Generasi Muda di Permukaan Kolam Uang Paman Gober

Siapa yang bilang bahwa uang tidak bisa membeli segalanya? Kalau Anda penggemar sepakbola dan mengikuti perkembangan sepakbola Eropa, maka Anda pastilah sudah mendengar kabar keberhasilan Paris Saint-Germain (PSG) memenangkan liga Perancis untuk keenam kalinya sejak didirikan pada 12 Agustus 1970 silam. Hebatnya lagi, PSG berhak menyandang gelar terbaik di tanah Perancis tersebut ketika liga masih menyisakan delapan pertandingan. Keberhasilan ini tak bisa dilepaskan dari gelontoran duit yang dikeluarkan oleh Nasser Al-Khelaifi.

Sejatinya metode keberhasilan instan melalui investasi gila-gilaan telah dilakukan oleh sejumlah klub sepakbola Eropa. Di masa lalu, kita bisa melihat perubahan wajah Chelsea ketika diambilalih oleh milyader Rusia, Roman Abramovic. Klub London yang awalnya hanya memiliki label kuda hitam tersebut berubah menjadi pemain utama di liga Inggris. Belum lagi Manchester City yang bisa disebut sebagai "anak tiri kota Manchester" itu, kini telah memiliki status sebagai salah satu klub terhebat di kancah Premier League. Semua kesuksesan tersebut datang berkat "kantung ajaib Doraemon" yang memiliki sumber daya uang yang tidak akan habis, setidaknya hingga saat ini.
Investasi dalam jumlah besar pada akhirnya mengubah wajah persepakbolaan dunia. Tak hanya sekedar menjadi olahraga, sepakbola telah menjadi industri di mana profit adalah salah satu hal yang wajib didapatkan dalam batas periode tertentu. Untuk mendapatkan profit, ada sebuah hukum sederhana, yaitu pemasukkan harus lebih besar dari pengeluaran. Demi mengejar hal barusan, maka pelaku industri sepakbola (dalam hal ini pemilik klub) melakukan berbagai macam hal, mulai dari menjual merchandise berupa jersey atau seragam klub, pernak-pernik yang berhubungan dengan klub, hingga melakukan tur ke negara-negara yang dianggap memiliki potensi atau basis suporter kuat.
Untuk menjadi sesuatu yang besar, segalanya harus dimulai dari dasarnya terlebih dahulu. Membangun pondasi yang kuat adalah salah satu syarat utama bagi sesuatu untuk bisa berdiri tegak menantang segala musim di setiap zamannya. Hal ini berlaku dalam segala hal, termasuk dalam hal sepakbola. Tetapi bukankah sepakbola, seperti layaknya cabang-cabang olahraga lainnya, hanyalah seputar penyusunan taktik dan strategi untuk mengalahkan lawan? Nyatanya tidak, karena sepakbola nyatanya juga harus memiliki sebuah basis yang kuat, yaitu para supoter yang tanpa kenal lelah terus memberikan dukungan, kapanpun juga.
Tetapi basis yang kuat ini seakan mulai ditepis oleh perubahan zaman. Klub-klub sepakbola diambil alih oleh para kapitalis asing yang lebih doyan meraup keuntungan. Tak heran bila para raja minyak pun memutuskan untuk menebar duit di beberapa klub sepakbola. Sebut saja Chelsea yang kini dimiliki oleh pengusaha minyak Roman Abramovic dari Rusia dan Manchester City yang mayoritas sahamnya dipegang Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan dari Uni Emirat Arab. Lalu bila kita menyeberang ke Perancis, klub ibukota Paris Saint-Germain kini menjadi satu-satunya penguasa di Liga Perancis sejak dikuasai oleh Nasser Al-Khelaifi dari Qatar.
Seperti yang kita semua tentu sudah ketahui, seseorang yang berinvestasi pastilah memiliki pamrih untuk segera mendapatkan keuntungan material dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Keuntungan material di sini bisa didapatkan dari berbagai macam hal, namun yang terutama tentunya adalah prestasi. Memenangkan liga lokal dan liga Eropa (Champions League dan Europa League) akan membuat pundi-pundi klub menjadi semakin mengembang. Gagal meraih gelar dalam satu musim bisa dimasukkan dalam kategori dosa berat yang mengharuskan para pengurus klub segera menghadap romo untuk mendapatkan sakramen tobat di gereja-gereja terdekat.
Keinginan untuk mendapatkan profit dalam rentang waktu yang pendek pun pada akhirnya mengharuskan tim marketing klub tersebut untuk memutar otak demi menambah pemasukan. Selain penjualan merchandise klub secara gila-gilaan sampai ke seluruh pelosok bumi, menaikkan harga tiket masuk stadion pun menjadi salah satu metode yang harus dijalankan. Dengan mematok harga sekitar 60 sampai 70 poundsterling per orang, sebuah klub bisa meraup pemasukan hingga 2,7 juta poundsterling atau sekitar Rp 51 milyar. Sungguh sebuah angka yang menakjubkan.
Namun, penaikkan harga tiket nyatanya tidak selalu sejalan dengan para suporter. Para pendukung Borussia Dortmund dengan sengaja melemparkan ratusan bola tenis ke tengah lapangan kala tim kesayangannya tengah melawan VfB Stuttgart. Di salah satu tribun, terdapat sebuah spanduk bertuliskan "Fussball Muss Bezahlbar Sein!". "(Harga tiket) sepakbola harus bisa dijangkau". Menyeberang ke stadion Anfield, para pendukung setia klub Liverpool memutuskan untuk melakukan walkout tepat pada menit ke-77, demi memprotes keputusan manajemen untuk menaikkan harga tiket, dari 59 poundsterling menjadi 77 poundsterling. Mereka pun memajang sebuah spanduk yang bertuliskan "Football is Nothing Without Supporters".
Protes-protes yang disuarakan oleh barisan suporter ini sengaja dilakukan untuk menampar para pemilik klub sepakbola yang telah dibutakan oleh kepentingan bisnis. Sepakbola tak hanya soal meraih kemenangan dan keuntungan, tetapi lebih kepada hubungan kepada para pendukung yang telah menjadi basis kuat dari keberadaan dan kebesaran sebuah klub. Hal mendasar inilah yang seolah semakin dilupakan oleh para pemilik klub yang lebih mementingkan pemasukan agar bisa membayar hutang-hutang yang menumpuk kala mengakuisisi saham, dibandingkan merawat hubungan baik dengan individu yang terus setia apa pun kondisi klub.
***
Apabila suporter diklaim sebagai basis terkuat dalam dunia sepakbola, maka dalam kehidupan sehari-hari penulis berani mengatakan bahwa anak-anak muda adalah pondasi yang paling penting. Sang Proklamator Soekarno pun mengakui hal tersebut lewat sebuah kalimat: "Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia", sebuah kalimat yang menjadi kutipan paling populer bagi semua warga Indonesia.
Keberadaan pemuda adalah satu hal yang amat penting. Mereka adalah agen-agen perubahan yang mampu membawa segala aspek kehidupan menjadi lebih baik. Dengan pikiran yang lebih segar dengan berbekal ilmu yang sesuai dengan perkembangan zaman dan juga semangat yang masih menyala-nyala, dunia akan terus-menerus diisi oleh ragam inovasi tiada henti. Namun satu hal yang patut diingat, pemuda adalah sebuah pondasi yang masih lunak. Mereka masih butuh waktu untuk bisa menjadi keras bagaikan pancang-pancang beton untuk menyokong masa depan.
