Tunggal

Sedari gue SMP, banyak di antara temen-temen gue yang sering bilang bahwa jadi anak tunggal itu enak. Ada yang bilang sering dimanja, harta warisan banyak, dan lain sebagainya. Gue sih nerima-nerima aja. Well, ada benernya juga. Tapi, kalo dibilang gw sering dimanja, sepertinya nggak juga. Contoh, ketika saat itu sedang menjamurnya game-console sejenis Nintendo, Sega, Atari, hingga Playstation, keluarga gue pada kenyataannya tidak sampai terjangkit penyakit jamur tersebut. Di rumah gue adem-ayem dengan segala mainan robot-robotan dan mobil-mobilan plastik murah. Walaupun ada beberapa yang mahal juga, namun tidak berumur panjang. Yah, maklum lah. Sejak kecil gue malahan sudah terjangkiti penyakit suka kekerasan. Jadi, apa pun yang gue temukan, kebanyakan akan berakhir di tempat sampah atau gudang. So, terbukti gue bukanlah anak tunggal yang dimanja dengan dibelikan mainan-mainan mahal.

Harta warisan banyak? Yup, memang harta warisan gue agak lumayan banyak. Tanah dan rumah milik almarhum nenek gue di Wonogiri, Jawa Tengah, bisa dipastikan jatuh ke tangan gue (setelah dibagi dua dengan kakak dari bokap). Lumayan, ‘kan? Bisa bikin kos-kosan, warung makan, tempat peristirahatan, atau mungkin jadi rumah gue di kala gue sudah memasuki masa-masa pensiun.

Tapi, pernahkah lo membayangkan kesendirian gue. Sepulangnya gue dari tempat kerja, gereja, atau kegiatan apa pun yang gue lakukan di luar rumah, gue terkadang hanya langsung berhadapan dengan laptop Axioo dan mungkin ditemani anak anjing mungil *(sang induk sudah meregang nyawa) yang gue kasih nama Wesly. Bagaimana dengan orang tua gue? Mereka memang pasti ada di rumah, setia menunggu kedatangan gue. Namun, entah bagaimana, akhir-akhir ini gue sedikit berkomunikasi dengan mereka. Mungkin karena faktor kelelahan yang udah mendera badan gue dan kurangnya jam bertemu. Ketika gue pulang sore, bokap masih praktek di salah satu rumah sakit. Beliau menjalani prakteknya di beberapa rumah sakit di Depok, Daan Mogot, sampai Bekasi. Biasanya beliau sampai di rumah ketika waktu sudah malam dan gue terkadang sudah terlelap atau mengerjakan tugas pekerjaan di kamar. Nyokap? Beliau juga sibuk. Bukan pekerjaan rutin, dikarenakan beliau adalah seorang ibu rumah tangga, namun beliau sibuk berdoa, belanja ke pasar, atau datang ke acara-acara doa dan pertemuan lingkungan. Alhasil, gue semakin merasa sedikit kesepian. Cuma Wesly yang setia berlarian dan melompat-lompat menyambut kehadiran gue di rumah. Sepi? Check! Sendrian? Not really. Kayak orang gila? Check! Secara gue kebanyakan berkomunikasi dengan hewan peliharaan. J

Bulan Mei kemarin, pada akhirnya gue mendapat sebuah kabar mengejutkan. Bokap mendapatkan sebuah surat yang sedikit “memaksa” untuk pensiun dari pekerjaannya di rumah sakit tempatnya bekerja. Isinya, mengenai keharusan untuk pensiun saat usia sudah menginjak 65 tahun. And guess what, he’s 65 years old this June. God dammit, that’s hell of a surprise. Gue down, se-down-down-nya. Gue seakan punya beban 4 ton yang dilemparkan ke punggung gue. Dan di beban itu ada tulisan, “This is now your turn to make this family survive”. Dalam hati, gue nangis sambil terus-menerus mengutuk kejadian ini. I’m not ready at all to be the back bone. Gue sama sekali belum siap untuk ini.

Di kamar, tiba-tiba aja gue nangis. Ini pertama kalinya gue nangis setelah 9 tahun gak pernah lagi netesin air mata. Jam 01.00, satu rumah udah tidur. Gue melampiaskan segala kekesalan emosi. Teriakan gue diredam dengan bantal. Semakin gue berteriak keras, semakin pula gue menekan muka gue ke bantal. Musik Deftones sedikit membantu gue melepas penat. Tapi, beban di punggung gue gak berkurang sama sekali. SHIT…!!!!!

Ketika bokap menginjak 65 tahun perjalanan hidup, nyokap bakalan menyusul dengan 62 tahun menapakkan kaki di bumi. Dan gue baru 25 tahun berada di kota Jakarta. 40 tahun yang gak mungkin gue lampaui. Garis-garis wajah yang semakin terbentuk, bener-bener menggambarkan setiap perjalanan yang udah bokap jalanin. Tubuh nyokap yang semakin membungkuk, yang seakan memanggul beban berat sedari melahirkan gue sampai sekarang. Dan gue sudah tidak mampu lagi untuk melihat pengorbanan mereka, walaupun mereka masih dengan rela hati memberikan segalanya buat gue, anak tunggal keparat yang gak tau terima kasih ini.

Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Mama. Kalian berdua adalah dua sosok pahlawan di dalam hati gue. Embun pagi yang menyejukkan hati di kala gue sendiri. Setiap tetes air mata yang kalian alirkan adalah sebuah belati yang menyobek hati gue. Gue akan membalas segalanya. Gak akan ada air mata lagi yang akan kalian teteskan.

No comments: