Showing posts with label trip. Show all posts
Showing posts with label trip. Show all posts

Rekoleksi Sebuah Perdebatan Kaum Awam

Dua hari (6-7 Agustus 2011) gue mengikuti rekoleksi di St. Monica 2, Bogor. Perjalanan dimulai dari Jakarta, menembus tol menuju Bogor. Sedikit terhambat dengan kemacetan dan matahari yang masih setia menghangatkan bumi. Ini pertama kalinya gue mengikuti rekoleksi Komkep KAJ setelah dua tahun belakangan gue selalu digoda untuk tidak mengikutinya. Isi yang tidak begitu menarik dan klise adalah alasan yang sering keluar dari mulut para berpengalaman yang telah mengikuti rekoleksi ini sebelumnya. Gak ada ekspektasi apa pun dari gue dan gue memang tidak mempunyai pandangan apa pun. Hari pertama gue lewati dengan kesan yang biasa-biasa aja. Beruntung gue bertemu dengan rekan-rekan yang dalam waktu dekat langsung menjadi sahabat seperjuangan di dua hari nan pendek tsb. Beruntung di sana tidak ada warung yang menjual anggur merah cap Orang Tua karena masih masuk dalam bulan puasa.

Hari kedua, jam 6 pagi, dimulai dengan senam a la Warkop DKI dan dilanjutkan dengan senam penguin (yang asli, agak gak jelas tujuannya) serta ditutup dengan main bola bareng. Beberapa wajah urung terlihat karena baru tertidur jam 5 pagi. Mandi dan makan pagi, akhirnya sesi ketiga (dua sesi dari hari pertama gak gue jelaskan karena memang kurang berkesan buat gue) dimulai. Gue sedikit lupa dengan judul yang akan dibawakan pada sesi ketiga tersebut, tapi entah mengapa pada akhirnya sesi tersebut tiba-tiba menjadi sebuah perdebatan antara peserta dengan panitia. Semua berawal dari pertanyaan mengenai Pastor moderator yang kurang aktif, cuek, dan mempunyai sikap negative lainnya yang tidak mampu merangkul anak muda. Romo Yadi dan Kak Maria mencoba menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Gue agak lupa kenapa tiba-tiba ada perdebatan mengenai jatah 5% yang menjadi “hak” pengembangan anak muda. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin berkembang dan terus berkembang. Dari yang memprotes ketidak-transparanan mengenai dana untuk anak muda sampai mereka yang menyanggah bahwa dana dari gereja (atau Dewan Paroki) memang tidak terlalu dibutuhkan untuk memandirikan anak muda. Sesi sharing berubah menjadi perdebatan alih-alih diskusi. Gue? Gue memilih cabut keluar dari ruangan. Debat yang gak jelas arah tujuannya semakin diperkeruh dengan penjelasan dari Komkep yang tidak menjelaskan secara tuntas yang akhirnya malah semakin memancing pertanyaan kritis dari berbagai paroki. Gue mendingan ngerokok sambil ngedengerin ocehan-ocehan yang udah sering banget gue terima dari pastor moderator gue di paroki.

Sesi ketiga ditutup (paksa) akibat keterlambatan jadwal. Gue melahap makan siang sambil mengobrol dengan beberapa teman. Ketertutupan dalam menjelaskan menjadi pertanyaan dari beberapa OMK. Persis seperti yang gue rasakan. Masih ada rasa ketidak-puasan dari segala penjelasan tersebut. Temen gue sempat berujar, “Judul pertemuan ini ‘REKOLEKSI’, tapi kenapa jadi kayak debat Parpol gini?”. Gue cengar-cengir sambil jawab, “Pertanyaan yang dijawab setengah-setengah bakal bikin perdebatan.”

Setelah foto bersama, akhirnya gue dan rombongan pulang dan kembali menuju Katedral. Rasa lelah menggantung di sekujur tubuh. Namun semangat perubahan tak pernah hilang dari diri. Sistem harus dibuat secara proporsional sehingga mampu berfungsi secara optimal. Sejujurnya, gue tidak mendapatkan apa pun dari Rekoleksi ini, kecuali penjelasan-penjelasan klise, teman-teman seperjuangan idealisme, dan rasa capek yang terlingkar di leher.

Ketika Kami Di Merapi

(Sebelum lo baca blog gue ini, gue cuman pengen menjelaskan bahwa gue menulis cerita berikut tanpa berdasarkan runutan waktu. Gue menulis sesuai dengan pengalaman dan memori yang paling nyantol di kepala gue.)

Sekilas gue melihat kehancuran di setiap daerah yang sempat gue kunjungi di sekitar merapi. Pohon-pohon yang patah akibat panasnya abu vulkanik dan rumah-rumah yang rubuh akibat hantaman dahsyatnya kekuatan erupsi. Beberapa petani juga terlihat membersihkan sisa-sisa tanaman pertanian yang hancur hampir tak tersisa. Pohon-pohon salak berwarna kelabu akibat tertutup abu vulkanik, rata dengan tanah. Pohon kelapa yang biasanya gagah berdiri walau ditiup angin kencang, kali ini menyerah, menguncup akibat terpaan awan panas. Lahan pertanian yang seharusnya telah berhiaskan padi yang merunduk kali ini terbaring mati. Dusun yang biasanya ramai dengan warganya menjadi terkesan sepi dan mencekam. Sebagian dari rumah para warga yang selalu menawarkan kehangatan dan keramahan tertutup rapat. Beberapa malah hancur dan banyak lainnya yang rata tak berbekas. Efek kehancuran yang begitu massive.

Perjalanan pertama gue mengantarkan bantuan sumbangan yang dikumpulkan sementara di kediaman Rm. Eko adalah menuju Posko di salah satu dusun. Tapi, jangan ditanya itu di daerah mana karena nama-nama dusun, desa, atau kecamatannya belum familiar di telinga kota gue.

Dengan Isuzu Elf, gue menjadi saksi mata “kekejaman” abu vulkanik dari puncak Gunung Merapi. Jalan-jalan besar yang gue lalui hampir seluruhnya tertutup debu putih yang memerahkan mata dan menyesakkan dada. Mobil-mobil dan motor-motor yang terparkir di sisi jalan tertutup dengan debu putih. Beberapa toko, restoran, dan warung makan memilih untuk menggantungkan tanda bertuliskan “tutup”. Traffic light di beberapa lokasi tidak dapat beroperasi, terselubungkan debu putih. Beberapa warga sengaja mengalirkan air demi mengurangi intensitas debu yang berterbangan di jalan. Sesampainya gue di dalam sebuah kota, kalau tidak salah Muntilan, warga setempat membersihkan lumpur yang menutupi jalan dengan bekerja sama bersama tentara-tentara TNI. Dengan hanya bermodalkan sekop kecil dan cangkul, mereka mencoba mengeruk lumpur-lumpur tebal yang telah mengeras seperti semen di sisi jalan. Dan akhirnya gue menemui seorang cowok berbaju koko dilengkapi sarung bermotif kotak-kotak dan berkopiah hitam. Sebuah tas tergeletak begitu saja di sampingnya. Ia bergerak seolah sedang mengatur lalu lintas sambil menunjuk-nunjuk ke seberang jalan. Namun, kedua kalinya gue melintasi jalan yang sama untuk pulang ke Temanggung, gue menyaksikan dia sedang mengganti pakaiannya di pinggir jalan dengan kepala yang dihiasi karet gelang, melingkar dari dahi sampai ke belakang kepalanya. Kali ini, hati gue tidak bisa tertawa bahkan tersenyum ketika melihatnya. “Dia kena gangguan mental, kemungkinan harta bendanya habis tersapu erupsi Merapi,” ujar mas Janto, adik dari Romo Eko. Kali itu, gue gak bisa berkomentar apa-apa.

Jalan-jalan menanjak licin akibat pasir vulkanik (harap dibedakan antara abu vulkanik dan pasir vulkanik) menyambut kedatangan gue dan teman-teman di daerah Babadan. Gue sedikit menikmati udara pegunungan yang masih sejuk. Angin sepoi-sepoi yang berhembus meniup muka terasa sangat menyegarkan. Sawah-sawah yang tertanam padi-padi pendek berwarna hijau bagaikan permadani yang mampu membuat mata gue nggak bisa lepas untuk terus menerus memandanginya dengan pikiran kosong. Empat meter dari sawah-sawah hijau tersebut, kembali terlihat pemandangan yang sungguh menyesakkan. Buah-buah cabe tergeletak menyebar di atas tanah hitam. Beberapa masih tergantung di pohonnya, namun mengering dan berabu. Pohon-pohon bambu patah dan berserak, jatuh terendam di sungai berbatu. Bahkan sekumpulan bambu liar pun tidak dapat bertahan. Sambil meneruskan perjalanan menyusuri jalanan pedesaan sempit, warga-warga desa terlihat sudah mulai bisa bangkit dari keterpurukan. Wajah murung bercampur senyum ketika melihat kami datang seolah menyambut kami. Kendaraan kami terus-menerus berusaha mengatasi jalanan menanjak nan berpasir. Beberapa kelokan dan jembatan kami terabas. Ranting-ranting pohon tumbang yang menghalangi jalan, terlihat telah dikumpulkan rapi di sisi jalan. Pemandangan dari dalam jendela selalu berubah-ubah. Kadang hijau, kadang abu-abu. Kadang memancarkan keriangan, kadang mengundang kemurungan.

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Turun dari mobil, gue dan teman-teman langsung dihampiri oleh penduduk sekitar. Dengan senyum tulus, mereka menyalami kami satu persatu. Tidak ada yang terlewati. Pria dan wanita, semuanya berkumpul menyambut kedatangan kami dengan hangat. Teh manis hangat pun disediakan bagi kami. Dalam obrolan, gue mendapatkan informasi bahwa tempat di mana saat ini gue duduk dan menyesap teh manis berlokasi di tiga belas (13) kilometer dari puncak Merapi. Dan lo tau bahwa zona aman yang ditetapkan pemerintah adalah sejauh lima belas (15) kilometer dari puncak Merapi? Jujur saat itu gue kaget dengan penjelasan tersebut. Ya, gue dan teman-teman masih berada di zona berbahaya. Kepala dusun dan si empunya rumah, yang untuk sementara dijadikan Posko untuk para warga, menjelaskan bahwa beberapa rumah di sekitar lingkungan mereka jebol di bagian atap akibat tidak kuat menahan massa dari pasir dan abu yang bercampur dengan air. Dua rumah tetangga mereka bahkan rubuh dan hancur. Bila kami berani naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, seluruh rumah dan tanaman luluh lantak. Dan di kilometer lima (lima kilometer dari puncak Merapi), mereka menggambarkan bahwa lokasi itu seperti jalan tol. Lurus dan rata menuju ke bawah. Tak ada lagi yang tersisa. Beberapa rumah terisi dan tertimbun dengan pasir setinggi satu setengah meter. Banyak pula ditemukan tulang-belulang manusia dan juga hewan ternak. Gue bener-bener ngeri setelah mendengar penjelasan ini. Bisakah lo pada bayangkan bagaimana kalau rumah lo terisi dengan pasir setinggi satu setengah meter lebih? Gue yakin lo gak bakal bisa ngebayanginnya sebelum lo liat langsung.

Di lain tempat, di sebuah dusun yang terkena hembusan awan panas, gue juga ikut mengantarkan beberapa sumbangan dan bahan-bahan pokok untuk persediaan selama di pengungsian. Sesampainya di rumah salah satu warga yang ikut serta mengurusi distribusi bantuan, ia bercerita mengenai keadaan di lapangan. Menurutnya, apa pun yang diberitakan di dalam berita TV manapun dengan segala yang terjadi di pengungsian sangatlah berbeda jauh. “TV hanya memberikan berita-berita baiknya saja, seolah hanya ingin menjilat pemerintah. Sedangkan yang buruk pada akhirnya disembunyikan,” begitu kira-kira pemikiran bapak tersebut. Yah, gue gak bisa komentar banyak soal ini. Lagian, gue juga gak mau komentar juga. Soalnya emang gue gak ngerti hal-hal macam begini. Gak usah dipikirin, lah. Tapi, si bapak tersebut juga bercerita mengenai hal-hal yang positif. “Saya ini adalah salah satu pengurus Partai Merah. Tetangga saya di sebelah sana adalah pengurus Partai Biru. Dan kami untuk sementara mengkesampingkan perbedaan politik dan agama untuk bekerja sama menolong

sesama,” ujarnya sambil menghisap Gudang Garam-nya perlahan. Gue sengaja gak ngasih nama partai-partai yang disebutkan beliau. Bukannya alergi, tapi tulisan gue bebas dari urusan politik walaupun itu cuma nama partai doang. Setelah menaruh barang-barang di rumah bapak tersebut untuk disalurkan kepada yang membutuhkan, gue dan teman-teman berjalan menuju Kepala Dusun terdekat untuk menanyakan data-data mengenai pengungsi, korban, dan hal-hal terkait lainnya dengan bencana tersebut. Dalam perjalanan menuju ke sana gue kerap kali melihat seluruh atap rumah di dusun tersebut tertutup dengan abu tebal. Dedaunan di semua pohon terselimutkan debu. Tidak sedikit juga pepohonan yang tumbang. Dan di setiap langkah kaki, gue sama sekali tidak menginjak tanah merah, melainkan abu dan pasir tebal yang telah bercampur dengan air. Bisa dibilang, seluruhnya terselubung dengan abu dan pasir. Sesampainya di rumah Kepala Dusun, kami disambut dengan segala kesederhanaan. Tampak tiga orang anak sedang menikmati sore hari dengan menonton kartun di TV. Yah, lebih baik dibandingkan menonton berita-berita hiperbola yang menyesatkan. Sang Kepala Dusun pun selalu menjawab apa pun yang ditanyakan kepadanya. Mulai dari data pengungsi, kebutuhan mereka, dan seterusnya. Setelah puas dengan jawaban-jawaban yang kami dapat, akhirnya kami undur diri. Perjalanan lalu kami lanjutkan menuju Posko pengungsi, tidak jauh dari dusun. Sekitar lima belas menit kami menyusuri jalan dengan menggunakan mobil pick-up. Tiba di lokasi, gue melihat sebuah rumah yang cukup besar, tapi tidak cukup besar untuk menampung para pengungsi. Seingat gue, awalnya ada seratusan pengungsi yang menginap di rumah itu dan sekarang berkurang menjadi sekitar tujuh puluhan karena mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing untuk melihat keadaannya atau membersihkannya bila dimungkinkan.

Gue juga ingat dengan pengalaman gue ke (lagi-lagi gue gak yakin dengan nama desa atau dusun tersebut, sebut saja…) Jarakan. Jarakan inilah yang terletak di tiga belas kilometer dari puncak Merapi. Gue sudah cukup bercerita banyak soal ini. Tapi, ada sebuah cerita yang lucu sekaligus mengenaskan ketika kami mengobrol sambil menyeruput teh panas dan menghisap rokok. Ketika Sang Wedhus Gembel turun dengan kecepatan sedemikian rupa, seorang warga dari dusun setempat mengalami kepanikan yang luar biasa. Di tengah kepanikan tersebut ia teringat kepada anaknya yang masih tertidur di kamar. Dia langsung menghambur ke dalam kamar anaknya dan bermaksud menggendong anaknya yang tergolong masih balita kemungkinan. Ia pun masih sempat memasukan bantal yang digunakan anaknya untuk tidur ke dalam lemari pakaian. Setelah memastikan si anak tertata rapi di punggungnya dengan diikat selendang, ia pun langsung berlari ke dataran rendah menuju tempat pengungsian. Sesampainya di tempat pengungsian, setiap orang memandangnya dengan heran. Akhirnya ia tersadar setelah mencoba menurunkan si anak dari gendongan di punggungnya. Ternyata, ia membawa bantal untuk tidur si anak dan malah memasukkan si anak ke dalam lemari pakaian. Si warga pun langsung berlari kembali naik ke atas menuju rumahnya untuk mengambil anak balitanya. Cerita selanjutnya, tidak ada lagi yang mengetahui nasib keduanya. Cerita “lucu” lainnya adalah, adanya sebuah saran petunjuk dari seorang petuah. Bahwa binatang lebih mengetahui dan mempunyai insting untuk “meramalkan” bencana yang akan terjadi dan memiliki cara untuk mengantisipasinya. Caranya adalah dengan mengikuti macan-macan Merapi yang turun dari lereng gunung. Kemana mereka pergi, ikuti perlahan-lahan dari belakang. Niscaya itulah tempat yang paling aman yang

bisa ditinggali. “Tapi, ada seorang tua yang tinggal di dekat dusun ini. Begitu melihat si macan yang keluar dari hutan di kaki Merapi, langsung “pek”! Pingsan seketika,” ujar si bapak pemilik rumah yang langsung disambung dengan derai tawa.

Lain lagi dengan Posko di daerah Suketi. Di posko inilah pertama kalinya gue menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehancuran yang diakibatkan oleh kekuatan alam. Pertama kalinya juga gue menyaksikan tumbangnya pepohonan dan atap-atap yang tertutup debu tebal. Seluruhnya berwarna kelabu. Ketika kami diterima oleh salah satu pemilik rumah di dusun tersebut (dan seperti biasa, gue dan teman-teman disuguhi teh manis. Obrolan-obrolan mengenai bencana dan penanggulangannya mengalir begitu saja. Ada juga sebuah cerita menarik di posko tersebut. Setelah meletusnya Gunung Merapi, setiap orang seolah berlomba-lomba untuk mencari tempat untuk mengungsi. Namun, sekelompok warga yang berasal dari Boyolali berdatangan ke desa Suketi tersebut. Tentu mereka diterima dengan tangan terbuka. Dan setelah waktu terus berlalu, ada sebuah kejadian dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan masyarakat dusun tersebut. Bukan bermaksud untuk menyamaratakan seluruh warga di tempat tertentu. Ternyata sekelompok warga Boyolali belum terbiasa untuk buang hajat di MCK atau toilet bersih. Akhirnya mereka membuang baik air besar maupun air kecil di sembarang tempat dan menimbulkan aroma tak sedap yang hebat di sekitar Posko.

Beberapa warga Jawa masih meyakini bahwa bencana meletusnya Merapi bukanlah bencana. Mereka meyakini sebuah pandangan yang secara turun temurun diceritakan, bahwa Merapi menagih janji. Cerita yang gue dapet sekilas adalah adanya perjanjian antara pihak Keraton Yogyakarta dengan “pihak” Gunung Merapi dan “pihak” Pantai Selatan. Entah apa perjanjian

apa yang mereka buat, gue kurang mengerti dengan mereka yang bercerita dengan Bahasa Jawa. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa ia mendengar suara ‘Jatilan’ melewati sebuah sungai besar (yang lagi-lagi gue lupa namanya). Bagi lo pada yang gak tau apa itu ‘Jatilan’, lo pada bisa cari di Google. Bagi lo yang males buka-buka Google, Jatilan itu adalah sebuah kesenian Kuda Lumping. Tau Kuda Lumping, ‘kan? Yang suka makan beling gara-gara si pengendaranya mengalami trans akibat kerasukan. Well, balik lagi ke topik. Seorang warga pada pukul dua pagi mendengar suara Jatilan melintasi sungai besar tersebut. Bagi mereka yang bisa “melihat”, konon ‘Jatilan’ tersebut beriringan berjalan bersama sekelompok pasukan menuju Gunung Merapi dari arah Pantai Selatan. Dan bagi mereka yang tidak bisa melihat, mereka akan hanya melihat lahar merah mengaliri sungai menggantikan air. Katanya, pasukan tersebut dikirim oleh Ratu Pantai Selatan menuju Gunung Merapi untuk merundingkan sesuatu bersama pihak dari Keraton. Sounds spooky, huh?

Cerita terbaru yang gue dapet adalah, sebelum dan pada tanggal 15 atau 16, menurut penanggalan Jawa, Gunung Merapi akan meletus hebat dan efeknya akan mencapai radius lima ratus (500..!!!) kilometer. Namun, bila melewati tanggal tersebut, Gunung Merapi akan kembali diam dan tidak akan meletus hebat lagi. Yah, gue sih cuma membeberkan cerita-cerita yang gue dapet. Buat hal-hal yang berbau mistik, gue gak bisa bilang gak percaya atau percaya. Inti dari cerita-cerita mistik yang gue dengar adalah, alam membutuhkan sebuah keseimbangan. Manusia yang mengambil sebaiknya tidak lupa pada, siapapun Dia. Berikanlah apa yang menjadi hak-Nya. Bila tidak, maka alam akan mengambil seluruhnya dari kita. Bukan sebagai hukuman, namun sebagai konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Ketika kita lupa pada-Nya, kita akan diberikan peringatan untuk kembali mengingat kebesaran-Nya. Dialah pemilik segalanya. Dan ketika keseimbangan telah terjadi, maka akan tercipta sebuah harmoni yang

indah. Lagipula, Gunung Merapi toh pada akhirnya akan memberikan sebuah hadiah hebat. Tanah-tanah di sekitaran Merapi diyakini akan menjadi semakin subur akibat tersiram materi-materi vulkanik. Kehidupan petani pun akan menjadi semakin makmur. Seperti yang sering dikatakan oleh banyak orang. Di setiap bencana, pasti kita dapat mengambil hikmahnya.

Dan dari seluruh pengalaman gue yang berbekas di kepala, sebuah pemandangan hebat terjadi di hari di mana gue berkunjung ke desa/dusun/kecamatan Babadan. Pertama kali adalah ketika si bapak yang menerima kami di rumahnya, yang menyatakan “perbedaan politis yang dikesampingkan” demi menolong sesama. Lalu kedua kali, gue melihat salib tergantung di rumah yang digunakan untuk posko pengungsi. Namun, di dalam rumah itu tidak sedikit para wanita berkerudung, mulai dari anak kecil hingga dewasa. Mereka terlihat nyaman di dalam rumah. Tidak mempersoalkan salib yang tergantung di salah satu sisi tembok putih itu. Kesimpulan yang gue dapat adalah, bencana mempersatukan kita. Bencana menghilangkan perbedaan. Namun haruskah kita menunggu datangnya bencana hebat untuk sekedar melupakan segala perbedaan ras, agama, bahasa, dan pandangan politik. Kalau tidak bisa, jangan heran ketika bencana terus-menerus datang. Bukan karena kita tidak ingin bersatu, tapi justru karena alam ingin kita bersatu.

One Day Trip To Bandung

Hari Minggu, tertanggal 24 November kemarin, gue beserta keluarga bergerak menuju Kota Kembang, Bandung, untuk hadir di acara pernikahan keponakan perempuan gue. Pukul 4 dini hari, gue sudah terbangun dan berkeliaran di dalam rumah. Setelah meminum susu dan bersarapan ria dengan memakan apa pun yang ada di meja makan, gue membangunkan nyokap yang masih tertidur pulas di samping bokap. Mereka memang minta buat dibangunkan sekitar jam 4-an. Nyokap memang harus bangun duluan, karena seperti mayoritas perempuan yang ada di belahan dunia mana pun, sebuah “upacara” demi membersihkan muka supaya tampak lebih segar dan cemerlang harus dilaksanakan. Bokap masih tergeletak di atas kasur. Guling di sampingnya tampak terabaikan. Jam 4 lebih 10 menit, akhirnya nyokap memulai rangkaian acara pribadinya. Sibuk bolak-balik, lalu berhenti sejenak di tempat rias, lalu kembali ke dapur menyiapkan bekal perjalanan. Padahal, segala keperluan yang harus dibawa sudah lengkap dan siap diangkut ke dalam mobil. Tapi, entah mengapa, ibu rumah tangga yang satu ini begitu rempongnya sampai-sampai mengurusi barang bawaan gue dan menanyakan apakah sikat gigi gue sudah dimasukkan ke dalam atas atau belum. Lucu. I love her very much.

Ketika waktu sudah menunjukan pukul 4.30, giliran bokap yang beranjak dari tempat tidur. Kalo bokap beda lagi. Setelah dia membuka mata, dia upacara yang dia lakukan adalah duduk selama sekitar 10 menit di atas tempat tidur, lalu turun sambil mencari sandal dan langsung menuju toilet. Di situlah “upacara”-nya berlangsung. 10-15 menit biasanya acara wajib ini berlangsung. Bahkan kadang nyokap sampai marah dan ngomel gara-gara bokap kelamaan di toilet. Selepas dari toilet, rambut bokap sudah tersisir rapi dan bau naga dari mulut pun sudah hilang. Celana jeans panjang yang menggantung di balik pintu langsung dipakainya dan dengan cueknya mencari kaos oblong putih dari lemari pakaian dan langsung dikenakannya. Dan langsung ia teriak, “KAATTT…!!!”. Kependekan dari kata “berangkat”. Sebenarnya itu cuma caranya untuk menggoda nyokap supaya nyokap tambah panik dan akhirnya malah emosi sama bokap. Hahaha..!!! I love my old-man.

Dan jam dinding pun akhirnya menunjukan pukul 5 pagi. Barang-barang dan segala macam pernak-perniknya sudah masuk ke dalam mobil. Gue, bokap, dan nyokap akhirnya meluncur menuju jalanan Jakarta yang masih cukup sepi. Sepi dan dingin akibat diguyur hujan rintik-rintik. Sebenarnya, gue masih ngantuk berat akibat kurangnya waktu tidur gue semalam sebelumnya. Bukan kurang tidur sebenarnya, tapi tidak tidur sama sekali. Gue ngotot buat memegang kemudi karena gue gak tega dengan my old-man. Masa iya dia harus nyetir Jakarta-Bandung. Padahal, dia sudah kecapekan karena Sabtu pagi diharuskan untuk bolak-balik Jakarta-Depok demi mencari sesuap nasi. Sekarang adalah giliran gue buat menyetir. Melihat jalanan yang sepi, bokap tidak merekomendasikan buat masuk tol di Semanggi. Dia menyuruh gue untuk melaju terus sampai ke arah Cawang dan mengarahkan gue untuk masuk tol di situ. Setelah masuk tol, mobil Mitsubishi Kuda langsung gue tes kemampuan, selain karena gue buru-buru pengen sampai di tujuan karena lelahnya mata gue. Jarum di speedometer hampir tidak pernah lepas dari angka 160 dan 140. Mulai dari tol lingkar luar sampai Cipularang, semuanya gue panteng kecepatan tersebut. Bokap sepertinya sedikit ketar-ketir dengan gaya nyetir gue. Kalo nyokap, yang duduk di belakang, sepertinya lebih ke arah sikap “terima nasib”. Dia malah tertidur lelap. Dengan doping Minute Maid Pulpy Orange dingin, mata dan mental gue berhasil terjaga. Bokap selalu mengajak ngobrol gue. Mungkin dia tahu kalo gue memang sedikit mengantuk. Well, perjalanan memang masih (sedikit) panjang.

Akhirnya gue keluar dari tol Cipularang. Dan beberapa kilometer lagi, gue sekeluarga akan tiba di Bandung. Bokap langsung mewanti-wanti untuk memperlambat kendaraan, karena sesaat lagi kami harus keluar tol. Tulisan “Pasir Koja 1 km” di papan hijau raksasa dengan panah menunjuk ke pojok kiri bawah mengingatkan gue untuk segera bersiap-siap. Setelah memperlambat kendaraan dan mengambil jalur kiri, akhirnya gue keluar dan memasuki kota Bandung. Setelah mematikan AC, dengan segera gue menurunkan kaca jendela dan dengan yakinnya menghirup dalam-dalam udara Bandung. Yah, tidak sesegar dulu, tapi masih lebih segar dibanding Jakarta yang sudah penuh dengan polusi beracun. Dan ternyata, gue masih ingat jalan menuju tempat saudara gue, walaupun sedikit samar-samar. Agak kaget dan kagum terhadap memory gue. Yang ngebuat gue kagum adalah karena gue sudah lebih dari 8 tahun gak pernah menginjakkan kaki di rumah saudara gue. Rumah saudara gue sebenarnya adalah rumah dari almarhum nenek gue dan akhirnya ditempati oleh saudara gue, yang biasanya gue panggil dengan sebutan oom. Walaupun sebenarnya dia adalah kakak ipar dari nyokap gue. Suami-istri ini sudah cukup lama menempati rumah peninggalan nenek gue. Dan akhirnya gue tiba di rumah yang terletak di gang ini. Banyak kenangan tertinggal dan tersimpan di rumah ini. Mulai dari yang baik hingga yang buruk, semuanya tertata rapi di dalam setiap kamar. Ah, gue bener-bener kangen dengan suasana rumah ini. Sayang gue cuma bisa sebentar saja menikmati segala kenangannya.

Mobil segera gue parkir di pinggir jalan dekat dengan mulut gang. Barang-barang dan tas gue raih semampu tangan gue mampu membawanya. Kaki gue menapaki gang sempit. Gang Pagarsih namanya. Oom Polok ternyata sudah menyambut gue di depan gerbang pintu. Segera saja gue masuk dan menaruh tas serta segalanya di salah satu kamar. Setelah gue membersihkan diri di kamar mandi dengan air yang luar biasa dingin, gue akhirnya terduduk di ruang keluarga. Udara dingin alami di dalam ruangan jarang sekali gue rasakan, kecuali di Bandung. Gak sengaja, gue ngeliat jam di dinding dan.. Wow..!!! Jam menunjukan pukul 6.45. Sinting..!! Gue gak pernah nyetir Jakarta-Bandung dengan hanya menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Dan kekaguman gue akan diri sendiri pun akhirnya runtuh akibat pinggang gue yang mulai merasa sakit. Bokap yang seakan masih segar-bugar segera berjalan ke depan gang bersama Oom Polok untuk membeli ketoprak yang selalu mangkal di sana. Gue yang sama sekali nggak punya nafsu untuk makan menolak untuk dibelikan. Walaupun begitu, gue akhirnya menghabiskan ¾ porsi bokap. Perut emang gak bisa bohong. Otak doang yang bisa nipu. Selepas gue dari ketoprak, gue langsung melarikan diri ke kamar terdekat untuk.. TIDUR..!!

Terbangun dari tidur panjang (jam 8 pagi sampai jam 4 sore), di meja makan telah tersuguhi berbagai macam lauk. Mulai dari ayam opor sampai sambal goreng ati. Damn..!! Saatnya pestaaaa… Gue makan dengan tak terkirakan. Seolah gue mengatakan “Persetan dengan dunia luar”. Bukan bermaksud apa-apa, tapi baru kali ini gue merasakan lapar yang teramat sangat. Mungkin agak hiperbol gue menggambarkannya. Tapi, ternyata gue sudah diburu waktu. Setelah makan dan cuci piring sendiri, gue harus buru-buru ganti baju. Acara pernikahan keponakan gue akan segera dimulai. Di undangan sih tertera jam 6 sore. Tapi, berhubung gue dan keluarga tidak berniat untuk menginap, akhirnya kami harus menerapkan sistem: datang => makan => basa-basi => pulang. Setelah gue bersiap-siap dan memakai batik biru yang tampak terlalu besar di badan gue, ternyata gue mendapat berita jelek. Nyokap terlalu lelah untuk ikut ke acara pernikahan. Kepalanya terasa sakit dan mengharuskannya untuk istirahat. Well, apa mau dikata. Daripada diforsir dan akhirnya malahan jelek, akhirnya gue pergi bersama bokap, oom, dan kedua kakak nyokap. Gue yang buta jalanan Bandung segera dituntun oleh oom Polok dengan sigapnya. Jalanan kebetulan memang sepi dan tidak macet. Kami semobil menuju Hotel Cemerlang, tempat acara diselenggarakan.

Singkat cerita, gue uda sampai di lantai tiga Hotel Cemerlang. Di sinilah cerita berlangsung sedikit menarik. Gue bertemu dengan seorang perempuan, yang menurut standar kelayakan gue setelah studi banding di Paraguay dan beberapa negara, termasuk dalam daftar “Top Ten Most Beautiful Girl”. Dengan kebaya coklat dan rambut panjang yang sengaja digerai menutupi pundaknya, dia berdiri sebagai pagar ayu di pintu masuk. Gue seolah terhipnotis olehnya. Gue gak sadar kalo gue terus menerus beranjak meninggalkan bokap gue yang masih sibuk mengisi buku tamu dan berbincang dengan si penerima tamu, yang juga saudara gue. Kedua mata seolah menolak untuk mengalihkan pandangan darinya. Gue menyalami saudara-saudara gue yang berdiri sebagai penyambut tamu, berbasa-basi sedikit sambil menanyakan nyokap yang sedang tertidur lelap di rumah, mata gue masih tertuju ke gadis itu. Akhirnya tiba juga gilirannya untuk gue salamin. “Makasih, ya.” Logat sunda masih kental di perkataannya. Di moment setelah salaman inilah gue berasa aneh. Dia tiba-tiba menanyakan keadaan nyokap dan bokap. Hmmm… Kok dia bisa kenal bokap-nyokap, sedangkan gue nggak kenal orang tuanya. Bokap yang ternyata sudah rampung mengurusi ang pao dan buku tamu akhirnya menghampiri gue dan cewek ini. Bokap pun juga menyalaminya dan kali ini sambil menyapa dengan nama. What the…??? Kok bokap kenal, sedangkan gue.. Tanpa tedeng aling-aling, setelah barisan pagar ayu itu selesai, gue langsung mewawancarai bokap soal percakapan aneh barusan. Sambil cengar-cengir, bokap cuman bilang, “Dia keponakan kamu.”

Wedding kiss, lempar bouquet, dan pemotongan kue telah terlewati. Acara makan malam pun diselenggarakan. Gue segera mengambil nasi beserta lauk pauknya tanpa malu-malu. Keluar dari antrian, gue bertemu kembali dengan cewek ini. Obrolan basa-basi digelar dan berlangsung dengan tidak adil. Dia manggil gue dengan sebutan nama, karena dari awal gue sudah melarangnya untuk manggil dengan sebutan “oom”. Sounds like I’m a gigolo, aren’t I? Namun sayangnya, gue sama sekali tidak tau namanya. Ngobrol dengan topik gak jelas terus berlangsung. Tiba-tiba, sekelebat suara dari arah belakang melewati telinga gue. Dan suara itu sama sekali gak asing. “Namanya Aline,” ujar suara baik namun terdengar licik tersebut. Yap, dia salah satu kakak sepupu perempuan gue. Dan langsung saja dia menghampiri keluarga gue yang sedang berkumpul dan menggosipkan gue. Ohmaigat..!! Okeh, gossip pun beredar di kalangan keluarga. This is what I don’t like. But, still I can accept it. Aline pun cuma bisa tersenyum kecil. Sambil menikmati sepiring spaghetti, dia tetap mengajak ngobrol gue seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi di kalangan keluarga. Akhirnya, obrolan pun terhenti. Gue dipanggil bokap untuk segera pulang. Waktu memang sudah cukup malam, selain nyokap yang juga lagi terbaring sakit. Gue pun langsung menyempatkan diri untuk meminta nomernya dan sekali lagi gue dibuat terkejut. “Bokap lo uda ngasih nomer lo ke gue, kok.” WHAT THE HELL..!!! Bokap gue ternyata sudah secara gerilya menjodohkan gue. Argh.. Gue berasa hidup di jaman Siti Nurbaya. Tapi, gapapa. Untung ceweknya cantik. “Okelah kalau begitu. Berarti lo yang nelpon gue,” sambil sedikit menahan tarikan di tangan dari kakak sepupu gue. Aline hanya melemparkan senyum. Aaaaahhhh….!!! Hati gue meleleh, Jek..!! Sori.. Sori.. Sori, Jek…

Pukul 20.00. Pendek cerita, gue, bokap, nyokap, dan kakak nyokap sudah siap untuk pulang ke kandang. Kembali gue yang memegang kendali mobil. Dan kali ini, sejujur-jujurnya kondisi tubuh gue bener-bener bisa dibilang hampir menyerah. Mata gue beberapa kali sudah hampir menyerah dan akhirnya sampai di titik di mana kejadian ini sama sekali gak boleh terulang lagi. Gue lupa di kilometer berapa, tapi yang pasti gue masih berada di tol Cipularang. Dan lo tau, gue tertidur selama ½ detik. Gue langsung kaget, sekaget-kagetnya dan gue langsung reflek untuk melepas gas. Creepy as shit. Bokap gue sepertinya nggak sadar dengan kejadian barusan. Sejak itu, jok mobil langsung gue tegakkan. Lumayan untuk menopang punggung dan pinggang supaya bisa lebih berkonsentrasi. Selepasnya dari tol Cipularang, akhirnya gue berhenti sejenak di tempat peristirahatan, sekalian buang air kecil. Keluar dari toilet, gue langsung cuci muka dan menyalakan sebatang rokok serta menenggak doping, mizone. Sayang nggak ada kratingdaeng. Sepuluh menit gue merokok, gue bergegas balik ke mobil. Ternyata bokap dan nyokap masih di toilet. Beberapa saat kemudian, bokap-nyokap kembali dan langsung menaiki mobil. Gue langsung tancap gas, keluar dari tempat peristirahatan, menuju Jakarta. Kecepatan gue stabilkan antara 80-100 km/jam. Kondisi badan yang tegak, wajah yang telah tersapu air, aliran darah yang teracuni nikotin, serta otak yang sudah terdoping mizone, sedikit membantu gue untuk menyelesaikan perjalanan. Hati gue semakin lega dan gembira ketika gue membaca tulisan “Cawang-Grogol” di papan hijau rambu jalan.

Mampir di pom bensin Slipi, seluruh penghuni mobil, kecuali gue, tertidur dengan lelapnya. Capek. Setelah selesai mengisi bensin, gue langsung melaju menuju Taman Kedoya Baru. Ah.. Home sweet home. Mitsubishi Kuda pun akhirnya kembali ke kandangnya. Gue dan anggota keluarga yang lain bergegas menurunkan seluruh barang bawaan beserta oleh-oleh. Dan kejutan lagi. Gue mendapat SMS dari nomor yang gue nggak kenal. “Udah sampai Jkt? Langsung istirahat aja. Besok aja kalo mau nelpon. (Aline).”

Tidur gue langsung nyenyak, senyenyak-nyenyaknya.

Catatan Tentang Teman (I)

Manusia adalah seoonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang, berisikan roh dan jiwa serta dilengkapi dengan akal budi dan pikiran. Konon (jangan dibaca terbalik), manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Dahulu, ketika Allah menciptakan dunia, manusia pertama pun hadir di dunia. Adam (bukan suami Inul yang berkumis riang gembira tersebut), tercipta dari debu dan tanah, lalu diberi nafas kehidupan oleh-Nya. Tapi, Tuhan pun sadar bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Pada akhirnya, Ia pun menciptakan seorang teman bagi Adam. Dibentuk dari tulang rusuknya ketika tertidur lelap dan dibentuknyalah pendamping yang sepadan baginya. Teman yang bisa menemaninya. (Kej 2:22)

Dari alinea pertama yang agak-agak berbau rohani tersebut, gue bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa, Tuhan mentakdirkan kita untuk hidup selalu bersama dan berdampingan dengan orang lain. Tuhan terang-terangan menyediakan Hawa bagi Adam, karena Ia tidak menemukan teman yang sepadan untuknya. Ya, iyalah. Masa’ Adam disuruh main bola bareng gajah, panjat pinang lawan simpanse, atau bahkan balap karung sama burung onta. Hewan-hewan tersebut tidak sepadan dengan Adam karena, mereka adalah seonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang dan hanya berisikan roh tanpa jiwa, akal budi, serta pikiran. Hewan adalah makhluk hidup yang bergerak berdasarkan insting. Jelas tidak cocok bila diajak curhat bareng. Pernah ngebayangin Adam duduk di atas batu sambil ngedongeng di depan hewan-hewan? Kalo lo pernah membayangkan hal barusan, berarti lo terjebak dengan cerita Tarzan atau Mowgli, si anak hutan yang mampu berkomunikasi dengan binatang. Non-sense, lah.

Maka dari itu, Tuhan berbaik hati membuat teman bagi Adam. Tulang rusuk yang diambil ketika Adam tertidur, dijadikan manusia baru yang akan menemaninya dalam segala hal. Walaupun pada akhirnya mereka jatuh ke dalam dosa akibat makan buah terlarang dari pohon terlarang yang mempunyai akar terlarang, yang tentunya dilarang oleh Tuhan <= Ngerti kalimat barusan? Kalo ngerti, kita lanjut. Kalo nggak ngerti, berarti lo gak pernah mendengar cerita soal Adam-Hawa. Okeh, kita kesampingkan soal dosa-dosaan. Yang pengen gue sedikit bahas sebenarnya adalah soal pertemanan. Karena, dari pengalaman kemarin, mata hati, mata pikiran, dan mata batin gue akhirnya bisa terbuka. Gue berani menarik kesimpulan, bahwa apa pun yang lo lakukan di dunia ini sama sekali gak bisa lepas dari yang namanya “Teman”.

Setelah gue sedikit browsing dan googling, gue mendapatkan definisi teman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau yang biasa disingkan KBBI, kata “Teman” berarti… Gue copas aja, dah. Biar lo pada bisa langsung ngerti. Teman (n): 1 kawan; sahabat: hanya -- dekat yg akan kuundang; 2 orang yg bersama-sama bekerja (berbuat, berjalan); lawan (bercakap-cakap): -- seperjalanan; ia -- ku bekerja; 3 yg menjadi pelengkap (pasangan) atau yg dipakai (dimakan dsb) bersama-sama: ada jenis lumut yg biasa dimakan untuk -- nasi; pisang rebus enak untuk -- minum kopi; 4 cak saya (di beberapa daerah dipakai dl bahasa sehari-hari): tiada -- menaruh syak akan dia;
usahlah -- dimandi pagi, pb tidak usah kamu lebih-lebihkan (kaupuji-puji).

Kalo lo bisa liat, nomer satu sampai tiga bener-bener menggambarkan dan setidaknya berhasil mendefinisikan arti teman. Gue coba tulis sekali lagi, deh. Teman adalah kawan, sahabat, orang yang bersama-sama bekerja, dan juga menjadi pelengkap serta pasangan. Jadi, kecuali lo mengalami gangguan jiwa akut dan penganut paham anti-sosial, setiap manusia butuh seorang teman sebagai pelengkap dan pasangan dalam melakukan kegiatan untuk bekerja bersama-sama. Hal tersebut terpapar jelas pada pengalaman gue beberapa hari kemarin, tepatnya tanggal 8 sampai 11 September 2010. Mengajukan diri sebagai tim advance untuk acara kemping gereja, fisik gue sedikit banyak diuji di acara tersebut. Siang, sekitar jam 2an, gue sampai di lokasi tempat pelaksanaan acara. Setelah

sebelumnya nyasar beberapa jam selama perjalanan (sampe masuk ke pusat kota Sukabumi), gue dan para anggota tim advance akhirnya bisa berkumpul. Mereka saat itu masih ngebuat tiang buat tali jemuran. Tiga tiang bamboo didirikan dan dipasang tali setinggi dahi gue. Gue gak sempat ngebantuin gara-gara pegalnya pantat akibat terlalu lama duduk di jok mobil. Gue harus sedikit mengurai syaraf-syaraf kusut di pinggang gue. Setelah sedikit reda, akhirnya gue bisa ngebantuin masang instalasi listrik dan lampu. Dengan bantuan alat canggih luar biasa yang gue bawa dari rumah (bernama test-pen), lampu-lampu di tenda pun akhirnya menyala dengan terangnya. Jujur, gue melewatkan aksi

para anggota tim untuk mendirikan tenda peserta, bikin tiang jemuran, serta setengah kegiatan untuk masang instalasi listrik. Tapi, yang penting, tugas sudah hampir selesai. Dan, buat tambahan, hampir di kamus gue mempunyai sinonim “Tidak”. Gak setuju? Gue kasih contoh kalimat: “Andreas hampir menabrak nenek buta di pinggir jalan.” Pertanyaan yang mau gue ajukan: “Apakah nenek buta itu ditabrak oleh Andreas?” Jawabannya adalah… Biar lo sendiri yang ngejawab.

Setelah gue bersantai ria karena menganggap kerjaan uda selesai. Tim advance dan beberapa tim pengisi acara ketawa-ketiwi dan malah memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kami pikirkan. Tanpa sadar, awan hitam yang menggantung di belakang bukit perlahan-lahan naik dan berjalan pelan menuju tempat kami mengadakan acara. Gerimis ringan seolah memberi kami tanda untuk segera bersiap-siap. Tapi, yang namanya anak muda, yang penting santai dulu, lah. Yang penting tenda uda kepasang, listrik uda nyala, tiang jemuran udah aman. Selesai perkara. Di saat kami belum menyadari apa arti awan hitam yang menggantung itu, tiba-tiba hujan deras langsung mengguyur tempat itu. Deras, sederas-derasnya dan dingin, sedingin-dinginnya. Kami masih bertahan di tenda terpal putih beralaskan terpal plastik silver itu, yang jika terpal itu dibalik akan menjadi terpal plastik berwarna silver. Ngerti? Nggak? Wokeh, lanjutkan. Dan seketika itu juga air menggenang di sekitar tenda platoon. Banjir yang sedikit banyak tidak gue harapkan di hari pertama ini. Akhirnya, beberapa anggota tim advance pun bergerak dan berinisiatif untuk membuat selokan atau saluran air di kitaran tenda platoon. Bersenjatakan dua cangkul dan satu linggis, tiga anggota tim advance langsung mencangkul-cangkul tanah basah yang sudah digenangi air hujan. Gue yang awalnya ragu akhirnya ikut turun tangan buat ngebantuin mereka. Damn..!! Air hujan Sukabumi lebih kejam dari ada air hujan Jakarta. Dinginnya bikin semaput. Ditambah gue yang hanya memakai sehelai kaos putih dan celana pendek kotak-kotak, tanpa mengenakan jas hujan. Kegiatan cangkul-mencangkul dimulai. Dengan cipratan-cipratan lumpur dan tanah basah, gue dan bersama beberapa yang lain masih berusaha di tengah terjangan derasnya air hujan. Selokan itu pun akhirnya berhasil dibuat mengelilingi tenda platoon. Akhirnya, hujan pun reda. Tanpa gue sadari, tubuh gue bergetar, menggigil kedinginan, yang lama kelamaan gak bisa dikendalikan lagi. Rahang gue terus-terusan bergetar tak terkontrol, dan sisa dari anggota tubuh yang lain akhirnya menyerah juga. Sekujur

tubuh gak bisa berhenti untuk bergigil-ria di tengah semprotan udara dingin. Sinting..!! Hampir semua para laki-laki yang menjadi anggota tim advance basah kuyup, malah ada yang nekad bekerja sambil membuka baju di tengah siraman shower alam. Sinting..!! Bener-bener sinting..!! Sebatang rokok sedikit membuat badan dan paru-paru gue terasa hangat. Sedikit, cuma sedikit.

Akhirnya malam pertama itu kami tutup dengan makan nasi, indomie, kornet, sarden, dan sawi putih racikan masing-masing anggota tim advance. Makanan, yang belum tentu bakalan gue

makan di Jakarta karena amburadulnya cita rasa, pada akhirnya habis dilalap oleh perut-perut keparat yang kelaparan akibat dinginnya hujan. Tim advance dan tim pengisi acara turut berandil besar dalam menghabiskan hampir satu dus indomie dan beberapa liter beras. Malam berkabut itu terasa begitu hangat. Dilingkupi orang-orang gila yang kelaparan dan hampir tidak kenal lelah, badan yang menggigil ini akhirnya terhangatkan kembali. Suara tawa lepas akibat salah meracik bumbu terdengar begitu menggema. Yah, malam pertama gue bersama orang-orang yang berhasil melepas kepenatannya selama di Jakarta.

Rantau

Ini adalah pengalaman kesekian kalinya gue ke bioskop sendirian. Tanggal 15 Juni ini, gue memutuskan untuk pergi ke salah satu bioskop besar di kota Bandung. Daripada gak ada kerjaan di rumah, lebih baik gue mengisi hari sepi gue dengan nonton film yang baru beredar di bioskop-bioskop di kota besar. Masuk di lobi Blitz, poster-poster digital yang ditampilkan akhirnya malah sedikit membingungkan gue. Karate Kid, Kick Ass, dan The A-Team adalah film-film dengan review yang sukses membuat gue penasaran. Okeh, akhirnya gue sedikit menganalisa jalan-jalan cerita per film.

KARATE KID

Dimulai dengan Karate Kid. Gue adalah salah satu orang yang beruntung di planet bumi ini karena sempat menonton versi terdahulunya. Dibintangi oleh bintang jepang, Pat Morita, film ini telah membuat trend tersendiri pada jamannya. Yang paling gue ingat adalah teriakan “AYAA..!!” yang selalu sang tokoh utama teriakan ketika melancarkan serangan-serangan terhadap lawannya. Namun, tanpa melupakan sebuah ciri khas yang sangat popular dalam film tersebut, adalah sebuah jurus yang menirukan seekor bango. Dengan tangan terentang seolah membentuk sayap dan kaki kiri yang tertekuk ke dalam, siap memberikan sebuah serangan telak kepada sang musuh. Dan, dengan slow-motion yang dramatisir, Daniel Larusso menendang lawannya dengan kaki kanan dengan keras. Tentu tanpa melupakan teriakan khasnya. Klimaks! Lawan terjatuh. Tak mampu melanjutkan pertandingan. Akhirnya, gerakan tersebut sukses membawa trend di kalangan anak SD tahun 90an. Di sekolah, gak sedikit yang menirukan gerakan bango tersebut. Tapi, efek yang massive tersebut akhirnya diredam oleh para guru. Gerakan tersebut dilarang keras dipergunakan di dalam sekolah gue karena dipercaya akan menimbulkan tindak kekerasan dalam sekolah. Hal yang sedikit menyebalkan buat gue dan teman-teman gue saat itu.

Sebersit kenangan itu akhirnya membuat gue membandingkan dengan film Karate Kid versi sekarang, yang tidak terlalu “Karate”. Dibintangi oleh Jackie Chan, yang notabene adalah ahli Kung Fu, film ini mengambil set di China daratan. Jayden Smith memerankan tokoh yang kerap menjadi korban bullying di sekolahnya, berlatih “Karate” demi membela dirinya di jalanan dan harus mengikuti sebuah turnamen. Alur cerita yang sama persis kalau gue lihat sekilas.

KICK ASS

Film ini adalah salah satu film yang sangat menarik hati gue. Sekelompok anak muda memutuskan untuk menjadi sekelompok super-hero di kotanya. Ide crita ini diambil dari sebuah buku komik yang, katanya, sukses besar di Amerika Serikat sana. Gue berpendapat bahwa film ini sangat menarik karena gue sebelumnya sudah menonton beberapa film yang diangkat dari komik, seperti Watchmen, 300, Sin City, dan yang terakhir adalah The Losers. Tentu saja tanpa melupakan jagoan-jagoan dari Marvel dan DC Comics, seperti Spiderman, Iron Man, Batman, dan lain-lain. Film terakhir yang gue tonton adalah The Losers yang memang, menurut pendapat pribadi, sangatlah bagus. Film tersebut tidak melepas jalan ceritanya dari komik itu sendiri. Hasilnya, adalah sangat luar biasa. Memang tidak ada twist-twist yang bisa membuat kita berpikir keras, tapi tetap saja jalan ceritanya tersaji sangat ringan namun benar-benar menghibur.

Dari pengalaman gue itulah, maka gue berniat untuk membeli satu tiket untuk film ini. Gambaran-gambaran lucu yang gue lihat dari trailer di Youtube sedikit mendorong gue untuk mengantri demi Kick Ass.

THE A-TEAM

Siapa yang tidak tahu B.A. Baraccus yang selalu ribut dengan Murdoch? Siapa yang tidak kenal Hannibal Smith, sang pemimpin nyeleneh eks veteran perang Vietnam? Siapa yang tidak jatuh hati kepada Templeton, sang perwira berwajah ganteng? Bagi seseorang yang mengalami era 90an, The A-Team adalah sebuah film seri aksi komedi yang berhasil membuat kita tergila-gila. Tergila-gila disini maksud gue adalah dalam arti harafiah. Ya. Kita benar-benar dibuat gila oleh aksi mereka berempat. B.A. Baraccus adalah seorang prajurit yang selalu ber-mood jelek. Marah-marah mulu. Sedangkan Murdoch adalah seorang yang dianggap gila, namun punya keahlian untuk menerbangkan berbagai jenis pesawat. Templeton Peck mempunyai keahlian untuk menyamar. Master of disguise yang sering menggunakan kemampuannya untuk masuk ke daerah musuh untuk mencuri data dan informasi pihak lawan. Dan yang terakhir, adalah Hannibal Smith. Otak dari segala aksi mereka. Mereka berempat seolah beraksi tanpa tersentuh lawan-lawannya. Ketika tertangkap dan dilucuti senjatanya, mereka mampu membuat senjata sendiri dari lingkungan sekitarnya. Dan senjata tersebut dapat digunakan untuk meng-counter segala serangan. Luar biasa!

Film seri ini juga mempunyai ciri khas. Tak ada kematian yang digambarkan secara vulgar. Di film serinya, tak ada darah yang ditampilkan dalam setiap aksinya. Tapi, dengan segala ketidak vulgarannya, The A Team berhasil membuat para penonton terpikat dengan kekonyolan dan kehebatan aksi para pemainnya. Jalan cerita yang ringan dan sedikit nyeleneh akhirnya berhasil mengundang tawa. Sejarah inilah yang membuat gue luar biasa tertarik dan merelakan Rp 30.000,- gue untuk diserahkan kepada penjaga loket (yang dengan lesung pipitnya membuat gue percaya pada “love at first sight”).

AKHIRNYA

Dan pada akhirnya gue memilih untuk menonton The A-Team yang akan dimulai pada pukul 17.00 tepat. Ini adalah pertama kalinya (mudah-mudahan untuk terakhir kalinya) gue melakukan aksi anti sosial di luar Jakarta, tepatnya di Bandung. Pengalaman yang menarik. Sepertinya gue bakal merindukan situasi seperti ini. Jalan-jalan sendirian, sempat tersesat gara-gara salah naik angkot, lost in translation a little bit dan sedikit menggunakan bahasa Sunda dengan logat aneh. Tapi, sedikit mengajarkan dan memaksa gue untuk bisa survive di tempat asing. Mudah-mudahan.

Jam netbook Axioo sudah menunjukan jam 5 kurang 10. Suara manis dari speaker pengumuman memberitahu gue untuk segera masuk ke dalam studio. Dan, gue masih dikasih kesempatan buat berpapasan dengan si penjaga loket berlesung pipi tadi. Senyum pun gue lemparkan dan… Dia cuma melengos. DAMN!!

Our First Trip (II)

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang luar biasa melelahkan, kami bisa menikmati sebuah pemandangan yang menyejukan hati. Dari atas jalanan yang cukup tinggi, kami melihat jajaran pohon kelapa yang berbaris rapi seakan melambai-lambai menyambut kedatangan kami, para penikmat liburan jahanam dari Jakarta. Bung Evan segera membuka kaca jendela mobil, diikuti oleh saya dan para penumpang lain, mencoba menangkap aroma air laut yang dihembuskan oleh angin panas. Yup. Tentu saja indera penciuman kami tidak menangkap aroma apa pun. Malahan udara teriklah yang menerpa wajah-wajah lelah kami. Alhasil, semuanya terdiam dan jari telunjuk kami otomatis menekan tombol untuk kembali menutup kaca jendela. Nampaknya, perjalanan masih cukup lama. Bung Evan kembali fokus menatap jalanan yang berkelok-kelok. Sempat terpikir untuk menawari bung Evan untuk bertukar posisi. “Don’t even think about it..!!,” bung Evan berkata dengan kekuatan telepatinya.

Tiba-tiba, jalanan yang berkelok-kelok itu hilang, diikuti dengan jalan lurus yang terkadang menanjak dan langsung menukik turun. Ketika menemukan sebuah tanjakan yang sedikit tajam, bung Evan langsung teringat akan memori masa kecilnya bermain Niagara-gara di Dunia Fantasi. Bung Evan spontan menginjak pedal gas sedalam-dalamnya hingga titik tertinggi dan membiarkan sang mobil untuk terbang lepas tanpa kendali dan langsung menuju turunan curam yang membuat seolah jantung berhenti berdetak. Menurut saksi mata, mobil yang saya tumpangi sukses terbang beberapa centimeter. Sempat terpikir untuk segera mengambil alih kemudi dan menendang bung Evan keluar.

Tak beberapa lama kemudian, akhirnya kami bertemu dengan sebuah gapura besar yang dijaga oleh empat orang sosok berseragam coklat. Ah, inilah awal sebenarnya dari liburan kami. Setelah membayar segala pungutan (tidak liar, tentunya) sejumlah Rp. 7.000,- (mencakup lima orang Rp. 1000,- dan mobil Rp. 2.000,-), mobil kami terus mengikuti alur perjalanan. Sedikit tanjakan, sedikit turunan, disertai beberapa lubang besar sialan, menemani kami hingga sebuah pemandangan yang terlihat indah. Hamparan pasir putih, ditemani suara deburan ombak seakan benar-benar menyambut kami. Sejak dari gapura, kami terus membuka jendela, mencoba menangkap aroma laut yang kali ini benar-benar kami dapatkan. Angin terik bercampur dengan aroma air laut sepertinya berhasil menghipnotis kami. Rumah-rumah warga berbaris rapi di kedua sisi jalan. Beberapa warga terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Dan beberapa anak muda setempat, dengan percaya dirinya, berkelok-kelok mendahului mobil kami dengan motor bisingnya. Memang benar apa yang dikatakan Bung Rhoma. “Darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu mencari celah, tak pernah mau mengalah.” (apa hubungannya?)

Tak lama kemudian kami berhenti di persimpangan jalan. Di depan kami, telah terhampar pasir putih yang terus menerus diterjang ombak dari arah laut. Senyum kami semakin mengembang. Air liur kami pun ikut menetes. Berhenti sejenak untuk menentukan arah selanjutnya, akhirnya kami berbelok ke arah kanan, menuju perhentian terakhir. Jalanan yang cukup hancur berantakan, disertai dengan debu yang bisa membuat Anda terkena serangan Bronchitis, menghantarkan sisa-sisa semangat yang hampir padam. Beberapa warung remang-remang di kiri kami masih menutup dirinya. Di sebelahnya, tembok-tembok dan puing-puing rumah masih tegap berdiri. Kami menduga-duga apa yang terjadi dengan rumah tersebut dan membayangkan betapa ngerinya tembok-tembok tersebut di malam hari tanpa pencahayaan yang cukup.


Setelah mencari-cari, akhirnya kami menemukan tempat penginapan kami. Sebuah pondok yang cukup luas untuk menampung sepuluh perantau jahanam ini. “Pondok Adi”, sebuah papan tertulis dengan huruf yang cukup kecil untuk dibaca, disertai tanda panah yang mengundang kami untuk masuk ke dalam. Bung Evan perlahan namun pasti membelokkan sang mobil ke dalam gerbang dan segera memarkir kendaraan. Disusul rombongan bung Davin di belakang, kami segera turun dari mobil dan menanyakan dimana kami akan menghabiskan tiga hari dan dua malam di pantai ini. Setelah mendapat kepastian dimana kami akan tidur, dengan segera kami menaruh (cenderung melempar akibat rasa lelah yang berlebihan) semua perlengkapan ke dalam kamar. Ada dua kamar di pondokan tersebut. Yang satu menghadap keluar dan bersebelahan dengannya, menghadap ke belakang, disertai dengan satu ruangan tamu/keluarga, kamar mandi yang sangat bersih, dan tempat cuci piring. Beristirahat sejenak, bung Felix, bung Charlie, non Verra, dan non Melinda setuju untuk membeli ikan di pasar (Melinda belum tidur selama 24 jam. Gak tau tuh ngapain aja semaleman). Dan jiwa petualang bung Davin pun muncul. Tanpa banyak cing-cong, mengajak saya, bung Albert Muljopranoto dan bung Hesarandi Goodman untuk segera menuju pantai, meninggalkan bung Evan dan non Chefia yang sedang membereskan barang-barang di pondokan.


Ujung Genteng - Our First Trip (I)


Perjalanan menuju Pantai Ujung Genteng kami mulai pukul 07.00 pagi, meleset dari jadwal awal pukul 05.00 karena keterlambatan salah satu anggota peserta. Berangkat dari daerah kisaran Jakarta Barat, kami menembus sepinya tol dalam kota. Sepuluh orang, yang dibawa dengan dua mobil Avanza dan Xenia, mengalami liburan bersama untuk pertama kalinya. Semangat untuk menikmati indahnya pantai tidak lagi bisa terbendung. Dengan digawangi dua sopir handal, yaitu bung Christopher Davin dan bung Evan Tanswari, tanpa disertai dengan istirahat ataupun ganti pengemudi akibat terlalu membaranya jiwa liburan, kedua mobil serupa tapi tak se-merek ini terus melindas aspal panas akibat matahari yang terus-menerus menerjang Jakarta hingga daerah Jawa Barat.

Tujuan awal kami adalah melintasi kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, karena kebetulan bung Evan sedikit mempunyai pengalaman karena pernah melintasi jalur-jalur menuju pantai yang masih terbilang private ini. Terima kasih kepada teknologi yang bernama BlackBerry yang sedikit membantu perjalanan kami. Namun, bukan GPS-lah yang digunakan, melainkan teknologi SMS (hape gw juga bisa). Yap, dibantu dengan informasi melalui SMS mengenai arah yang harus dituju, kami terus menelusuri jalan-jalan asing luar kota. Dimulai dari ramainya pasar hingga terjalnya jurang yang seakan mengundang keingintahuan kita untuk beranjak sedikit menengok dan mengukur kedalamannya dan tingginya tebing bergantian di sebelah kiri dan kanan kami. Saya, yang kebetulan satu mobil dengan bung Evan (bersama bung Charlie Wicaksana, bung Hesarandi Goodman, dan (gw bingung panggilannya apaan) non Chefia Calayo), sempat menawari untuk bertukar posisi sebagai pengemudi. Namun, dengan tegasnya bung Evan berkata, “Gak usahlah. Nanggung.” Baiklah saya turuti saja, dan pada akhirnya saya pun tertidur akibat kurangnya jam berhibernasi semalam sebelumnya. Akibatnya akan ada di akhir perjalanan ini. J

Singkat cerita akhirnya saya terbangun. Dan kami menemukan sebuah scenery yang cukup indah seperti keadaan di puncak, tapi ini setidaknya jauh lebih indah. Akhirnya kesempatan ini kami gunakan untuk berfoto sejenak sambil melepas lelah. Mobil kami menepi diikuti mobil dari bung Davin (yang beranggotakan bung Albert Muljopranoto, bung Felix Wantan, non Melinda “Psixi” Puspitadewi, dan non Verra Wijaya). Bung Evan dan bung Albert segera mengeluarkan peralatan perangnya. Sebuah sniper dengan daya tembak 1.500 meter. Ni mau ngebunuh Presiden Amerika apa liburan ke pantai, sih?. No, kidding. Bung Albert dan bung Evan mengeluarkan kameranya diikuti dengan bung Davin yang juga mengeluarkan kamera pocket-nya. Foto-foto narsis a la alay dan abege labil pun dimulai. Dengan mengambil pemandangan gunung yang tertutup sedikit kabut (atau awan, entahlah) kami terus berfoto ria sekaligus melepas sedikit penat dan kebas akibat duduk terlalu lama. Sepuluh sampai lima belas menit berselang, akhirnya kami kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan yang masih tersisa sekitar lima atau empat jam. Jalan yang meliuk-liuk bagai ular betina (?) pun kembali menghipnotis. Saya menawari kembali bung Evan untuk bertukar posisi dan kembali ia berkata, “Udah nanggung, Black.” Baiklah. Saya pun kembali tertidur.

Tertidur selama kurang lebih tiga puluh menit cukup membuat saya fit. Namun, lima menit kemudian, perut kami akhirnya diisi oleh grup keroncong yang mendendangkan Bengawan Solo (maksudnya laper). Sepakat untuk kembali berhenti sejenak bila bertemu rumah makan, kami terus menelurusi jalan yang tampaknya sudah mulai menurun. Tak terasa, jam digital di dashboard sudah menunjukan pukul 11.47. Bengawan Solo pun kembali mengalun dengan derasnya. Tampaknya sang konduktor (bahasa awamnya: Dirigen. Dirigen bukannya buat bawa air? Itu jerigen. Ah, disini XL gak dapet jerigen. Itu jaringan. Damn..!!! Kok malah becanda, sih..?? Bete, aaaahhh….) semakin bersemangat untuk memainkan lagu keroncong yang satu ini. Akhirnya, kami kembali merapat di sebuah warung baso kecil di pinggir jalan, demi mengisi para cacing-cacing biadab. Disertai canda tawa dan sedikit tingkah laku yang keterlaluan, kami akhirnya memakan dengan lahap daging-daging bulat itu, tanpa menyadari pucatnya warna baso itu. Bung Evan, dengan gaya khasnya bertanya kepada si ibu penjaga warung mengenai jarak yang masih harus ditempuh oleh kami. Janji-janji manis membuat kami kembali bersemangat kembali. Ya, sekitar 2 jam lagi kami sampai di tempat tujuan. Kami segera kembali ke mobil masing-masing, sesuai dengan rombongan awal. Tanpa lupa membayar, tentunya. Dan sang ibu pun mengelus dadanya. Tanda kelegaan yang begitu mendalam setelah ditinggal para pengembara jahanam dari Jakarta Barat. Mobil kami pun kembali melaju kencang supaya dapat mencapai tempat tujuan sesegera mungkin. Kembali saya menawari bung Evan untuk berganti posisi. Kali ini ia pun berteriak, “BAWEL, LO..!!!” Kali ini saya tidak tertidur seperti sebelum-sebelumnya.

(end of part I)