Seringkali penulis temui, banyak anak-anak muda yang sudah harus membawa beban berat ketika kedua lutut masih belum sanggup menunjang berat badan mereka sendiri. Terlalu besar ekspektasi yang dibebankan kepada mereka selagi mereka masih belum matang. Sayangnya, ekspektasi-ekspektasi besar tersebut justru diumbar tanpa ada sebuah pelajaran atau pembinaan. Negara Jepang bisa menjadi salah satu contohnya.
Menurut situs economist.com, populasi di negara Jepang telah menurunan drastis sejak tahun 2004 dan saat ini tengah mengalami masa penuaan paling cepat dibandingkan negara-negara lain di dunia. Sebanyak 22% masyarakat Jepang telah berusia 65 tahun ke atas, menurut laporan pada tahun 2014 silam. Bahkan pada tahun 2060, populasi negara Jepang diperhitungkan akan mengalami penurunan dari 127 juta jiwa menjadi 87 juta jiwa, dengan 40%-nya berusia 65 tahun ke atas. Bekerja dan bekerja adalah satu-satunya tujuan hidup bagi sebagian besar masyarakat Jepang tanpa mengacuhkan pentingnya keberadaan manusia-manusia muda sebagai generasi penerusnya.
Indonesia tentu berbeda dengan Jepang, karena negara kita tercinta ini memiliki begitu banyak anak muda. Mereka pun tak gila kerja (workaholic) seperti layaknya para pemuda Jepang. Para pemuda Indonesia pun masih memikirkan kehidupan pernikahan, terbukti dari banyaknya jomblo-jomblo ngenes yang menjamur di media sosial. Tetapi sayangnya anak-anak muda kita tak mendapatkan perhatian yang besar. Alasannya beragam, tetapi yang paling klise adalah "tidak punya waktu".
Ketiadaan waktu untuk mengurusi para pemuda potensial ini ironisnya digantikan oleh gelontoran uang yang seolah tanpa batas. Uang-uang tersebut menjadi sebuah umpan bagi para anak-anak muda. Tak heran, bila mereka pun datang berbondong-bondong menghampiri tumpukan uang tersebut, bagaikan ikan mas koki yang bergerombol di ujung kolam ketika kita melempar remah-remah roti ke permukaan air. Ungkapan lama "berikan kail, bukan ikan" sudah tak berlaku lagi, karena kita lebih sibuk berenang di dalam kolam uang Paman Gober.
Tak ada yang salah dengan investasi gila-gilaan tersebut, karena hal tersebut merupakan investasi jangka pendek. Apa yang seharusnya diraih dalam jangka waktu yang panjang, bisa didapat secara instan dengan gelontoran rupiah. Berbagai macam hal, khususnya nama besar demi eksistensi, bisa didapat dengan hanya segepok atau dua gepok uang. Tak percaya? Lihatlah betapa bahagia dan angkuhnya fans Manchester City. Fans garis keras dengan lantang mengejek Alex Fergusson dan Manchester United yang sedang terpuruk, sedangkan fans karbitan sibuk beradu pendapat dengan sesama suporter karbitan Chelsea.
Namun pada akhirnya uang pun bisa habis tanpa bekas. Di satu saat tak lagi pundi-pundi atau rekening yang bisa membayar para tenaga ahli (baca: tentara bayaran). Nama besar dan eksistensi meredup dan membawa kita kembali kepada kenyataan. Para pemuda yang digadang-gadang menjadi penunjang, hilang dengan begitu saja, berkat ketiadaan pembinaan seadanya karena lebih mementingkan eksistensi belaka. Pancang-pancang menjanjikan justru teronggok begitu saja, bagaikan pondasi MRT zaman Bang Yos dan Foke.
Sejarah sudah menunjukkan bahwa uang bukanlah segalanya. Butuh semangat kebersatuan, kebersamaan, dan kekeluargaan untuk menjadi pondasi yang kokoh. Ketika uang menjadi tuhan, maka individu akan mengabdi kepada mereka yang mampu membayarnya lebih.

No comments: