Ujung Genteng - Our First Trip (I)


Perjalanan menuju Pantai Ujung Genteng kami mulai pukul 07.00 pagi, meleset dari jadwal awal pukul 05.00 karena keterlambatan salah satu anggota peserta. Berangkat dari daerah kisaran Jakarta Barat, kami menembus sepinya tol dalam kota. Sepuluh orang, yang dibawa dengan dua mobil Avanza dan Xenia, mengalami liburan bersama untuk pertama kalinya. Semangat untuk menikmati indahnya pantai tidak lagi bisa terbendung. Dengan digawangi dua sopir handal, yaitu bung Christopher Davin dan bung Evan Tanswari, tanpa disertai dengan istirahat ataupun ganti pengemudi akibat terlalu membaranya jiwa liburan, kedua mobil serupa tapi tak se-merek ini terus melindas aspal panas akibat matahari yang terus-menerus menerjang Jakarta hingga daerah Jawa Barat.

Tujuan awal kami adalah melintasi kota Sukabumi dan Pelabuhan Ratu, karena kebetulan bung Evan sedikit mempunyai pengalaman karena pernah melintasi jalur-jalur menuju pantai yang masih terbilang private ini. Terima kasih kepada teknologi yang bernama BlackBerry yang sedikit membantu perjalanan kami. Namun, bukan GPS-lah yang digunakan, melainkan teknologi SMS (hape gw juga bisa). Yap, dibantu dengan informasi melalui SMS mengenai arah yang harus dituju, kami terus menelusuri jalan-jalan asing luar kota. Dimulai dari ramainya pasar hingga terjalnya jurang yang seakan mengundang keingintahuan kita untuk beranjak sedikit menengok dan mengukur kedalamannya dan tingginya tebing bergantian di sebelah kiri dan kanan kami. Saya, yang kebetulan satu mobil dengan bung Evan (bersama bung Charlie Wicaksana, bung Hesarandi Goodman, dan (gw bingung panggilannya apaan) non Chefia Calayo), sempat menawari untuk bertukar posisi sebagai pengemudi. Namun, dengan tegasnya bung Evan berkata, “Gak usahlah. Nanggung.” Baiklah saya turuti saja, dan pada akhirnya saya pun tertidur akibat kurangnya jam berhibernasi semalam sebelumnya. Akibatnya akan ada di akhir perjalanan ini. J

Singkat cerita akhirnya saya terbangun. Dan kami menemukan sebuah scenery yang cukup indah seperti keadaan di puncak, tapi ini setidaknya jauh lebih indah. Akhirnya kesempatan ini kami gunakan untuk berfoto sejenak sambil melepas lelah. Mobil kami menepi diikuti mobil dari bung Davin (yang beranggotakan bung Albert Muljopranoto, bung Felix Wantan, non Melinda “Psixi” Puspitadewi, dan non Verra Wijaya). Bung Evan dan bung Albert segera mengeluarkan peralatan perangnya. Sebuah sniper dengan daya tembak 1.500 meter. Ni mau ngebunuh Presiden Amerika apa liburan ke pantai, sih?. No, kidding. Bung Albert dan bung Evan mengeluarkan kameranya diikuti dengan bung Davin yang juga mengeluarkan kamera pocket-nya. Foto-foto narsis a la alay dan abege labil pun dimulai. Dengan mengambil pemandangan gunung yang tertutup sedikit kabut (atau awan, entahlah) kami terus berfoto ria sekaligus melepas sedikit penat dan kebas akibat duduk terlalu lama. Sepuluh sampai lima belas menit berselang, akhirnya kami kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan yang masih tersisa sekitar lima atau empat jam. Jalan yang meliuk-liuk bagai ular betina (?) pun kembali menghipnotis. Saya menawari kembali bung Evan untuk bertukar posisi dan kembali ia berkata, “Udah nanggung, Black.” Baiklah. Saya pun kembali tertidur.

Tertidur selama kurang lebih tiga puluh menit cukup membuat saya fit. Namun, lima menit kemudian, perut kami akhirnya diisi oleh grup keroncong yang mendendangkan Bengawan Solo (maksudnya laper). Sepakat untuk kembali berhenti sejenak bila bertemu rumah makan, kami terus menelurusi jalan yang tampaknya sudah mulai menurun. Tak terasa, jam digital di dashboard sudah menunjukan pukul 11.47. Bengawan Solo pun kembali mengalun dengan derasnya. Tampaknya sang konduktor (bahasa awamnya: Dirigen. Dirigen bukannya buat bawa air? Itu jerigen. Ah, disini XL gak dapet jerigen. Itu jaringan. Damn..!!! Kok malah becanda, sih..?? Bete, aaaahhh….) semakin bersemangat untuk memainkan lagu keroncong yang satu ini. Akhirnya, kami kembali merapat di sebuah warung baso kecil di pinggir jalan, demi mengisi para cacing-cacing biadab. Disertai canda tawa dan sedikit tingkah laku yang keterlaluan, kami akhirnya memakan dengan lahap daging-daging bulat itu, tanpa menyadari pucatnya warna baso itu. Bung Evan, dengan gaya khasnya bertanya kepada si ibu penjaga warung mengenai jarak yang masih harus ditempuh oleh kami. Janji-janji manis membuat kami kembali bersemangat kembali. Ya, sekitar 2 jam lagi kami sampai di tempat tujuan. Kami segera kembali ke mobil masing-masing, sesuai dengan rombongan awal. Tanpa lupa membayar, tentunya. Dan sang ibu pun mengelus dadanya. Tanda kelegaan yang begitu mendalam setelah ditinggal para pengembara jahanam dari Jakarta Barat. Mobil kami pun kembali melaju kencang supaya dapat mencapai tempat tujuan sesegera mungkin. Kembali saya menawari bung Evan untuk berganti posisi. Kali ini ia pun berteriak, “BAWEL, LO..!!!” Kali ini saya tidak tertidur seperti sebelum-sebelumnya.

(end of part I)

2 comments:

Etans said...

Uhuuiiii...trip pangandaran blom ne bos..jadi semangat untuk buat next trip me..setelha membaca blog si bleki dari goa uler...nice!!

Melinda said...

Ini part 1, part 2nya mana? Ngutang tulisan buat 4 tempat lagi :D