Sudahkah?

Belum lama ini saya menonton sebuah film yang berjudul “Crossing Over”. Film yang dibintangi Harisson Ford, ini mengisahkan perjuangan para pengungsi dari negara Meksiko yang sedang, akan, dan telah melintasi perbatasan untuk mencari penghidupan dan kehidupan yang lebih baik di negara adidaya Amerika Serikat. Setelah selesai menonton film ini, ingatan saya langsung beralih kepada nasib para pengungsi di negara kita tercinta, Indonesia.

Terakhir yang masih sedikit terngiang di ingatan kita adalah sebuah bencana alam massif yang menimpa kita, yaitu meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah. Begitu besarnya letusan gunung tersebut, sehingga banyak sekali warga yang pada akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka yang tinggal di sekitar kaki gunung, berbondong-bondong turun mencari tempat perlindungan yang mereka rasa aman dari tiupan awan panas dan lahar dingin. Di tanggal 8 November 2010, menurut data dari sebuah situs berita online, hampir 280.000 jiwa mencari tempat perlindungan dan jumlah tersebut akan terus bertambah setelah pemerintah memperluas zona bahaya. Sayangnya, mereka yang mencoba untuk bertahan hidup dari bencana ini pun seolah terlupakan. Di tempat pengungsian, nasib mereka pun terkatung-katung. Tempat pengungsian yang seharusnya menjadi tempat yang mampu membuat perasaan aman malah menjadi kebalikannya. Kurangnya perhatian dari pihak berwenang meningkatkan garis depresi. Sikap acuh tak acuh pemerintah akhirnya membuat mereka memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing, walaupun jelas-jelas Gunung Merapi masih berbahaya. Kucuran dana bermilyar-milyar dari pemerintah tidak sampai ke tangan para korban bencana alam. Hak-hak mereka terlupakan.

Kalau Anda lebih jeli melihat, seringkali kita juga membaca di media massa dan juga menonton di televise mengenai aksi-aksi penggusuran oleh sang pemegang wewenang. Rumah-rumah dihancurkan. Tembok-tembok dirobohkan. Dengan berbagai alasan mengenai “penempatan lahan milik pemerintah”, mereka dengan bambu dan traktor menghajar setiap bangunan yang masih berdiri tegak. Walhasil, para “pemilik” tempat tinggal pun harus kembali mengungsi, mencari tempat tinggal yang dirasa lebih layak. Memang jika dilihat dari satu sudut pandang, para penduduk liar tersebut secara jelas mendirikan rumah tanpa ijin, membuat rumah di bantaran-bantaran kali yang pada akhirnya dijadikan alasan sebagai penyebab banjir. Para pengungsi yang sedianya ingin mencari penghidupan yang lebih baik di ibukota pada akhirnya menjadi korban dari arogansi satu pihak.

Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 Juni 2011, sedianya kita dingatkan kembali mengenai hak-hak para pengungsi. Tidak usahlah kita memperhatikan para pengungsi akibat perang di Irak, Palestina, atau di negara-negara Afrika yang sedang dirundung perang. Alihkanlah pandangan kita kepada para pengungsi di negara Indonesia sendiri. Nasib para pengungsi korban bencana alam Gunung Merapi, para pengungsi di Sidoarjo akibat lumpur Lapindo yang tidak berkesudahan, para petani di Kebumen yang sedang mengalami konflik dengan pihak otoritas TNI, para pengungsi di Irian Barat yang juga sedang bentrok dengan pemerintah, dan secara khusus, para pengungsi di daerah sekitar Jakarta yang mengalami penggusuran dan pada akhirnya ditelantarkan pemerintah. Tertulis jelas di Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Juga di Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Sudahkah?

No comments: