Kesetiaan dan Pengabdian Jason Statham Terhadap Genre Action
Keabadian Kepatuhan
Aku hadir di saat pertama kali engkau memasuki tahun pertama sekolahmu.
Aku hadir di saat kelulusan kuliahmu.
Aku hadir di saat pernikahanmu.
Aku hadir di saat engkau harus memakamkan orang tuamu.
Kini, aku hadir di sampingmu, menemanimu dengan setia di samping tempat tidur.
Aku tetap hadir di sini, walau terkadang engkau melupakan keberadaanku.
Wajahmu terlihat tua, keriput yang semakin terlihat.
Namun aku masih mengenalmu, tidak hanya sekedar wajah.
Terlihat semangat mulai meredup seiring tahun yang berlalu.
Seolah tak adil, roda waktu terasa terlalu cepat berputar.
Menggilas semua bara api kehidupanmu, namun gagal menghilangkan gairahmu.
Sayang... Badanmu sudah tak mampu menampung luapan gairah.
Engkau terlalu renta.
Janganlah takut, Kasih.
Aku tetap di sini.
Garis waktu takkan mampu menghilangkanku dari sisimu.
Aku ditakdirkan untuk selalu ada demi engkau, wahai makhluk termulia.
Engkau patut bahagia, penuh impian.
Aku patut terdiam, patuh.
Engkau patut mendapatkannya, alam semesta.
Aku patut terdiam....
Patuh...
Masih Rapuh
Di bawah hamparan cahaya kuning temaram, gue terduduk merapatkan punggung ke tembok putih yang tertutup lembaran-lembaran poster. Gue masuk, terjebak mungkin lebih tepat, dengan situasi aneh yang belum pernah gue alami sebelumnya. Pengalaman gue yang terdahulu sudah mengajarkan untuk tidak terlalu berharap banyak dan terlalu mempercayai perasaan yang kerap menutup logika. Dulu harapan-harapan itu gue bentuk sendiri. Gue membuatnya dari awal, yang perlahan-lahan akan menjadi bangunan kokoh. Namun kerap kali pula bangunan itu masih setengah terbangun dan gue harus menghancurkannya. Rata dengan tanah. Terkadang gue harus hentikan kala dia masih rapuh, hanya supaya mudah gue rubuhkan sampai tak tersisa bahkan puing-puingnya yang terkecil. Gue selalu mempersiapkan hati dan diri untuk menerima segala keadaan.
Sekarang gue menghadapai sebuah masalah (bukan masalah mungkin, tapi lebih kepada dilematika yang terus kebawa mimpi) yang sedikit mempengaruhi segala persepsi gue sedari awal. Pertama-tama gue udah memutuskan untuk tidak membangun sebuah fondasi di tempat tersebut. Gue sedikit, bisa dibilang, terobsesi untuk menempatkan sebuah tiang pancang besar di tempat lain. Namun setelah tiang pancang tersebut berdiri dan payung harapan mulai berkembang, tanpa gue sadari seseorang telah masuk ke salah satu ruang kosong tanpa izin. Di sana, sosok tersebut mulai membangun sebuah harapan maya. Gue masih ragu untuk bisa menyebutnya nyata. Keraguan ini muncul karena tidak adanya fondasi yang mengikat dasar harapan tersebut. Ibarat seperti tenda yang Cuma menancapkan pancang-pancangnya yang pendek ke dalam pasir. Tapi, gue memutuskan untuk meneruskan sebangun harapan tak berfondasi ini.
Ikatan-ikatan kecil yang terjalin mulai merapatkan gue. Sebuah perasaan yang gak tau darimana datangnya semakin menyesakkan dada, namun terasa sedikit menusuk jantung. Luka-luka kecil seolah menjadi penanda, tapi gue menganggap itu adalah pertanda. Gue lagi-lagi harus menyiapkan segala kemungkinan. Ekspektasi baik dan buruk udah ada di kepala dibarengi dengan akibat-akibatnya di depan mata.
Untitled Utopia
Masing-masing dari kita tentu percaya bahwa ada “sesuatu” di balik segalanya. Selalu ada hubungan sebab dan akibat di kehidupan kita. Kita percaya kalo seluruh tataran angkasa dan jajaran planet serta sebaran bintang-bintang ini diciptakan oleh sebuah “Maha Elemen”. Kita juga tentu percaya kalo daging yg akan membusuk ini diisi dengan jiwa dan roh oleh “Maha Sesuatu” pula. Dan sampai detik ini, beberapa orang di seluruh belahan dunia pasti setuju kalo Maha Elemen dan Maha Sesuatu itu punya sebutan “Tuhan”.
Para ilmuwan di luar sana sudah mencoba segala cara utk menjadi (setidaknya menyamai) Sang Maha Elemen tsb. Dan sekarang gue udah menemukan cara yg lebih simpel utk jadi Tuhan.
Menulis adalah cara lo menjadi Tuhan. Kata-kata yg kita rangkai menjadi kalimat akan semakin tersusun dan membentuk sebuah “dunia” baru. Cerita yg berisi tokoh2 yg dgn leluasanya lo bentuk sendiri. Lingkungan yg dgn semaunya bisa lo tentukan seenak jidat. Tokoh di dunia lo adalah keputusan prerogative lo. Lo yg membentuknya dari awal, lo pula yg menghembuskan jiwa ke dalamnya. Dunia yg masih kosong berwarna putih lo bentuk perlahan-lahan dan menjadi keputusan lo utk menjadikan bentuk akhirnya. Takdir para tokoh di dalam cerita. Kelahiran, kematian, pertemuan, perpisahan, kebahagian, kemunafikan. Lo yg berkuasa di dunia itu. Alur cerita yg lo susun sendiri. Awal terbentuknya cerita sampai akhirnya, semua ada di jemari lo.
Sayangnya, gue sering banget gagal nyelesain dunia gue. Kadang dunia bentukkan gue terlalu sempurna. Sebuah utopia. Tanpa kenegatifan. Tokoh yg gue buat seringkali terlalu perfect utk menjadi nyata. Dan akhirnya seringkali gue iri dan cemburu dgn mereka. Karna terlalu sempurna, akhirnya gue memutuskan utk membunuh mereka tanpa mereka tahu apa yg akan terjadi di akhir jalan cerita.
Dunia gue yg terlalu sempurna terbengkalai gitu aja. Mereka udh terbentuk dgn rapinya, tapi sayang terlalu sempurna. Kesempurnaan memang gak bisa didiamkan. Harus ada sebuah noda di dalam dunia sehingga dia tetap berjalan. Mereka bilang itu adalah keseimbangan. Tapi pribadi ini bilang bahwa itu adalah satu-satunya cara gue menelisik lebih dalam, berpeluk lebih menyatu dengan-Nya.
diambil dari: tovalzky.tumblr.com
Tanpa Emosi Di 19:29
18:52. Reski duduk sendiri di meja bundar. Di sampingnya berdiri sebuah tempat sampah yang baru dikosongkan oleh seorang petugas kebersihan berseragam biru kotak-kotak. Reski meminta sebuah asbak untuk menaruh batang rokok yang telah terbakar. Punggung tangannya memperlihatkan sebuah luka bakar dan sayatan pisau. Luka yang yang ingin ia hapuskan. Luka yang terus menerus mengingatkannya pada sebuah memori buruk beberapa tahun sebelumnya. Sebuah botol bir dingin berdiri di sebelah buku jurnalnya, basah akibat pertemuan fisik sebuah kesepian dalam ruang dingin dengan kehangatan udara di luar, namun muram. Keringat gugup yang seolah menyambut keramaian. Sebuah paksaan untuk menelan keberaturan.
Reski dua kali menghisap rokoknya dan kembali menaruhnya di lengkungan asbak kuning, membiarkannya menyala dan berasap. Nyalanya tak mampu menerangi kesendirian dan asapnya malah semakin menyesaki pikirinannya yang kalut. Jurnal itu dibuka dan lembaran kertas putih bergaris sekonyong-konyong menatap penuh tanya, apakah ia siap dibelai halus oleh cinta dan kelembutan atau diperkosa dengan kasar, penuh nafsu keji. Reski hanya bisa membalas tatapannya. Ia sendiri pun masih bimbang. Kegalauan terkuak dari ranah imajinasinya. Tangannya tidak lagi menggenggam botol hijau. Kali ini sebatang ballpoint biru menggantikan singgasana sang botol di tangannya. Ia mengarahkannya pada kertas kosong tersebut, bagai busur yang siap meluncurkan si anak panah. Namun Reski tak mampu juga menemukan sasaran. Ia pun bersandar pada bangku plastik putih. Membagi bebannya, berdua bersama benda mati tersebut. Kumandang adzan sedikit menenangkan hatinya. Matanya terpejam. Khayalnya melayang.
Rokok pertamanya telah terbakar habis meninggalkan abu di dalam asbak kuning. Membiarkan Reski dalam keramaian yang semakin membuatnya merasa terkucilkan. Ballpoint itu masih di dalam genggamannya. Tangannya menunggu perintah dari otak. Hatinya menahan instruksi tersebut. Tempat sampah itu masih setia berdiri di sampingnya walau telah terisi bungkusan makanan ringan kosong dan kardus hotdog. Namun ia masih setia menunggu Reski dalam ketidaksinambungan hati dan pikiran. Kemanusiawian dan akal sehat mutlak dipegang Reski, tapi sikap dan keteguhan tetap terjaga oleh para benda mati. Andai budi dan kengototan mampu ia satukan. Andai saja.
Mercusuar telah tertuju pada satu objek. Terangnya lampu sorot terus menerus mengarahkan

perahu yang akan menepi. Lampu itu sesekali bergerak, menerangi perairan gela tersebut. Entah mengapa kapal itu tetap tidak bergerak. Sauhnya terus terantuk pada dasar laut hitam. Ombak yang semakin meninggi terus mengombang-ambingkannya. Namun kapal itu tetap tidak bergerak. Sang nakhoda memberikan sebuah sinyal pada mercusuar. Ia telah melihat jalan menuju dermaga terdekat. Tetap…. Ia tidak bergerak. Sang mercusuar terus setia meneranginya di dalam gelap. Terus menunjukkan jalan menuju tempat tambatan.
Hati Reski akhirnya berubah. Dengan segenap kekuatan, ia menggerakkan alat tulis berwarna biru itu. Kertas jurnal tersebut berlaku pasrah, siap menerima perlakuan apa pun. Mata alat tulis segera menghujam sang lembaran kosong. Dan…. Kertas itu kecewa. Hujaman itu menari tanpa emosi. Tanpa perasaan. Namun, kental kebimbangan juga penuh ketulusan.
“AKU RINDU…”
Jurnal pun tertutup rapat. Reski menyudahi semuanya. Tanpa emosi di 19:29…
Keep It Going
Dimensi

Diary Of The Unmanned 3.0
Cahaya dari notebook itu memantul jelas di kacamatanya. Miranda masih terus menerus memandangi layar LCD itu. Jemarinya tanpa henti menari-nari di atas tuts-tuts keyboard, menghasilkan bunyi gemeretak yang berirama. Segelas susu coklat panas terdampar di pojok meja kayunya. Asapnya mengepul, namun langsung menghilang. Miranda sama sekali tidak mengindahkan segala gangguan dari luar. Ia sangat berkonsentrasi menjalankan tugasnya. Walaupun terkadang terdengar samar-samar suara ribut dari bawah tangga. Ketika kebisingan kembali mengganggu, ia langsung memasang volume terkeras di headphone-nya. The Prodigy mengalun, menghantarkannya ke dalam mood yang ia perlukan. Lepas dari segala polusi dan intervensi dunia luar. Sesekali ia menyesap susu coklat itu demi menyegarkan pikiran dan menghangatkan perutnya.
Miranda melirik ke jam digital yang berwarna hijau menyala, berkedip terus-menerus dengan setianya. 04:00, dan terus berkedip. Sejenis kabut putih sudah mulai menyambangi matanya. Ah, sudah lelah. Ia melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas keyboard. The Prodigy masih mengalun deras. Ia meregangkan tubuhnya di atas kursi dan segera mematikan notebook itu sambil setengah melempar headphone yang dilepas dengan asal-asalan dari telinganya. Jendela menuju dunia luar masih terbuka. Angin malam masih berhembus, sepoi-sepoi. Rintik hujan kecil sedikit membasahi wajahnya. Miranda sengaja membiarkan. Ia duduk di atas jendela, sambil sedikit menghirup susu coklatnya yang mulai mendingin.
Handphone di atas tempat tidurnya tiba-tiba berbunyi. Miranda tidak menghiraukannya. Ia sedang malas berbicara. Kepalanya masih dipenuhi dengan berbagai macam ide yang, entah mengapa, tidak mampu ia tumpahkan semuanya ke dalam sebuah tulisan. Handphone itu kembali bordering. Miranda masih duduk diam sambil menatap langit, merasakan hantaman gerimis yang dibawa oleh angin sepoi-sepoi. Matanya tertutup. Beristirahat sejenak. Wajahnya mulai basah. Handphone itu kembali bordering. Akhirnya, Miranda mengangkatnya. 04:35, dan terus berkedip.
“Ya..?,” pendek kata saja, pikirnya.
“Vanessa Miranda Tahir?,” sahut suara di ujung telepon.
“Yeap, itu saya,” formal sekali, pikirnya lagi.
“Maaf kami menelepon Anda sepagi ini,” memang tak tahu sopan santun. “Namun, kami memang harus memberitahukan hal yang sangat penting saat ini juga.”
“Anda terdengar bukan dari Universitas atau dari editor saya.”
“Memang bukan,” suara itu terdengar semakin terburu-buru.
“Lalu..?”
“Saya tidak bias menjelaskan kepada Anda sekarang. Mungkin nanti siang pukul 14:00 akan saya hubungi lagi.”
Telepon itu langsung ditutup. Miranda melempar teleponnya tepat di atas bantal Teddy Bear coklat. Coklat itu kembali dihirupnya dalam-dalam. Penasaran yang memuncak disertai sebuah disertasi kelam yang berkeliling di sekitar ruangannya yang berwarna hijau merana. Tengkorak kecil itu mengangguk-angguk di atas meja kayunya. Miranda hanya melihatnya sekejap dan mengalihkan perhatiannya lagi pada langit yang masih setia mengirimkan tetesan-tetesan air hujan ke bumi.
Diary Of The Unmanned 2.0
“Ini adalah sebuah pengalaman baru bagi kemanusiaan. Sebuah dedikasi luar biasa dari para ahli untuk menolong dan membangkitkan umat manusia dari segala keterpurukan. Perintis dari segala karya penyelamatan di tengah kehancuran komunitas besar di dunia. Tanda keberhasilan dari majunya ilmu pengetahuan manusia,” Mr. Takashima berdiri di podium. Tangannya bergerak ke sana kemari, seolah sedang melukiskan apa yang baru saja ia katakan. Wajahnya menampilkan wibawa yang tak mampu dibendung, sehingga para pendengar mampu memperhatikan sambil terkesima. Para mahasiswa itu memenuhi semua tempat duduk di teater setengah lingkaran itu. Tak ada bangku kosong yang tersisa.
“Ini adalah sebuah jalan menuju dunia yang baru bagi kita. Bahkan lebih besar lagi, bagi bumi kita.” Ia menghiraukan pandangan yang bertanya-tanya.
“Ketika alam menantang kita untuk lebih berpikir maju ke depan, di saat itulah kita menyatakan kesiapan kita. Kesiapan untuk menjawab segala tantangan dan pertanyaan,” sambil merapikan rambut putihnya, “Namun dengan apakah kita menjawab segala tantangan itu?”
Para mahasiswa itu tetap memperhatikan dengan seksama, tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun.
“Tentu dengan ilmu pengetahuan.”
Suara persetujuan menggema di aula itu dan disambung dengan tepuk tangan panjang. Mr. Takashima sedikit tersenyum. Omongan panjang lebarnya mampu diterima oleh segenap kaum cerdas di seluruh penjuru ruangan. Di salah sudut gelap, Mayor Marcio Lopez termenung. Tersenyum miris sambil bertepuk tangan lemah. Sambil mengangguk pada salah satu mahasiswa, ia mendorong pintu di belakangnya dan keluar ruangan. Cerutu yang sedari tadi terjebak di dalam saku seragam dinasnya segera disisipkan ke sela bibirnya. Wanginya langsung menjebak oksigen untuk berputar. Beberapa dosen menutup hidungnya ketika melewati kepulan asap cerutu. Namun, beberapa mahasiswa memperhatikan Lopez dengan sedikit bingung. Mungkin jarang ada seorang Angkatan Laut singgah di Universitas itu.
Ruangan kembali terbuka. Suara tepukan tangan kembali terdengar ketika pintu terbuka dan langsung tertahan seketika pintu tertutup. Seorang laki-laki berambut sebahu berdiri di samping Mayor.
“Tak suka pidato ‘Sang Penyelamat’?,” Tanya laki-laki itu.
“Hmm.. Tipikal ilmuwan,” jawab Mayor pendek.
“Atheist?”
“Mengkesampingkan Tuhan.”
“Ilmu pengetahuan mengalahkan Tuhan dalam hal ini.”
“Dalam masa kekacauan atau chaos, siapapun yang mampu menjanjikan pembaharuan dan keselamatan. Dialah tuhan.” Sang Mayor mendelik ke arah si mahasiswa.
“Dan Anda..”
“Jika pertanyaanmu menyangkut imanku, jawabanku adalah,” Mayor mendekati telinganya, “jangan pernah meragukan-Nya.”
Mahasiswa itu hanya bisa tersenyum kecil sembari melihat Sang Mayor meninggalkan aula sambil meninggalkan jejak asap wangi cerutu. Javanese Cigar, mahasiswa itu menebak dari wangi yang ditinggalkan kepulan asap tipis itu. Sembari menyalakan sebatang rokok putih, ia berjalan menyusuri aula besar itu menuju gang sempit yang menghantarkannya ke perpustakan besar yang keseluruhan ruangannya terbuat dari kayu. Senyumnya sedikit mengembang, berpikir bahwa masih juga ada yang dapat berpikir waras di tengah kehancuran moral di dunia. Ia membuang rokoknya yang masih terbakar setengah dan langsung berjalan menuju perpustakaan yang tenang. Inilah duniaku, pikirnya.
Diary Of The Unmanned 1.0
Nomer urut : 730
Nama : Andy Reynard Colbaut
Usia : 24 tahun
Alamat : Panti asuhan St. Charles, Bogor
Tempat, tgl. Lahir : Bandung, 27 November 1997
Nama Wali/Orangtua : Ir. Fransiscus Barry Colbaut
Keluhan : Asthma
Nama Dokter : Dr. Hendradi Rantau
Kartu itu tetap dipegang erat di tangan kirinya. Tempat duduknya memanjang ke samping hingga ujung ruangan. Tak ada sisa tempat sehingga beberapa orang harus rela berdiri sambil bersandar ke tembok. Ruang tunggu klinik kecil itu menjadi sedikit riuh dengan bisikan-bisikan kecil di sekeliling ruangan. Rey terlihat sedikit menikmatinya sambil memperhatkan beberapa gambar yang menunjukan paru-paru yang menghitam akibat tercemar tar. Ia memalingkan pandangannya kepada gambar disampingnya. Petunjuk cara menyusui anak dengan ASI. Akhirnya ia mengakhiri pandangannya ke tempat dimana satu keluarga berkumpul. Anak kecil itu tetap berada di pangkuan ibunya, sedikit terganggu pernafasannya. Seorang wanita tua, mungkin neneknya, mengusap lembut rambutnya sambil menahan tangis. Kakak perempuannya hanya terduduk diam di samping ibunya, tidak mengerti apa yang harus dia lakukan. Ia hanya menatap lurus ke lantai keramik putih, mencoba membalas tatapan sang bayangan. Mereka mengantri di bagian “Penanganan Darurat 24 Jam”. Rey memalingkan pandangannya ke luar klinik. Matahari sudah terbenam. Melirik arloji hitam di tangan kanannya: 18.30 PM.
“Bapak Andy Reynard Colbaut,” suara dari speaker membuyarkan lamunannya. Suara itu memang terlalu keras untuk ruangan sekecil itu. Lagipula, apa gunanya speaker kalau pada akhirnya kau harus berteriak.
Rey langsung berjalan menuju tempat registrasi. Suster itu langsung menunjuk pintu yang terletak di dalam. Rey menyusuri lorong pendek yang menghubungkan setiap pintu. “Dr. Hendradi Rantau” sebut papan nama itu, tanpa embel-embel spesialis. Rey mengetuk dan langsung membuka pintu. Tidak ada orang di dalam. Namun, Rey tetap masuk dan berdiri membelakangi pintu. Ruangan dengan suasana biru muda itu terasa lembab. Meja kerjanya dipenuhi dengan kertas-kertas memo kecil yang berserakan dan buku resep yang tipis. Pena terbuat dari bulu, yang entah masih berguna atau tidak, tersangkut di tempatnya. Kursi hitam dari kulit itu membelakangi jendela bertirai tipis yang masih mampu ditembus oleh sinar lemah dari lampu taman. Jas praktek tergantung rapi di ujung kursi kulit itu.
“Permisi,” Rey menyapa pelan.
“Ya, tunggu sebentar,” suara itu keluar dari balik tirai putih.
Berdeham sejenak, tirai putih itu tersibak. Lelaki itu merapikan sedikit lengan kemeja abu-abunya. Sambil berjalan tegap, ia mengambil jas dokternya dan memakainya dengan cara yang menurut Rey cukup elegan. Rambutnya mulai memutih, namun kerut di wajahnya belum terlalu tampak. Rey memperkirakan sekitar 45 tahun. Setelah dipersilahkan duduk, ia langsung menanyakan segala pertanyaan mengenai keadaan Rey dan segala keluhan yang ia rasakan. Rey hanya menjelaskan seperlunya. Ketika ditanya jenis obat apa saja yang ditelannya, Rey hanya menggeleng. Dokter itu langsung menuliskan resep. Setelah menerima resep, Rey langsung berdiri dan bersalaman sambil mengucapkan terima kasih.
Rey memang tak pernah betah berlama-lama di dalam ruangan dokter. Semerbak bau obatlah yang justru kerap membuat pernapasannya sesak. Setelah melalui ruang tunggu yang masi riuh itu, ia buru-buru membuka pintu klinik dan segera keluar. Udara panas dan lembab langsung menyerang wajahnya. Rey mengambil masker penutup wajah yang sedikit melindungi matanya dari sergapan debu merah tebal yang terbawa angin. Ia berhenti sesaat dan memandang ke arah bulan sabit besar. Langit itu tampak membiru bercampur taburan warna ungu. Awan-awan membawa air mulai bergerak ke arah timur, seakan menghampiri si bulan sabit. Tanda bahwa sesaat lagi akan turun hujan deras. Rey mengambil jaket panjangnya dan penutup kepala serupa sorban dari gantungan di dekat pintu. Segera memakai keduanya dan mulai berjalan ke kerumunan orang di jalan. Ia langsung membaur dengan para penjual yang meneriakkan barang dagangannya tanpa lelah. Kehidupan normalnya sesaat lagi akan berubah, pikirnya.
The Life Of The Un-Manned II
The Life of The Un-Manned
Akhirnya kutemukan juga jam sial itu, tertelungkup dengan bahagia di dekat sandal. Ah, pukul 5 pagi, namun matahari belum sedikit pun menampakkan sinarnya. Kota apa ini? Seharusnya mentari sudah bersinar terang menyambut hari baru. Akhirnya, dengan segala kekuatan, aku gerakkan seluruh tubuhku. Berusaha keras untuk bangun dari tidur. Engsel-engsel lengan berteriak dan berdecit, seperti engsel tua yang tak lama diminyaki.
Baiklah. Rutinitas lagi. Hari baru untuk rutinitas yang sama. Semangatku telah pudar. Pikiran positifku sudah terurai bersamaan dengan hembusan nafas beratku. Kupejamkan mata, mencoba mengumpulkan roh yang tersebar di setiap sudut ruangan. Berdoa kepada, siapapun yang mampu mendengarkan. Lalu menjejakan kaki ke lantai, yang akhirnya menjadi tindakan paling konyol pagi hari ini.
"Anjing.." Ucapku lemas sambil memandang telapak kakiku yang berdarah dengan aktifnya.