Diary Of The Unmanned 3.0

Cahaya dari notebook itu memantul jelas di kacamatanya. Miranda masih terus menerus memandangi layar LCD itu. Jemarinya tanpa henti menari-nari di atas tuts-tuts keyboard, menghasilkan bunyi gemeretak yang berirama. Segelas susu coklat panas terdampar di pojok meja kayunya. Asapnya mengepul, namun langsung menghilang. Miranda sama sekali tidak mengindahkan segala gangguan dari luar. Ia sangat berkonsentrasi menjalankan tugasnya. Walaupun terkadang terdengar samar-samar suara ribut dari bawah tangga. Ketika kebisingan kembali mengganggu, ia langsung memasang volume terkeras di headphone-nya. The Prodigy mengalun, menghantarkannya ke dalam mood yang ia perlukan. Lepas dari segala polusi dan intervensi dunia luar. Sesekali ia menyesap susu coklat itu demi menyegarkan pikiran dan menghangatkan perutnya.

Miranda melirik ke jam digital yang berwarna hijau menyala, berkedip terus-menerus dengan setianya. 04:00, dan terus berkedip. Sejenis kabut putih sudah mulai menyambangi matanya. Ah, sudah lelah. Ia melepas kacamatanya dan menaruhnya di atas keyboard. The Prodigy masih mengalun deras. Ia meregangkan tubuhnya di atas kursi dan segera mematikan notebook itu sambil setengah melempar headphone yang dilepas dengan asal-asalan dari telinganya. Jendela menuju dunia luar masih terbuka. Angin malam masih berhembus, sepoi-sepoi. Rintik hujan kecil sedikit membasahi wajahnya. Miranda sengaja membiarkan. Ia duduk di atas jendela, sambil sedikit menghirup susu coklatnya yang mulai mendingin.

Handphone di atas tempat tidurnya tiba-tiba berbunyi. Miranda tidak menghiraukannya. Ia sedang malas berbicara. Kepalanya masih dipenuhi dengan berbagai macam ide yang, entah mengapa, tidak mampu ia tumpahkan semuanya ke dalam sebuah tulisan. Handphone itu kembali bordering. Miranda masih duduk diam sambil menatap langit, merasakan hantaman gerimis yang dibawa oleh angin sepoi-sepoi. Matanya tertutup. Beristirahat sejenak. Wajahnya mulai basah. Handphone itu kembali bordering. Akhirnya, Miranda mengangkatnya. 04:35, dan terus berkedip.

“Ya..?,” pendek kata saja, pikirnya.

“Vanessa Miranda Tahir?,” sahut suara di ujung telepon.

“Yeap, itu saya,” formal sekali, pikirnya lagi.

“Maaf kami menelepon Anda sepagi ini,” memang tak tahu sopan santun. “Namun, kami memang harus memberitahukan hal yang sangat penting saat ini juga.”

“Anda terdengar bukan dari Universitas atau dari editor saya.”

“Memang bukan,” suara itu terdengar semakin terburu-buru.

“Lalu..?”

“Saya tidak bias menjelaskan kepada Anda sekarang. Mungkin nanti siang pukul 14:00 akan saya hubungi lagi.”

Telepon itu langsung ditutup. Miranda melempar teleponnya tepat di atas bantal Teddy Bear coklat. Coklat itu kembali dihirupnya dalam-dalam. Penasaran yang memuncak disertai sebuah disertasi kelam yang berkeliling di sekitar ruangannya yang berwarna hijau merana. Tengkorak kecil itu mengangguk-angguk di atas meja kayunya. Miranda hanya melihatnya sekejap dan mengalihkan perhatiannya lagi pada langit yang masih setia mengirimkan tetesan-tetesan air hujan ke bumi.

No comments: