Sang Pejantan Tak Bertaji

Akhirnya, tim nasional Perancis terpaksa pulang lebih dulu akibat hasil kurang memuaskan yang didapat dari tiga pertandingan kualifikasi grup putaran final Piala Dunia 2010. Banyak pendukung Perancis harus gigit jari akibat hasil mencengangkan ini. Bukan hanya pendukungnya, bahkan bandar-bandar judi sempat terheran-heran, walaupun mereka berhasil mengeruk untung dari penampilan buruk Perancis. Pada pertandingan awal, mereka berhasil ditahan imbang dengan skor kacamata oleh Uruguay. Dengan materi mentereng, mulai dari Nicolas Anelka, Franck Ribery, sampai Patrice Evra, tim ini sudah digadang-gadangkan akan meraih hasil yang optimal di Afrika Selatan. Namun, apa daya. Perancis, dengan title pemenang Piala Dunia 1998, dan runner up pada edisi 2006, ternyata tidak sanggup menghadapi tim Uruguay yang bermaterikan pemain biasa-biasa saja. Hanya Diego Forlan (Atletico Madrid) dan Luis Suarez (Ajax Amsterdam) yang punya nama mentereng, karena masing-masing membela sebuah klub besar Eropa. Seolah kehilangan roh permainan sepeninggal legenda sepakbola, yang juga salah satu pemain favorit saya, Zinedine Zidane, Perancis bermain sangat-sangat tidak meyakinkan. Nicolas Anelka pun juga kehilangan naluri mencetak gol. Berbeda dengan penampilannya di Chelsea, Anelka menjadi duet maut bersama dengan Didier Drogba. Ribery seakan-akan melengkapi penderitaan Perancis. Digadang-gadangkan sebagai pengganti Zidane, ternyata penampilannya masih belum mampu menyamai prestasi sang legenda hidup.

Masalah awal memang sudah tampak sejak awal. Perseteruan dalam tubuh tim memang menjadi sebuah duri dalam daging. Pelatih Raymond Domenech yang menerapkan kebijakan yang tidak bijak menjadi pertanda kurangnya wibawa untuk membawa tim ini sukses. Beralihnya ban kapten dari lengan Thierry Henry kepada Patrice Evra menunjukan sebuah kesalahan awal. Domenech belum mampu mendapatkan sosok kapten seperti Didier Deschamps, Laurent Blanc, dan juga Zinedine Zidane (terlepas dari insiden dengan Marco Materazzi). Henry sebenarnya adalah pilihan paling tepat, namun jarangnya mendapat kesempatan dalam starting line up di Barcelona membuatnya tersingkir dari first eleven Perancis. Apa mau dikata, akhirnya Evra lah yang harus mengemban tugas berat tersebut. Walaupun Evra sukses bersama Manchester United, tapi ia sama sekali belum bisa menanggung beban mental sebagai kapten.

Dalam sesi latihan pun, sudah terlihat jelas adanya kecemburuan tingkat tinggi di sini. Yoann Gourcuff menjadi korban pengucilan. Ribery, Anelka, dan yang lainnya menolak untuk berlatih berdampingan dengannya. Alhasil, Gourcuff pun hanya bisa mengobrol dengan Jeremy Toulalan selama menjalani sesi latihan. Alasan pengucilan ini adalah akibat adanya gossip (yang seolah menjadi nyata) bahwa Domenech amat teramat menganak-emaskan Gourcuff. Seburuk apapun penampilannya, nama Gourcuff dipastikan muncul dalam formasi awal. Berbeda dengan nama-nama lain. Perlakuan yang berbeda ini pastinya menimbulkan kecemburuan dari rekan-rekan setimnya. Namun, Domenech tetap cuek dengan protes para pemain ini.

Puncaknya, adalah ketika Perancis berhasil dikalahkan tim dari benua Amerika, yaitu Meksiko. Dua gol bersarang di gawang Lloris tanpa mampu dibalas. Nicolas Anelka yang bermain di bawah form akhirnya digantikan. Bukannya sadar dan memperbaiki performanya, ia malah memaki Domenech. “Son of a bitch!,” ia meneriaki sang pelatih tepat di depan mukanya. Otomatis, Anelka pun dipulangkan. Keadaan ini ternyata semakin memperburuk keadaan Perancis. Evra sebagai kapten mengadakan boikot besar-besaran. Ia mengajak seluruh pemain untuk tidak berlatih pada waktunya. Evra pun sempat beradu mulut dengan sang pelatih fisik. Akibatnya ban kapten berpindah lagi kepada salah satu pemain klub Arsenal, Alou Diarra. Kehancuran di tubuh Perancis semakin menjadi. Pada pertandingan selanjutnya, Perancis dipermalukan dengan dua gol dari Afrika Selatan. Mereka hanya mampu membalas lewat Malouda dan itu sama sekali tidak dapat menolong. Perancis tidak mampu lolos dari babak penyisihan grup. Gourcuff, si anak emas, semakin membuat terpuruk. Kartu merah yang didapatnya akibat menyikut salah satu pemain Afrika Selatan mempertegas keputus-asaannya. Kejadian ini diakhiri dengan penolakan Domenech untuk menerima jabat tangan dari pelatih Afrika Selatan, Carlos Parreira. Sungguh sebuah sikap kekanak-kanakkan yang seharusnya tidak ditunjukan oleh Domenech.

Persoalan ini sampai ke telinga para petinggi Perancis. Mulai dari Menteri Olahraga dan Menteri Keuangan (yang notabene tidak ada hubungannya dengan olahraga) berkomentar miring tentang kondisi internal tim nasional Perancis. Sang Menteri Olahraga meminta pertanggung jawaban sepulangnya mereka dari benua Afrika. Evra pun menyanggupinya dan mengatakan bahwa ia akan mengatakan segala masalah secara blak-blakan. Pesawat Boeing 737 yang dipesan untuk memulangkan Sidney Govou cs., akhirnya diganti dengan pesawat kelas ekonomi. Sebuah penghinaan menurut pandangan saya. Tapi, itulah sebuah bentuk pertanggung jawaban. Datang dengan pesawat jet carter, pulang dengan pesawat ekonomi. Dipermalukan dengan jelas.

Sekarang, tugas berat ada di tangan Laurent Blanc yang ditunjuk sebagai pengganti Domenech. Dengan pensiunnya Anelka, Blanc dipercaya untuk mencari pengganti talenta yang hilang tersebut. Namun, dengan karier yang mentereng (membawa Bordeaux menjadi juara Liga Perancis), ia diberi tanggung jawab untuk mengembalikan kejayaan Perancis. Setidaknya kembali mengangkat mental para pemain andalan yang sudah terpuruk. Blanc dengan segala reputasinya yang telah memenangkan Piala Dunia 1998 bersama Fabian Barthez dipercaya mempunyai tuah dengan menularkan kesuksesannya. Well, kita tunggu saja kiprahnya. Mudah-mudahan Blanc mampu melaksanakan tugasnya. Membawa sang ayam jantan kembali berkokok di kancah Eropa maupun Dunia.

No comments: