Diary Of The Unmanned 2.0

“Ini adalah sebuah pengalaman baru bagi kemanusiaan. Sebuah dedikasi luar biasa dari para ahli untuk menolong dan membangkitkan umat manusia dari segala keterpurukan. Perintis dari segala karya penyelamatan di tengah kehancuran komunitas besar di dunia. Tanda keberhasilan dari majunya ilmu pengetahuan manusia,” Mr. Takashima berdiri di podium. Tangannya bergerak ke sana kemari, seolah sedang melukiskan apa yang baru saja ia katakan. Wajahnya menampilkan wibawa yang tak mampu dibendung, sehingga para pendengar mampu memperhatikan sambil terkesima. Para mahasiswa itu memenuhi semua tempat duduk di teater setengah lingkaran itu. Tak ada bangku kosong yang tersisa.

“Ini adalah sebuah jalan menuju dunia yang baru bagi kita. Bahkan lebih besar lagi, bagi bumi kita.” Ia menghiraukan pandangan yang bertanya-tanya.

“Ketika alam menantang kita untuk lebih berpikir maju ke depan, di saat itulah kita menyatakan kesiapan kita. Kesiapan untuk menjawab segala tantangan dan pertanyaan,” sambil merapikan rambut putihnya, “Namun dengan apakah kita menjawab segala tantangan itu?”

Para mahasiswa itu tetap memperhatikan dengan seksama, tak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun.

“Tentu dengan ilmu pengetahuan.”

Suara persetujuan menggema di aula itu dan disambung dengan tepuk tangan panjang. Mr. Takashima sedikit tersenyum. Omongan panjang lebarnya mampu diterima oleh segenap kaum cerdas di seluruh penjuru ruangan. Di salah sudut gelap, Mayor Marcio Lopez termenung. Tersenyum miris sambil bertepuk tangan lemah. Sambil mengangguk pada salah satu mahasiswa, ia mendorong pintu di belakangnya dan keluar ruangan. Cerutu yang sedari tadi terjebak di dalam saku seragam dinasnya segera disisipkan ke sela bibirnya. Wanginya langsung menjebak oksigen untuk berputar. Beberapa dosen menutup hidungnya ketika melewati kepulan asap cerutu. Namun, beberapa mahasiswa memperhatikan Lopez dengan sedikit bingung. Mungkin jarang ada seorang Angkatan Laut singgah di Universitas itu.

Ruangan kembali terbuka. Suara tepukan tangan kembali terdengar ketika pintu terbuka dan langsung tertahan seketika pintu tertutup. Seorang laki-laki berambut sebahu berdiri di samping Mayor.

“Tak suka pidato ‘Sang Penyelamat’?,” Tanya laki-laki itu.

“Hmm.. Tipikal ilmuwan,” jawab Mayor pendek.

“Atheist?”

“Mengkesampingkan Tuhan.”

“Ilmu pengetahuan mengalahkan Tuhan dalam hal ini.”

“Dalam masa kekacauan atau chaos, siapapun yang mampu menjanjikan pembaharuan dan keselamatan. Dialah tuhan.” Sang Mayor mendelik ke arah si mahasiswa.

“Dan Anda..”

“Jika pertanyaanmu menyangkut imanku, jawabanku adalah,” Mayor mendekati telinganya, “jangan pernah meragukan-Nya.”

Mahasiswa itu hanya bisa tersenyum kecil sembari melihat Sang Mayor meninggalkan aula sambil meninggalkan jejak asap wangi cerutu. Javanese Cigar, mahasiswa itu menebak dari wangi yang ditinggalkan kepulan asap tipis itu. Sembari menyalakan sebatang rokok putih, ia berjalan menyusuri aula besar itu menuju gang sempit yang menghantarkannya ke perpustakan besar yang keseluruhan ruangannya terbuat dari kayu. Senyumnya sedikit mengembang, berpikir bahwa masih juga ada yang dapat berpikir waras di tengah kehancuran moral di dunia. Ia membuang rokoknya yang masih terbakar setengah dan langsung berjalan menuju perpustakaan yang tenang. Inilah duniaku, pikirnya.

No comments: