itu biasa aja (dan gue siap-siap digaplok seandainya surat ini beneran sampai ke lo J). Eits, jangan marah dulu. Gue tuh bisa tertarik sama lo karena kepribadian lo yang sedkit nyeleneh. Sedikit campuran antara sikap kekanak-kanakan dan pemikiran yang dewasa. Ada di saat lo bener-bener tertekan gara-gara kerjaan lo atau baru dimarahin sama seseorang, sifat kekanak-kanakan lo itu mendadak muncul. Sambil marah-marah dan sedikit lompat-lompat (persis kutu loncat) lo meluapkan semua kekesalan lo. Rambut pendek lo yang tergerai ikut-ikutan beraksi mengikuti gerak kepala lo dan muka lo, serius gak ada cakep-cakepnya. Semua orang yang ada di deket lo pasti dilabrak. Apalagi buat mereka yang gak sengaja nyenggol lo, andai kata-kata lo itu adalah pisau, tuh orang bisa mati termutilasi. Tapi, gue suka sama tingkah lo ketika marah. Sedikit lucu dan sepertinya lo mampu mengeluarkan segala uneg-uneg di kepala lo. Lo tampil apa adanya saat itu.

Berbeda ketika ada seseorang yang meminta saran dari lo. Lo langsung tampil anggun penuh kedewasaan dan mengatakan kalimat-kalimat yang penuh wibawa. Gue gak tau lo memang anggun dan wibawa atau cuma supaya terlihat lebih mengerti soal percintaan, yang pasti lo memang bukan Anggun C. Sasmi (barusan lawakan garing). Di luar itu semua, gue memang kagum sama pemikiran lo. Lo mampu tampil tenang di saat orang lain sedang mengalami masa-masa krisis, khususnya percintaan. Lo hadir bak seorang psikolog ternama dengan memasang kacamata frame hitam. Lo bener-bener membuat mereka percaya dengan semua buaian dari lo sehingga mereka bisa kembali menjadi tenang. Nice work.

Ngomong-ngomong soal kedewasaan, gue sebenarnya sering kali pengen ngomong langsung sama lo. Seperti di awal paragraph dari surat gue ini, gue pribadi merasa aneh kalo dekat lo. Bukan aneh karena memang lo aneh, tapi karena gue ternyata punya perasaan suka sama lo. Perasaan itu ada sejak gue ngeliat lo. Kalau gak salah, kira-kira kita ketemu baru dua tahun yang lalu. Akhirnya perasaan gue itu terus bertambah. Gue gak tau apa yang gue sedang rasakan sama lo sekarang. Yang jelas, perasaan itu lebih besar dibanding dua tahun yang lalu. Dalam jangka waktu dua tahun itu kita udah sering banget pergi bareng. Dan kebanyakan malah nonton konser musik. Gue suka selera musik lo. Gak menye-menye a la musisi Indonesia yang sok melayu. Lo malah suka dengan musik-musik yang non-mainstream. Satu lagi kecocokan yang gue temuin dari lo. Mulai dari nonton konser gratisan sampai nonton konser rock terbesar di Ancol waktu itu. Mungkin perjalanan-perjalanan itu yang membuat gue semakin yakin dengan perasaan gue sendiri. Gue selalu pengen dekat dengan lo. Seandainya gue melewati ruangan lo, gue pengen banget mampir masuk, walaupun cuma sekedar menyapa. Tapi yang terjadi adalah, gue memang masuk ruangan dan gak berani nyapa karena lo sedang menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Lo seperti sedang dihipnotis sama Romy Rafael. Gak bergerak sedikit pun. Gue sering banget mengurungkan niat buat nyapa, takut kerjaan lo terganggu sama sapaan gue.

Gue gak pernah takut untuk langsung menyatakan perasaan gue ke lo. Di setiap kesempatan apa pun, gue selalu siap bilang perasaan itu ke lo. Temen-temen kita aja sampai menanyakan ke gue kapan hari H gue nembak lo. Tapi, gue selalu men-tidak-kan semua pertanyaan itu. Bukan karena gue gak berani dan gak siap. Jawaban dari segala pertanyaan itu adalah karena gue gak mau kehilangan lo. Klise memang. Namun, itulah yang sebenarnya. Gue gak mau kehilangan lo dengan tidak memiliki lo. Lo udah masuk dalam tempat paling spesial di dalam hati gue. Tempat khusus yang gak mungkin lagi ditempati oleh wanita-wanita lain.

Mungkin dengan surat ini gue bisa menumpahkan segala pikiran tentang lo, perasaan gue ke lo. Gue cuma bisa menunjukkan segala perasaan gue dengan segala tindakan gue dan gak sekedar kata-kata. Gue gak berani mengobral kata “sayang” di hadapan lo. Gue takut gak bisa memenuhi ekspektasi lo terhadap gue. Tapi, setidaknya melalui perbuatan, mudah-mudahan lo bisa menyadari itu. Setidaknya melalui surat ini juga lo bisa tahu betapa besar tumbuhnya perasaan gue terhadap lo. Betapa gue sayang sama lo. Cuma surat ini (yang seandainya bisa sampai ke tangan lo) yang mampu mengatakan apa yang telah gue alami sejak dua tahun yang lalu.

Sang Penerjemah

Semburat senyum melengkung berhasil menghilangkan garis kerut di wajahnya

Tutur kata sopan menutup segala persepsi keangkuhan di depan mata.

Genggaman tangan nan lugas melepaskan gambaran dingin di jiwa

Gerak tubuh dan sikapnya melunturkan semua paradigma yang tercetak di kepala

Sorot mata tajam dan sayu mereflesikan segala asam dan garam yang telah berlalu


Aku…

Terkesima dengan segala pandangan yang terucap lewat bibirnya

Dengan lidah yang tegas ia berkata dan bercerita seolah tiada beban yang harus dianut.

Badannya yang kurus seolah tak mampu mempertahankan kekokohannya.

Tulang belakangnya terlalu rapuh untuk menopang segala mimpi dan khayalan yang terlalu mustahil

Kepalanya terlalu kecil untuk menampung segala dimensi yang ia bawa dalam perjalanannya


Alam semesta seolah berada dalam genggaman tangannya yang ringkih

Telapak tangan bercorak tinta

Bulu kuas yang seolah menari dengan indah dalam genggaman tangannya

Bersatu bersama sinaran kosmik.

Tak terbendung bergerak menyerang kanvas yang berdiri tegak namun pasrah, tak mampu melawan

Bukanlah upaya menguasai dunia, sebutnya

Tapi usaha menterjemahkan semesta yang tak berbatas


Namun tak mengapa

Ia terus menghujam dan menghujam dan MENGHUJAM

Ia terus menumpahkan segala emosi

Segala kekelaman

Segala kecerian

Segala semesta

Segala kesucian yang mampu ia siratkan dalam pengejawantahan


Ia seolah sedang bercinta dalam alam bawah sadar

Bergerak hendak memuaskan segala nafsunya

Bukan dalam keegoistisan

Bergerak berkeringat… Ia tumpahkan birahi


Dan ia pun selesai

Orgasme pun ia dapatkan

Sebuah karya signifikan ia persembahkan

Karya yang membuat mata dunia terbuka

Tak ada yang disembunyikan

Tak ada garis rahasia

Semua ia persembahkan untuk kita

Dengan kesederhanaan

Dalam kekhidmatan

Ialah Sang Penerjemah