Maha Esa

Waktu itu, siang hari sebelum jam makan siang, gue berjalan terburu-buru. Resep yang seharusnya gue tebus kemarin sore terbawa pulang, menyelinap di kantong celana jeans gue. Gue berjalan agak cepat, kadang berlari kecil, sambil menghindari orang-orang yang berjalan pelan di depan gue. Kebetulan kamar rawat nyokap gue berlokasi agak jauh dari dari apotik di rumah sakit ini. Sepuluh menit perjalanan antara dua tempat itu. Sesaat kemudian, wangi obat-obatan semerbak tercium. Bebauan yang sangat familiar di seluruh koridor rumah sakit. Udah terlalu sering gue menciumnya. Akhirnya, gue pun sampai di apotik. Nomor antrean gue sabet, gue langsung menyerahkan tiga lembar kertas resep sekaligus, dua untuk hari ini dan satu untuk hari kemarin. Penjaga apotik pun sempat bingung, “Tiga resep, Mas?,” tanyanya ragu. Gue Cuma bisa cengar-cengir sambil mengangguk. Tanda terima resep berwarna kuning diberikan dan gue memutuskan untuk mengambilnya setelah lewat jam satu siang. Maklum, antreannya panjang gak keruan. Daripada gue bengang-bengong, mendingan gue balik ke kamar nyokap atau nyari makan siang. Gue pun berjalan melewati tempat-tempat duduk yang penuh terisi pasien atau penunggu pasien yang mau mendaftarkan Askes dan menunggu namanya dipanggil untuk menerima obat dari apotik tersebut. Gue nyempetin buat mampir ke kios majalah untuk beli tabloid “Bola”. Bahan baca-baca sekaligus buat ngilangin bosen. Sambil membaca berita-berita soal pertandingan Copa America, gue berjalan santai menyusuri lorong-lorong yang didominasi warna putih. Seorang petugas kebersihan lewat sambil membawa sekeranjang kain berwarna hijau. Ia menyapa beberapa temannya yang kebetulan berpapasan dengannya. Gue masih tetap membaca tabloid. Akhirnya gue sampai di kamar bernomor 108, tempat nyokap masih bergulat dengan penyakitnya, dan tanpa mengetuk pintu gue langsung menghambur masuk. Udara di luar memang cukup terik.

Begitu gue masuk, gue menemukan nyokap gue sedang dikelilingi oleh dua orang, pria & wanita. Sang pria berpakaian batik dan sang wanita memakai baju bermotif kain ulos. Keduanya telah menyentuh paruh baya. Ketika itu, mereka sedang berdoa dengan penuh semangat sambil menengadahkan tangan kanannya ke langit-langit ruangan dan tangan kirinya menggenggam Alkitab. Gue menutup pintu perlahan dan berdiri sambil menundukkan kepala. Lima menit kemudian akhirnya mereka selesai mendoakan nyokap. Gue langsung menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri. Mengobrol sebentar soal riwayat penyakit nyokap, mereka pun akhirnya meninggalkan ruangan. Nyokap yang agak sumringah langsung manggil gue dan bilang, “Banyak banget yang doain Mama. Beda-beda agama pula.” Gue pun ketawa mendengar komentar nyokap. Memang sejak beberapa hari yang lalu sejak nyokap masuk rumah sakit, ada beberapa tim pendoa yang terus-menerus berdatangan secara rutin untuk mengunjungi setiap pasien sesuai dengan agamanya masing-masing. Yang bikin lucu, kenapa hampir setiap hari para pendoanya beda-beda agama melulu. Ah.. Mungkin ini akibat penyamarataan istilah “Kristen” dari manajemen rumah sakit supaya gak bikin bingung. Atau memang Kristen ini udah kebanyakan aliran dan hasilnya malah bikin bingung. Walaupun bikin bingung, tapi tetep gak bikin absurd, kok. Yang bikin absurd cuma dia seorang. *Lha? Malah galau.. -.-“

Nyokap gue memang gak pernah keberatan dengan berdatangannya para pendoa dari agama lain. Dia selalu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Toh itu cuma doa. Ditujukannya sama kepada Tuhan. Kenapa mesti ditolak? Prinsip nyokap yang selalu gue pegang sampai sekarang. Gue dibesarkan dari kecil sebagai seorang pemeluk Katolik. Gue tumbuh dalam keluarga yang bernafaskan Katolik. Bokap selalu mendidik gue untuk menjadi penganut agama yang taat. Nyokap rutin mendongengkan gue dengan cerita-cerita indah dari Alkitab waktu gue kecil. Gue seperti dijejali fanatisme Katolik. Tapi, perjalanan merubah segala pandangan gue. Ternyata, nyokap-bokap gak pernah menjejali kepala gue dengan hal-hal berbau fanatisme. Ketika gue beranjak dewasa dan bertemu dengan dunia nyata, gue merasakan indahnya perbedaan. Berwarna-warni bagai pelangi. Waktu kuliah, gue suka banget nongkrong di musholla waktu istirahat jam 12 siang sambil ngobrol-ngobrol bareng temen-temen gue. Sampai pada akhirnya gue kepincut sama salah satu perempuan di sana. Eitss.. Bukan sesi curhat. Yang pasti, gue jadi lebih banyak mengenal apa itu agama-agama dan keyakinan di luar iman gue. Pengetahuan itulah yang membuat gue tidak langsung men-judge seseorang berdasarkan agamanya. Yang amat disayangkan, masih banyak orang-orang yang berlaku seperti itu. Miris.

Gue semakin merasakan keindahan hidup berdampingan tanpa ada sekat yang membatasi kita. Jangan mendirikan tembok tinggi di sekitar kita. Jangan jadikan agama sebagai tuhanmu karena Tuhan lebih besar dari agamamu. Mereka yang terjebak fanatisme dan akhirnya menyetujui semangat fasisme, adalah orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau belajar. Dan akhirnya nyokap gue berkata pelan, “Jangan jadikan agama sebagai sekat. Kita makhluk sosial, saling berangkulan.” Yes, Mom. I get it. 

No comments: