Rekoleksi Sebuah Perdebatan Kaum Awam

Dua hari (6-7 Agustus 2011) gue mengikuti rekoleksi di St. Monica 2, Bogor. Perjalanan dimulai dari Jakarta, menembus tol menuju Bogor. Sedikit terhambat dengan kemacetan dan matahari yang masih setia menghangatkan bumi. Ini pertama kalinya gue mengikuti rekoleksi Komkep KAJ setelah dua tahun belakangan gue selalu digoda untuk tidak mengikutinya. Isi yang tidak begitu menarik dan klise adalah alasan yang sering keluar dari mulut para berpengalaman yang telah mengikuti rekoleksi ini sebelumnya. Gak ada ekspektasi apa pun dari gue dan gue memang tidak mempunyai pandangan apa pun. Hari pertama gue lewati dengan kesan yang biasa-biasa aja. Beruntung gue bertemu dengan rekan-rekan yang dalam waktu dekat langsung menjadi sahabat seperjuangan di dua hari nan pendek tsb. Beruntung di sana tidak ada warung yang menjual anggur merah cap Orang Tua karena masih masuk dalam bulan puasa.

Hari kedua, jam 6 pagi, dimulai dengan senam a la Warkop DKI dan dilanjutkan dengan senam penguin (yang asli, agak gak jelas tujuannya) serta ditutup dengan main bola bareng. Beberapa wajah urung terlihat karena baru tertidur jam 5 pagi. Mandi dan makan pagi, akhirnya sesi ketiga (dua sesi dari hari pertama gak gue jelaskan karena memang kurang berkesan buat gue) dimulai. Gue sedikit lupa dengan judul yang akan dibawakan pada sesi ketiga tersebut, tapi entah mengapa pada akhirnya sesi tersebut tiba-tiba menjadi sebuah perdebatan antara peserta dengan panitia. Semua berawal dari pertanyaan mengenai Pastor moderator yang kurang aktif, cuek, dan mempunyai sikap negative lainnya yang tidak mampu merangkul anak muda. Romo Yadi dan Kak Maria mencoba menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Gue agak lupa kenapa tiba-tiba ada perdebatan mengenai jatah 5% yang menjadi “hak” pengembangan anak muda. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin berkembang dan terus berkembang. Dari yang memprotes ketidak-transparanan mengenai dana untuk anak muda sampai mereka yang menyanggah bahwa dana dari gereja (atau Dewan Paroki) memang tidak terlalu dibutuhkan untuk memandirikan anak muda. Sesi sharing berubah menjadi perdebatan alih-alih diskusi. Gue? Gue memilih cabut keluar dari ruangan. Debat yang gak jelas arah tujuannya semakin diperkeruh dengan penjelasan dari Komkep yang tidak menjelaskan secara tuntas yang akhirnya malah semakin memancing pertanyaan kritis dari berbagai paroki. Gue mendingan ngerokok sambil ngedengerin ocehan-ocehan yang udah sering banget gue terima dari pastor moderator gue di paroki.

Sesi ketiga ditutup (paksa) akibat keterlambatan jadwal. Gue melahap makan siang sambil mengobrol dengan beberapa teman. Ketertutupan dalam menjelaskan menjadi pertanyaan dari beberapa OMK. Persis seperti yang gue rasakan. Masih ada rasa ketidak-puasan dari segala penjelasan tersebut. Temen gue sempat berujar, “Judul pertemuan ini ‘REKOLEKSI’, tapi kenapa jadi kayak debat Parpol gini?”. Gue cengar-cengir sambil jawab, “Pertanyaan yang dijawab setengah-setengah bakal bikin perdebatan.”

Setelah foto bersama, akhirnya gue dan rombongan pulang dan kembali menuju Katedral. Rasa lelah menggantung di sekujur tubuh. Namun semangat perubahan tak pernah hilang dari diri. Sistem harus dibuat secara proporsional sehingga mampu berfungsi secara optimal. Sejujurnya, gue tidak mendapatkan apa pun dari Rekoleksi ini, kecuali penjelasan-penjelasan klise, teman-teman seperjuangan idealisme, dan rasa capek yang terlingkar di leher.

No comments: