One Day Trip To Bandung

Hari Minggu, tertanggal 24 November kemarin, gue beserta keluarga bergerak menuju Kota Kembang, Bandung, untuk hadir di acara pernikahan keponakan perempuan gue. Pukul 4 dini hari, gue sudah terbangun dan berkeliaran di dalam rumah. Setelah meminum susu dan bersarapan ria dengan memakan apa pun yang ada di meja makan, gue membangunkan nyokap yang masih tertidur pulas di samping bokap. Mereka memang minta buat dibangunkan sekitar jam 4-an. Nyokap memang harus bangun duluan, karena seperti mayoritas perempuan yang ada di belahan dunia mana pun, sebuah “upacara” demi membersihkan muka supaya tampak lebih segar dan cemerlang harus dilaksanakan. Bokap masih tergeletak di atas kasur. Guling di sampingnya tampak terabaikan. Jam 4 lebih 10 menit, akhirnya nyokap memulai rangkaian acara pribadinya. Sibuk bolak-balik, lalu berhenti sejenak di tempat rias, lalu kembali ke dapur menyiapkan bekal perjalanan. Padahal, segala keperluan yang harus dibawa sudah lengkap dan siap diangkut ke dalam mobil. Tapi, entah mengapa, ibu rumah tangga yang satu ini begitu rempongnya sampai-sampai mengurusi barang bawaan gue dan menanyakan apakah sikat gigi gue sudah dimasukkan ke dalam atas atau belum. Lucu. I love her very much.

Ketika waktu sudah menunjukan pukul 4.30, giliran bokap yang beranjak dari tempat tidur. Kalo bokap beda lagi. Setelah dia membuka mata, dia upacara yang dia lakukan adalah duduk selama sekitar 10 menit di atas tempat tidur, lalu turun sambil mencari sandal dan langsung menuju toilet. Di situlah “upacara”-nya berlangsung. 10-15 menit biasanya acara wajib ini berlangsung. Bahkan kadang nyokap sampai marah dan ngomel gara-gara bokap kelamaan di toilet. Selepas dari toilet, rambut bokap sudah tersisir rapi dan bau naga dari mulut pun sudah hilang. Celana jeans panjang yang menggantung di balik pintu langsung dipakainya dan dengan cueknya mencari kaos oblong putih dari lemari pakaian dan langsung dikenakannya. Dan langsung ia teriak, “KAATTT…!!!”. Kependekan dari kata “berangkat”. Sebenarnya itu cuma caranya untuk menggoda nyokap supaya nyokap tambah panik dan akhirnya malah emosi sama bokap. Hahaha..!!! I love my old-man.

Dan jam dinding pun akhirnya menunjukan pukul 5 pagi. Barang-barang dan segala macam pernak-perniknya sudah masuk ke dalam mobil. Gue, bokap, dan nyokap akhirnya meluncur menuju jalanan Jakarta yang masih cukup sepi. Sepi dan dingin akibat diguyur hujan rintik-rintik. Sebenarnya, gue masih ngantuk berat akibat kurangnya waktu tidur gue semalam sebelumnya. Bukan kurang tidur sebenarnya, tapi tidak tidur sama sekali. Gue ngotot buat memegang kemudi karena gue gak tega dengan my old-man. Masa iya dia harus nyetir Jakarta-Bandung. Padahal, dia sudah kecapekan karena Sabtu pagi diharuskan untuk bolak-balik Jakarta-Depok demi mencari sesuap nasi. Sekarang adalah giliran gue buat menyetir. Melihat jalanan yang sepi, bokap tidak merekomendasikan buat masuk tol di Semanggi. Dia menyuruh gue untuk melaju terus sampai ke arah Cawang dan mengarahkan gue untuk masuk tol di situ. Setelah masuk tol, mobil Mitsubishi Kuda langsung gue tes kemampuan, selain karena gue buru-buru pengen sampai di tujuan karena lelahnya mata gue. Jarum di speedometer hampir tidak pernah lepas dari angka 160 dan 140. Mulai dari tol lingkar luar sampai Cipularang, semuanya gue panteng kecepatan tersebut. Bokap sepertinya sedikit ketar-ketir dengan gaya nyetir gue. Kalo nyokap, yang duduk di belakang, sepertinya lebih ke arah sikap “terima nasib”. Dia malah tertidur lelap. Dengan doping Minute Maid Pulpy Orange dingin, mata dan mental gue berhasil terjaga. Bokap selalu mengajak ngobrol gue. Mungkin dia tahu kalo gue memang sedikit mengantuk. Well, perjalanan memang masih (sedikit) panjang.

Akhirnya gue keluar dari tol Cipularang. Dan beberapa kilometer lagi, gue sekeluarga akan tiba di Bandung. Bokap langsung mewanti-wanti untuk memperlambat kendaraan, karena sesaat lagi kami harus keluar tol. Tulisan “Pasir Koja 1 km” di papan hijau raksasa dengan panah menunjuk ke pojok kiri bawah mengingatkan gue untuk segera bersiap-siap. Setelah memperlambat kendaraan dan mengambil jalur kiri, akhirnya gue keluar dan memasuki kota Bandung. Setelah mematikan AC, dengan segera gue menurunkan kaca jendela dan dengan yakinnya menghirup dalam-dalam udara Bandung. Yah, tidak sesegar dulu, tapi masih lebih segar dibanding Jakarta yang sudah penuh dengan polusi beracun. Dan ternyata, gue masih ingat jalan menuju tempat saudara gue, walaupun sedikit samar-samar. Agak kaget dan kagum terhadap memory gue. Yang ngebuat gue kagum adalah karena gue sudah lebih dari 8 tahun gak pernah menginjakkan kaki di rumah saudara gue. Rumah saudara gue sebenarnya adalah rumah dari almarhum nenek gue dan akhirnya ditempati oleh saudara gue, yang biasanya gue panggil dengan sebutan oom. Walaupun sebenarnya dia adalah kakak ipar dari nyokap gue. Suami-istri ini sudah cukup lama menempati rumah peninggalan nenek gue. Dan akhirnya gue tiba di rumah yang terletak di gang ini. Banyak kenangan tertinggal dan tersimpan di rumah ini. Mulai dari yang baik hingga yang buruk, semuanya tertata rapi di dalam setiap kamar. Ah, gue bener-bener kangen dengan suasana rumah ini. Sayang gue cuma bisa sebentar saja menikmati segala kenangannya.

Mobil segera gue parkir di pinggir jalan dekat dengan mulut gang. Barang-barang dan tas gue raih semampu tangan gue mampu membawanya. Kaki gue menapaki gang sempit. Gang Pagarsih namanya. Oom Polok ternyata sudah menyambut gue di depan gerbang pintu. Segera saja gue masuk dan menaruh tas serta segalanya di salah satu kamar. Setelah gue membersihkan diri di kamar mandi dengan air yang luar biasa dingin, gue akhirnya terduduk di ruang keluarga. Udara dingin alami di dalam ruangan jarang sekali gue rasakan, kecuali di Bandung. Gak sengaja, gue ngeliat jam di dinding dan.. Wow..!!! Jam menunjukan pukul 6.45. Sinting..!! Gue gak pernah nyetir Jakarta-Bandung dengan hanya menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Dan kekaguman gue akan diri sendiri pun akhirnya runtuh akibat pinggang gue yang mulai merasa sakit. Bokap yang seakan masih segar-bugar segera berjalan ke depan gang bersama Oom Polok untuk membeli ketoprak yang selalu mangkal di sana. Gue yang sama sekali nggak punya nafsu untuk makan menolak untuk dibelikan. Walaupun begitu, gue akhirnya menghabiskan ¾ porsi bokap. Perut emang gak bisa bohong. Otak doang yang bisa nipu. Selepas gue dari ketoprak, gue langsung melarikan diri ke kamar terdekat untuk.. TIDUR..!!

Terbangun dari tidur panjang (jam 8 pagi sampai jam 4 sore), di meja makan telah tersuguhi berbagai macam lauk. Mulai dari ayam opor sampai sambal goreng ati. Damn..!! Saatnya pestaaaa… Gue makan dengan tak terkirakan. Seolah gue mengatakan “Persetan dengan dunia luar”. Bukan bermaksud apa-apa, tapi baru kali ini gue merasakan lapar yang teramat sangat. Mungkin agak hiperbol gue menggambarkannya. Tapi, ternyata gue sudah diburu waktu. Setelah makan dan cuci piring sendiri, gue harus buru-buru ganti baju. Acara pernikahan keponakan gue akan segera dimulai. Di undangan sih tertera jam 6 sore. Tapi, berhubung gue dan keluarga tidak berniat untuk menginap, akhirnya kami harus menerapkan sistem: datang => makan => basa-basi => pulang. Setelah gue bersiap-siap dan memakai batik biru yang tampak terlalu besar di badan gue, ternyata gue mendapat berita jelek. Nyokap terlalu lelah untuk ikut ke acara pernikahan. Kepalanya terasa sakit dan mengharuskannya untuk istirahat. Well, apa mau dikata. Daripada diforsir dan akhirnya malahan jelek, akhirnya gue pergi bersama bokap, oom, dan kedua kakak nyokap. Gue yang buta jalanan Bandung segera dituntun oleh oom Polok dengan sigapnya. Jalanan kebetulan memang sepi dan tidak macet. Kami semobil menuju Hotel Cemerlang, tempat acara diselenggarakan.

Singkat cerita, gue uda sampai di lantai tiga Hotel Cemerlang. Di sinilah cerita berlangsung sedikit menarik. Gue bertemu dengan seorang perempuan, yang menurut standar kelayakan gue setelah studi banding di Paraguay dan beberapa negara, termasuk dalam daftar “Top Ten Most Beautiful Girl”. Dengan kebaya coklat dan rambut panjang yang sengaja digerai menutupi pundaknya, dia berdiri sebagai pagar ayu di pintu masuk. Gue seolah terhipnotis olehnya. Gue gak sadar kalo gue terus menerus beranjak meninggalkan bokap gue yang masih sibuk mengisi buku tamu dan berbincang dengan si penerima tamu, yang juga saudara gue. Kedua mata seolah menolak untuk mengalihkan pandangan darinya. Gue menyalami saudara-saudara gue yang berdiri sebagai penyambut tamu, berbasa-basi sedikit sambil menanyakan nyokap yang sedang tertidur lelap di rumah, mata gue masih tertuju ke gadis itu. Akhirnya tiba juga gilirannya untuk gue salamin. “Makasih, ya.” Logat sunda masih kental di perkataannya. Di moment setelah salaman inilah gue berasa aneh. Dia tiba-tiba menanyakan keadaan nyokap dan bokap. Hmmm… Kok dia bisa kenal bokap-nyokap, sedangkan gue nggak kenal orang tuanya. Bokap yang ternyata sudah rampung mengurusi ang pao dan buku tamu akhirnya menghampiri gue dan cewek ini. Bokap pun juga menyalaminya dan kali ini sambil menyapa dengan nama. What the…??? Kok bokap kenal, sedangkan gue.. Tanpa tedeng aling-aling, setelah barisan pagar ayu itu selesai, gue langsung mewawancarai bokap soal percakapan aneh barusan. Sambil cengar-cengir, bokap cuman bilang, “Dia keponakan kamu.”

Wedding kiss, lempar bouquet, dan pemotongan kue telah terlewati. Acara makan malam pun diselenggarakan. Gue segera mengambil nasi beserta lauk pauknya tanpa malu-malu. Keluar dari antrian, gue bertemu kembali dengan cewek ini. Obrolan basa-basi digelar dan berlangsung dengan tidak adil. Dia manggil gue dengan sebutan nama, karena dari awal gue sudah melarangnya untuk manggil dengan sebutan “oom”. Sounds like I’m a gigolo, aren’t I? Namun sayangnya, gue sama sekali tidak tau namanya. Ngobrol dengan topik gak jelas terus berlangsung. Tiba-tiba, sekelebat suara dari arah belakang melewati telinga gue. Dan suara itu sama sekali gak asing. “Namanya Aline,” ujar suara baik namun terdengar licik tersebut. Yap, dia salah satu kakak sepupu perempuan gue. Dan langsung saja dia menghampiri keluarga gue yang sedang berkumpul dan menggosipkan gue. Ohmaigat..!! Okeh, gossip pun beredar di kalangan keluarga. This is what I don’t like. But, still I can accept it. Aline pun cuma bisa tersenyum kecil. Sambil menikmati sepiring spaghetti, dia tetap mengajak ngobrol gue seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi di kalangan keluarga. Akhirnya, obrolan pun terhenti. Gue dipanggil bokap untuk segera pulang. Waktu memang sudah cukup malam, selain nyokap yang juga lagi terbaring sakit. Gue pun langsung menyempatkan diri untuk meminta nomernya dan sekali lagi gue dibuat terkejut. “Bokap lo uda ngasih nomer lo ke gue, kok.” WHAT THE HELL..!!! Bokap gue ternyata sudah secara gerilya menjodohkan gue. Argh.. Gue berasa hidup di jaman Siti Nurbaya. Tapi, gapapa. Untung ceweknya cantik. “Okelah kalau begitu. Berarti lo yang nelpon gue,” sambil sedikit menahan tarikan di tangan dari kakak sepupu gue. Aline hanya melemparkan senyum. Aaaaahhhh….!!! Hati gue meleleh, Jek..!! Sori.. Sori.. Sori, Jek…

Pukul 20.00. Pendek cerita, gue, bokap, nyokap, dan kakak nyokap sudah siap untuk pulang ke kandang. Kembali gue yang memegang kendali mobil. Dan kali ini, sejujur-jujurnya kondisi tubuh gue bener-bener bisa dibilang hampir menyerah. Mata gue beberapa kali sudah hampir menyerah dan akhirnya sampai di titik di mana kejadian ini sama sekali gak boleh terulang lagi. Gue lupa di kilometer berapa, tapi yang pasti gue masih berada di tol Cipularang. Dan lo tau, gue tertidur selama ½ detik. Gue langsung kaget, sekaget-kagetnya dan gue langsung reflek untuk melepas gas. Creepy as shit. Bokap gue sepertinya nggak sadar dengan kejadian barusan. Sejak itu, jok mobil langsung gue tegakkan. Lumayan untuk menopang punggung dan pinggang supaya bisa lebih berkonsentrasi. Selepasnya dari tol Cipularang, akhirnya gue berhenti sejenak di tempat peristirahatan, sekalian buang air kecil. Keluar dari toilet, gue langsung cuci muka dan menyalakan sebatang rokok serta menenggak doping, mizone. Sayang nggak ada kratingdaeng. Sepuluh menit gue merokok, gue bergegas balik ke mobil. Ternyata bokap dan nyokap masih di toilet. Beberapa saat kemudian, bokap-nyokap kembali dan langsung menaiki mobil. Gue langsung tancap gas, keluar dari tempat peristirahatan, menuju Jakarta. Kecepatan gue stabilkan antara 80-100 km/jam. Kondisi badan yang tegak, wajah yang telah tersapu air, aliran darah yang teracuni nikotin, serta otak yang sudah terdoping mizone, sedikit membantu gue untuk menyelesaikan perjalanan. Hati gue semakin lega dan gembira ketika gue membaca tulisan “Cawang-Grogol” di papan hijau rambu jalan.

Mampir di pom bensin Slipi, seluruh penghuni mobil, kecuali gue, tertidur dengan lelapnya. Capek. Setelah selesai mengisi bensin, gue langsung melaju menuju Taman Kedoya Baru. Ah.. Home sweet home. Mitsubishi Kuda pun akhirnya kembali ke kandangnya. Gue dan anggota keluarga yang lain bergegas menurunkan seluruh barang bawaan beserta oleh-oleh. Dan kejutan lagi. Gue mendapat SMS dari nomor yang gue nggak kenal. “Udah sampai Jkt? Langsung istirahat aja. Besok aja kalo mau nelpon. (Aline).”

Tidur gue langsung nyenyak, senyenyak-nyenyaknya.

No comments: