Uneg-uneg Sepakbola Awam


Kemarin (Selasa malam, 6 September 2011) gue menyempatkan diri buat nonton pertandingan Indonesia melawan Bahrain via televisi di ruang tamu rumah gue disertai dengan perasaan miris. Miris karena ternyata timnas Indonesia tidak bermain sesuai dengan harapan gue pribadi. Awal-awal babak pertama para pemain Indonesia terlihat mempunyai determinasi tinggi, terus-menerus menyerang pertahanan Bahrain. Keliatan jelas Bahrain sedikit kerepotan menjaga daerah pertahanannya. Tapi lama-kelamaan, gak tau kenapa, determinasi tersebut surut perlahan-lahan. Para pemain mulai kehilangan fokus dan kehilangan kontrol. Penguasaan lini tengah mulai terlihat kendor dan malahan kosong sama sekali. Dulu ada pepatah yang bilang kalo nyawa/roh permainan sepak bola ada di lapangan tengah. Ahmad Bustomi yang kala itu berduet bareng Firman Utina gagal, walaupun gak sepenuhnya, menjadi jangkar buat tim. Tiga gelandang serang di depan mereka berdua terpaksa berjuang sendirian. Boaz memang seringkali melakukan penetrasi ke sayap lawan lewat umpan lambung dari lini belakang. Tapi kerap gagal karena tidak ada dukungan dari belakang. M. Ridwan yang berposisi sebagai penyerang sayap pun acap kali bentrok dengan pemain lawan tanpa tersokong. Giliran Bambang Pamungkas yang berposisi sebagai second-striker yang terus mendera gawang Bahrain lewat tendangan dari luar kotak penalti. Sundulan kepalanya hasil umpan brilian Boaz dari sayap kanan juga menerpa sisi gawang Sayed Jaffer.

Otomatis gue akan membandingkan timnas saat berada di rezim Alfred Riedl. Penumpukkan lini tengah dengan empat pemain yang dikomandoi Firman Utina nyatanya berhasil menyeimbangkan kinerja tim. Kala itu Riedl berpendapat bahwa tidak ada pemain Indonesia yang mempunyai skill seperti pemain-pemain tengah Arsenal atau Barcelona, maka itu dia mengandalkan serangan dari sayap. Kiri dikuasai Okto Maniani sedangkan kanan dipegang M. Ilham. Gelandang tengah dijaga duet Firman Utina dan Ahmad Bustomi. Bek sayap kala itu adalah M. Nasuha dan Zulkifli Syukur. Dua pemain bertahan ini kerap membantu sayap tim ketika mereka kehabisan akal menggedor pertahanan lawan. Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales jadi andalan di garis depan. Dua juru gedor ini sangat berbeda tipe. El Loco menurut gue adalah tipe finisher sedangkan Bachdim lebih ke second striker, berdiri di belakang striker utama untuk menyokong striker utama. Bachdim juga sering diharapkan untuk berlari dari lini kedua membantu serangan di dalam kotak penalty ketika Gonzales mengalami dead-lock. Secara teknis, ini adalah tim yang sangat seimbang. Riedl berani mengganti striker tradisional Indonesia, yaitu Bepe dan menggantikannya dengan pemain hasil naturalisasi Belanda yang bisa dibilang baru mengenal karakter permainan timnas Indonesia saat itu. Walaupun tidak berhasil sepenuhnya, jujur saja, kala itu keliatan banget permainan Indonesia ada kemajuan pesat.

Beralih ke era Wim Rijsbergen, keliatan banget dia maksain formasi 4-2-3-1. Memang Ahmad Bustomi dan Firman Utina tetap jadi duet di lapangan tengah. Tapi formasi yg telalu rigid memaksa mereka bekerja keras sendirian. Ketika tugas mereka ada menyambung suplai bola dari pemain bertahan kepada penyerang dan gelandang serang, mereka malah terlihat linglung di sana. Kontrol yang terlalu lama dan bingung menentukan arah bola sering kali terjadi. Peran destroyer dan supplier agak rancu di antara mereka berdua. Dua sayap terkadang diharuskan untuk mencari bola sampai belakang. Malah bola-bola panjang kerap diluncurkan langsung dari belakang. Duet Utina-Bustomi tenggelam. Mereka berdua tidak terlihat sama sekali di lapangan. Cristian Gonzales yang sempat moncer di era Riedl juga ikut-ikutan kebingungan. Krisis identitas lapangan kalo gue boleh sebut. Bepe dan El Loco sebenernya dua penyerang yang mirip cara bermainnya. Keduanya adalah finisher, striker. Bepe sangat dipaksa menjadi supporter penyerang utama. Kecepatannya udah gak kayak dulu lagi semasa dia muda. Hasilnya serangan dari lini kedua sama sekali gak ada. Kalo lini belakang, kayaknya udah gak usah diomongin lagi, lah. Belum ada penampakkan yang menurut gue baik. Bola-bola atas masih jadi kelemahan paling mendasar. Tackling ala Indonesia (baca: ngawur; tarkam) masih menghiasi permainan Indonesia. Selebihnya, gak ada yang harus gue gambarkan lagi.

Namun, hal utama yang gue lihat waktu pertandingan kemarin adalah sikap supporter yang masih rada kampungan. Menyalakan petasan dan mercon kala menyanyikan “National Anthem”, serta dilanjutkan lagi pada menit 75 (kalo gak salah) ketika Indonesia sudah ketinggalan 0-2. Akhirnya official FIFA pun bergerak menghentikan permainan dan pemain Bahrain pun segera masuk ke ruang ganti. Tinggal pemain-pemain Indonesia yang duduk termenung meratapi nasib. Cuma segelintir pemain aja yang masih berusaha menanyakan keputusan tersebut kepada para official pertandingan. Malah Boaz gue liat udah melepas kostumnya dan ngobrol sama Gonzales sambil nunjuk-nunjuk tribun penonton. Gak tau dah apa yang mereka omongin. Mungkin mereka lagi ngatain penonton kayak manusia purba yang gak tau aturan. Jelas-jelas udah ada larangan dilarang bawa mercon dan petasan ke dalam stadion, eh.. masih aja tuh orang-orang udik ngotot. Waktu perhelatan Piala AFF pun keliatan jelas kalo penonton Indonesia juga sempat nyalain mercon. Gue agak lupa di pertandingan apa, tapi terlihat jelas kalo asap hasil pembakaran bahan peledak ringan tersebut sempat menutupi lapangan hijau. Gue kira kabut, coy. Ternyata asap mercon. Yaudahlahya.. Udah keliatan banget selain secara teknik, kita pun ternyata belum siap secara mental untuk menghadapi aturan dan kekalahan. Memang harus dirombak dari bawah banget.

Eits.. Masih ada satu uneg-uneg gue soal sepakbola kemarin. Mengenai RI 1 yang gembar-gembor via media kalo mereka dan rombongan harus merogoh kantong demi membeli tiket (maksudnya pengen nunjukin kalo doi gak nonton gretongan), terus dateng telat dan pertandingan udah berjalan (kalo gak salah udah 10 menitan, yeh?), dan akhirnya pulang duluan waktu Indonesia udah ketinggalan 0-2 (katanya sih doi kecewa sama pendukung timnas yang nyalain petasan+mercon di dalem stadion). Serius deh, Bro. Dateng telat trus pulang duluan? What the FUCK..!!?? Kalo leadernya aja udah begini, jangan salahin followernya kalo bertindak lebih buruk. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.

In the end, memang persepakbolaan Indonesia gak sekedar dibenahi. Tapi dirombak, dihancurkan, lalu dibangun perlahan-lahan dari awal. Dulu kita terjebak dengan euphoria #NurdinTurun. Sekarang Nurdin Halid lagi cekikikan di rumahnya sambil nyumpah-nyumpahin kita. Dan ternyata saudara-saudara, bukan cuma sepakbola doang yang kudu dirombak, nyata-nyatanya NKRI ini juga harus dihancurkan dan dibangun dari awal. Mental kita belum siap buat merdeka. Kita merdeka akibat Jepang kalah WO dari Amerika gara-gara bom atom di Hiroshima-Nagasaki. Idealisme demokrasi yang didewa-dewakan oleh para pendiri negeri ini gagal didefinisikan oleh para penerusnya. Kepala mereka mulai terenggut dengan hal-hal di luar kepentingan rakyat. Penyelesaian menurut gue pribadi adalah, bubarkan NKRI. J

No comments: