Predators


Predators menjadi film terakhir yang gue tonton. Dengan segala reputasi yang telah dibuat film ini, dimulai dari film pertama yang dibintangi oleh sang governator, Arnold Schwarzeneger, yang bersetting di hutan dan film kedua dibintangi salah satu aktor yang menjadi side-kick Mel Gibson di Lethal Weapon, Danny Glover. Setelah itu, dibuatlah duology Alien vs Predator, yang menyatukan dua tokoh terbesar dalam satu film dan bertarung satu sama lain. Akhirnya, di tahun ini dibuatlah film yang menceritakan Predator kembali. Bukan prequel. Bukan pula sequel. Film ini adalah sebuah film baru yang diproduseri oleh Robert Rodriguez. Dengan tokoh utama, dibintangi oleh Adrien Brody, sekelompok pesakitan berjuang untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan makhluk-makhluk keji yang membunuh satu per satu para manusia. Tempat peperangan dikembalikan ke hutan belantara, namun tidak di bumi. Para survivor diceritakan dibuang ke sebuah planet. Mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mulai dari mercenary (tentara bayaran), pembunuh, gangster Yakuza dan mafia Mexico, sampai seorang dokter (yang pada akhirnya cuma dokter-dokteran). Mereka semua dijatuhkan dari angkasa oleh sebuah pesawat misterius ke tengah-tengah hutan yang seolah tak berujung dan dipaksa menjadi buruan para alien pemakan daging ini. Ya. “Para” pemakan daging. Kalo boleh gue bocorin sedikit, para Predator kali ini ditemani oleh beberapa anjing piaraan, sebuah makhluk aneh, dan Predator itu sendiri yang berjumlah empat (kalo gue gak salah hitung).

Hampir 30 menit dari film yang berjalan kira-kira 1 jam 45 menit ini berjalan sedikit membosankan. Obrolan-obrolan mengenai serangan-serangan misterius, alasan mengapa mereka yang dipilih, atau siapa yang menculik mereka, terus-menerus digulirkan sepanjang menit-menit pertama. Penonton dipaksa untuk menikmati awal-awal film yang lama-kelamaan menjadi sedikit membosankan. Adegan pertarungan dengan makhluk aneh pertama akhirnya disajikan. Makhluk aneh berkaki empat dengan tanduk-tanduk yang tumbuh dari badannya menyerang para survivor. Tembak-tembakan dan kejar-mengejar dengan alur kamera cepat membuat adrenalin sedikit terangkat. Beberapa scene menegangkan juga ditampilkan. Tapi, ada satu hal yang membuat gue sedikit heran. Dengan banyaknya survivor yang berlatar belakang militer, masakan membunuh makhluk aneh ini harus dengan ratusan peluru? Dan ketika makhluk ini berjalan mendekati sang calon korban, seharusnya dengan senjata otomatisnya ia mampu menembak di bagian-bagian krusial makhluk tersebut. Tidak dengan Adrien Brody. Ia terus menerus menembaki musuhnya tanpa mengenai sasaran dan tanpa mengenai bagian yang dapat menyebabkan kematian, yang seharusnya sudah diketahui oleh seorang prajurit. Walaupun pada akhirnya makhluk ini pun mati.

30 menit berikutnya, para survivor ini (minus Danny Trejo yang lagi-lagi mendapat peran numpang lewat) akhirnya bertemu dengan seorang sepuh di tanah Predator. Sudah sepuluh musim ia lewati dengan menyelamatkan diri dari serangan para Predator. Kembali, dialog-dialog membosankan mengalir dengan perlahan. Diperankan oleh Laurence Fishburne, survivor yang satu ini terus-menerus bercerita mengenai segala kelemahan dan kemampuan para predator. Ia juga menjelaskan jenis-jenis predator yang ada di luar sana. Ada perbedaan namun tidak kasat mata. “Seperti membedakan anjing dengan serigala,” katanya. Namun, Laurence Fishburne pun ternyata membuat twist yang sedikit mencengangkan dan perannya di situ tidak sebesar Morpheus di Matrix. Mudah terlupakan. Twist-nya sendiri terkesan maksa. Seharusnya Fishburne menjadi cameo dibandingkan peran aneh di film ini.

Akhirnya, pertempuran dengan Predator pun terjadi. Adrien Brody berjuang mati-matian demi kabur dari planet terkutuk itu. Satu-persatu mereka mati. Darah segar tidak ragu-ragu ditumpahkan oleh Rodriguez, baik itu merah ataupun hijau. Kepala Predator yang terpenggal pun ditampilkan secara brutal. Namun, kematian para manusia dipresentasikan berbanding terbalik. Saya agak kecewa di bagian ini. Gak adil. Masa’ Predator ditampilkan dengan kematian vulgar, sedangkan para manusianya malahan tersensor. Atau, Lembaga Sensor Indonesia yang tidak berkenan? Ah, sudahlah. Tapi, kematian brutal para Predator menjadi satu-satunya hiburan saya di film ini. Brody pun sebenarnya cukup cocok untuk memerankan jagoan di film ini. Wibawanya terlihat. Sayangnya, ia sangatlah untouchable. Kurang manusiawi. Dengan melalui pertarungan sengit, setelah melewati beberapa twisted story yang tak cukup twisting, akhirnya Brody berhasil memenggal kepala sang Predator. End of story. With no conclusion and untwisted twist story.

Oh, iya. Anyway. Arnold Schwazenegger tampil di film ini, loh. Tapi, hanya melalui cerita ketika para survivor jatuh dari air terjun. Just listen to the girl’s story. It’s gonna make you remember how The Gorvenator survive the Predator.

No comments: