Our First Trip (II)

Akhirnya, setelah menempuh perjalanan yang luar biasa melelahkan, kami bisa menikmati sebuah pemandangan yang menyejukan hati. Dari atas jalanan yang cukup tinggi, kami melihat jajaran pohon kelapa yang berbaris rapi seakan melambai-lambai menyambut kedatangan kami, para penikmat liburan jahanam dari Jakarta. Bung Evan segera membuka kaca jendela mobil, diikuti oleh saya dan para penumpang lain, mencoba menangkap aroma air laut yang dihembuskan oleh angin panas. Yup. Tentu saja indera penciuman kami tidak menangkap aroma apa pun. Malahan udara teriklah yang menerpa wajah-wajah lelah kami. Alhasil, semuanya terdiam dan jari telunjuk kami otomatis menekan tombol untuk kembali menutup kaca jendela. Nampaknya, perjalanan masih cukup lama. Bung Evan kembali fokus menatap jalanan yang berkelok-kelok. Sempat terpikir untuk menawari bung Evan untuk bertukar posisi. “Don’t even think about it..!!,” bung Evan berkata dengan kekuatan telepatinya.

Tiba-tiba, jalanan yang berkelok-kelok itu hilang, diikuti dengan jalan lurus yang terkadang menanjak dan langsung menukik turun. Ketika menemukan sebuah tanjakan yang sedikit tajam, bung Evan langsung teringat akan memori masa kecilnya bermain Niagara-gara di Dunia Fantasi. Bung Evan spontan menginjak pedal gas sedalam-dalamnya hingga titik tertinggi dan membiarkan sang mobil untuk terbang lepas tanpa kendali dan langsung menuju turunan curam yang membuat seolah jantung berhenti berdetak. Menurut saksi mata, mobil yang saya tumpangi sukses terbang beberapa centimeter. Sempat terpikir untuk segera mengambil alih kemudi dan menendang bung Evan keluar.

Tak beberapa lama kemudian, akhirnya kami bertemu dengan sebuah gapura besar yang dijaga oleh empat orang sosok berseragam coklat. Ah, inilah awal sebenarnya dari liburan kami. Setelah membayar segala pungutan (tidak liar, tentunya) sejumlah Rp. 7.000,- (mencakup lima orang Rp. 1000,- dan mobil Rp. 2.000,-), mobil kami terus mengikuti alur perjalanan. Sedikit tanjakan, sedikit turunan, disertai beberapa lubang besar sialan, menemani kami hingga sebuah pemandangan yang terlihat indah. Hamparan pasir putih, ditemani suara deburan ombak seakan benar-benar menyambut kami. Sejak dari gapura, kami terus membuka jendela, mencoba menangkap aroma laut yang kali ini benar-benar kami dapatkan. Angin terik bercampur dengan aroma air laut sepertinya berhasil menghipnotis kami. Rumah-rumah warga berbaris rapi di kedua sisi jalan. Beberapa warga terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Dan beberapa anak muda setempat, dengan percaya dirinya, berkelok-kelok mendahului mobil kami dengan motor bisingnya. Memang benar apa yang dikatakan Bung Rhoma. “Darah muda, darahnya para remaja. Yang selalu mencari celah, tak pernah mau mengalah.” (apa hubungannya?)

Tak lama kemudian kami berhenti di persimpangan jalan. Di depan kami, telah terhampar pasir putih yang terus menerus diterjang ombak dari arah laut. Senyum kami semakin mengembang. Air liur kami pun ikut menetes. Berhenti sejenak untuk menentukan arah selanjutnya, akhirnya kami berbelok ke arah kanan, menuju perhentian terakhir. Jalanan yang cukup hancur berantakan, disertai dengan debu yang bisa membuat Anda terkena serangan Bronchitis, menghantarkan sisa-sisa semangat yang hampir padam. Beberapa warung remang-remang di kiri kami masih menutup dirinya. Di sebelahnya, tembok-tembok dan puing-puing rumah masih tegap berdiri. Kami menduga-duga apa yang terjadi dengan rumah tersebut dan membayangkan betapa ngerinya tembok-tembok tersebut di malam hari tanpa pencahayaan yang cukup.


Setelah mencari-cari, akhirnya kami menemukan tempat penginapan kami. Sebuah pondok yang cukup luas untuk menampung sepuluh perantau jahanam ini. “Pondok Adi”, sebuah papan tertulis dengan huruf yang cukup kecil untuk dibaca, disertai tanda panah yang mengundang kami untuk masuk ke dalam. Bung Evan perlahan namun pasti membelokkan sang mobil ke dalam gerbang dan segera memarkir kendaraan. Disusul rombongan bung Davin di belakang, kami segera turun dari mobil dan menanyakan dimana kami akan menghabiskan tiga hari dan dua malam di pantai ini. Setelah mendapat kepastian dimana kami akan tidur, dengan segera kami menaruh (cenderung melempar akibat rasa lelah yang berlebihan) semua perlengkapan ke dalam kamar. Ada dua kamar di pondokan tersebut. Yang satu menghadap keluar dan bersebelahan dengannya, menghadap ke belakang, disertai dengan satu ruangan tamu/keluarga, kamar mandi yang sangat bersih, dan tempat cuci piring. Beristirahat sejenak, bung Felix, bung Charlie, non Verra, dan non Melinda setuju untuk membeli ikan di pasar (Melinda belum tidur selama 24 jam. Gak tau tuh ngapain aja semaleman). Dan jiwa petualang bung Davin pun muncul. Tanpa banyak cing-cong, mengajak saya, bung Albert Muljopranoto dan bung Hesarandi Goodman untuk segera menuju pantai, meninggalkan bung Evan dan non Chefia yang sedang membereskan barang-barang di pondokan.


No comments: