Sang Pejantan Tak Bertaji

Akhirnya, tim nasional Perancis terpaksa pulang lebih dulu akibat hasil kurang memuaskan yang didapat dari tiga pertandingan kualifikasi grup putaran final Piala Dunia 2010. Banyak pendukung Perancis harus gigit jari akibat hasil mencengangkan ini. Bukan hanya pendukungnya, bahkan bandar-bandar judi sempat terheran-heran, walaupun mereka berhasil mengeruk untung dari penampilan buruk Perancis. Pada pertandingan awal, mereka berhasil ditahan imbang dengan skor kacamata oleh Uruguay. Dengan materi mentereng, mulai dari Nicolas Anelka, Franck Ribery, sampai Patrice Evra, tim ini sudah digadang-gadangkan akan meraih hasil yang optimal di Afrika Selatan. Namun, apa daya. Perancis, dengan title pemenang Piala Dunia 1998, dan runner up pada edisi 2006, ternyata tidak sanggup menghadapi tim Uruguay yang bermaterikan pemain biasa-biasa saja. Hanya Diego Forlan (Atletico Madrid) dan Luis Suarez (Ajax Amsterdam) yang punya nama mentereng, karena masing-masing membela sebuah klub besar Eropa. Seolah kehilangan roh permainan sepeninggal legenda sepakbola, yang juga salah satu pemain favorit saya, Zinedine Zidane, Perancis bermain sangat-sangat tidak meyakinkan. Nicolas Anelka pun juga kehilangan naluri mencetak gol. Berbeda dengan penampilannya di Chelsea, Anelka menjadi duet maut bersama dengan Didier Drogba. Ribery seakan-akan melengkapi penderitaan Perancis. Digadang-gadangkan sebagai pengganti Zidane, ternyata penampilannya masih belum mampu menyamai prestasi sang legenda hidup.

Masalah awal memang sudah tampak sejak awal. Perseteruan dalam tubuh tim memang menjadi sebuah duri dalam daging. Pelatih Raymond Domenech yang menerapkan kebijakan yang tidak bijak menjadi pertanda kurangnya wibawa untuk membawa tim ini sukses. Beralihnya ban kapten dari lengan Thierry Henry kepada Patrice Evra menunjukan sebuah kesalahan awal. Domenech belum mampu mendapatkan sosok kapten seperti Didier Deschamps, Laurent Blanc, dan juga Zinedine Zidane (terlepas dari insiden dengan Marco Materazzi). Henry sebenarnya adalah pilihan paling tepat, namun jarangnya mendapat kesempatan dalam starting line up di Barcelona membuatnya tersingkir dari first eleven Perancis. Apa mau dikata, akhirnya Evra lah yang harus mengemban tugas berat tersebut. Walaupun Evra sukses bersama Manchester United, tapi ia sama sekali belum bisa menanggung beban mental sebagai kapten.

Dalam sesi latihan pun, sudah terlihat jelas adanya kecemburuan tingkat tinggi di sini. Yoann Gourcuff menjadi korban pengucilan. Ribery, Anelka, dan yang lainnya menolak untuk berlatih berdampingan dengannya. Alhasil, Gourcuff pun hanya bisa mengobrol dengan Jeremy Toulalan selama menjalani sesi latihan. Alasan pengucilan ini adalah akibat adanya gossip (yang seolah menjadi nyata) bahwa Domenech amat teramat menganak-emaskan Gourcuff. Seburuk apapun penampilannya, nama Gourcuff dipastikan muncul dalam formasi awal. Berbeda dengan nama-nama lain. Perlakuan yang berbeda ini pastinya menimbulkan kecemburuan dari rekan-rekan setimnya. Namun, Domenech tetap cuek dengan protes para pemain ini.

Puncaknya, adalah ketika Perancis berhasil dikalahkan tim dari benua Amerika, yaitu Meksiko. Dua gol bersarang di gawang Lloris tanpa mampu dibalas. Nicolas Anelka yang bermain di bawah form akhirnya digantikan. Bukannya sadar dan memperbaiki performanya, ia malah memaki Domenech. “Son of a bitch!,” ia meneriaki sang pelatih tepat di depan mukanya. Otomatis, Anelka pun dipulangkan. Keadaan ini ternyata semakin memperburuk keadaan Perancis. Evra sebagai kapten mengadakan boikot besar-besaran. Ia mengajak seluruh pemain untuk tidak berlatih pada waktunya. Evra pun sempat beradu mulut dengan sang pelatih fisik. Akibatnya ban kapten berpindah lagi kepada salah satu pemain klub Arsenal, Alou Diarra. Kehancuran di tubuh Perancis semakin menjadi. Pada pertandingan selanjutnya, Perancis dipermalukan dengan dua gol dari Afrika Selatan. Mereka hanya mampu membalas lewat Malouda dan itu sama sekali tidak dapat menolong. Perancis tidak mampu lolos dari babak penyisihan grup. Gourcuff, si anak emas, semakin membuat terpuruk. Kartu merah yang didapatnya akibat menyikut salah satu pemain Afrika Selatan mempertegas keputus-asaannya. Kejadian ini diakhiri dengan penolakan Domenech untuk menerima jabat tangan dari pelatih Afrika Selatan, Carlos Parreira. Sungguh sebuah sikap kekanak-kanakkan yang seharusnya tidak ditunjukan oleh Domenech.

Persoalan ini sampai ke telinga para petinggi Perancis. Mulai dari Menteri Olahraga dan Menteri Keuangan (yang notabene tidak ada hubungannya dengan olahraga) berkomentar miring tentang kondisi internal tim nasional Perancis. Sang Menteri Olahraga meminta pertanggung jawaban sepulangnya mereka dari benua Afrika. Evra pun menyanggupinya dan mengatakan bahwa ia akan mengatakan segala masalah secara blak-blakan. Pesawat Boeing 737 yang dipesan untuk memulangkan Sidney Govou cs., akhirnya diganti dengan pesawat kelas ekonomi. Sebuah penghinaan menurut pandangan saya. Tapi, itulah sebuah bentuk pertanggung jawaban. Datang dengan pesawat jet carter, pulang dengan pesawat ekonomi. Dipermalukan dengan jelas.

Sekarang, tugas berat ada di tangan Laurent Blanc yang ditunjuk sebagai pengganti Domenech. Dengan pensiunnya Anelka, Blanc dipercaya untuk mencari pengganti talenta yang hilang tersebut. Namun, dengan karier yang mentereng (membawa Bordeaux menjadi juara Liga Perancis), ia diberi tanggung jawab untuk mengembalikan kejayaan Perancis. Setidaknya kembali mengangkat mental para pemain andalan yang sudah terpuruk. Blanc dengan segala reputasinya yang telah memenangkan Piala Dunia 1998 bersama Fabian Barthez dipercaya mempunyai tuah dengan menularkan kesuksesannya. Well, kita tunggu saja kiprahnya. Mudah-mudahan Blanc mampu melaksanakan tugasnya. Membawa sang ayam jantan kembali berkokok di kancah Eropa maupun Dunia.

Rantau

Ini adalah pengalaman kesekian kalinya gue ke bioskop sendirian. Tanggal 15 Juni ini, gue memutuskan untuk pergi ke salah satu bioskop besar di kota Bandung. Daripada gak ada kerjaan di rumah, lebih baik gue mengisi hari sepi gue dengan nonton film yang baru beredar di bioskop-bioskop di kota besar. Masuk di lobi Blitz, poster-poster digital yang ditampilkan akhirnya malah sedikit membingungkan gue. Karate Kid, Kick Ass, dan The A-Team adalah film-film dengan review yang sukses membuat gue penasaran. Okeh, akhirnya gue sedikit menganalisa jalan-jalan cerita per film.

KARATE KID

Dimulai dengan Karate Kid. Gue adalah salah satu orang yang beruntung di planet bumi ini karena sempat menonton versi terdahulunya. Dibintangi oleh bintang jepang, Pat Morita, film ini telah membuat trend tersendiri pada jamannya. Yang paling gue ingat adalah teriakan “AYAA..!!” yang selalu sang tokoh utama teriakan ketika melancarkan serangan-serangan terhadap lawannya. Namun, tanpa melupakan sebuah ciri khas yang sangat popular dalam film tersebut, adalah sebuah jurus yang menirukan seekor bango. Dengan tangan terentang seolah membentuk sayap dan kaki kiri yang tertekuk ke dalam, siap memberikan sebuah serangan telak kepada sang musuh. Dan, dengan slow-motion yang dramatisir, Daniel Larusso menendang lawannya dengan kaki kanan dengan keras. Tentu tanpa melupakan teriakan khasnya. Klimaks! Lawan terjatuh. Tak mampu melanjutkan pertandingan. Akhirnya, gerakan tersebut sukses membawa trend di kalangan anak SD tahun 90an. Di sekolah, gak sedikit yang menirukan gerakan bango tersebut. Tapi, efek yang massive tersebut akhirnya diredam oleh para guru. Gerakan tersebut dilarang keras dipergunakan di dalam sekolah gue karena dipercaya akan menimbulkan tindak kekerasan dalam sekolah. Hal yang sedikit menyebalkan buat gue dan teman-teman gue saat itu.

Sebersit kenangan itu akhirnya membuat gue membandingkan dengan film Karate Kid versi sekarang, yang tidak terlalu “Karate”. Dibintangi oleh Jackie Chan, yang notabene adalah ahli Kung Fu, film ini mengambil set di China daratan. Jayden Smith memerankan tokoh yang kerap menjadi korban bullying di sekolahnya, berlatih “Karate” demi membela dirinya di jalanan dan harus mengikuti sebuah turnamen. Alur cerita yang sama persis kalau gue lihat sekilas.

KICK ASS

Film ini adalah salah satu film yang sangat menarik hati gue. Sekelompok anak muda memutuskan untuk menjadi sekelompok super-hero di kotanya. Ide crita ini diambil dari sebuah buku komik yang, katanya, sukses besar di Amerika Serikat sana. Gue berpendapat bahwa film ini sangat menarik karena gue sebelumnya sudah menonton beberapa film yang diangkat dari komik, seperti Watchmen, 300, Sin City, dan yang terakhir adalah The Losers. Tentu saja tanpa melupakan jagoan-jagoan dari Marvel dan DC Comics, seperti Spiderman, Iron Man, Batman, dan lain-lain. Film terakhir yang gue tonton adalah The Losers yang memang, menurut pendapat pribadi, sangatlah bagus. Film tersebut tidak melepas jalan ceritanya dari komik itu sendiri. Hasilnya, adalah sangat luar biasa. Memang tidak ada twist-twist yang bisa membuat kita berpikir keras, tapi tetap saja jalan ceritanya tersaji sangat ringan namun benar-benar menghibur.

Dari pengalaman gue itulah, maka gue berniat untuk membeli satu tiket untuk film ini. Gambaran-gambaran lucu yang gue lihat dari trailer di Youtube sedikit mendorong gue untuk mengantri demi Kick Ass.

THE A-TEAM

Siapa yang tidak tahu B.A. Baraccus yang selalu ribut dengan Murdoch? Siapa yang tidak kenal Hannibal Smith, sang pemimpin nyeleneh eks veteran perang Vietnam? Siapa yang tidak jatuh hati kepada Templeton, sang perwira berwajah ganteng? Bagi seseorang yang mengalami era 90an, The A-Team adalah sebuah film seri aksi komedi yang berhasil membuat kita tergila-gila. Tergila-gila disini maksud gue adalah dalam arti harafiah. Ya. Kita benar-benar dibuat gila oleh aksi mereka berempat. B.A. Baraccus adalah seorang prajurit yang selalu ber-mood jelek. Marah-marah mulu. Sedangkan Murdoch adalah seorang yang dianggap gila, namun punya keahlian untuk menerbangkan berbagai jenis pesawat. Templeton Peck mempunyai keahlian untuk menyamar. Master of disguise yang sering menggunakan kemampuannya untuk masuk ke daerah musuh untuk mencuri data dan informasi pihak lawan. Dan yang terakhir, adalah Hannibal Smith. Otak dari segala aksi mereka. Mereka berempat seolah beraksi tanpa tersentuh lawan-lawannya. Ketika tertangkap dan dilucuti senjatanya, mereka mampu membuat senjata sendiri dari lingkungan sekitarnya. Dan senjata tersebut dapat digunakan untuk meng-counter segala serangan. Luar biasa!

Film seri ini juga mempunyai ciri khas. Tak ada kematian yang digambarkan secara vulgar. Di film serinya, tak ada darah yang ditampilkan dalam setiap aksinya. Tapi, dengan segala ketidak vulgarannya, The A Team berhasil membuat para penonton terpikat dengan kekonyolan dan kehebatan aksi para pemainnya. Jalan cerita yang ringan dan sedikit nyeleneh akhirnya berhasil mengundang tawa. Sejarah inilah yang membuat gue luar biasa tertarik dan merelakan Rp 30.000,- gue untuk diserahkan kepada penjaga loket (yang dengan lesung pipitnya membuat gue percaya pada “love at first sight”).

AKHIRNYA

Dan pada akhirnya gue memilih untuk menonton The A-Team yang akan dimulai pada pukul 17.00 tepat. Ini adalah pertama kalinya (mudah-mudahan untuk terakhir kalinya) gue melakukan aksi anti sosial di luar Jakarta, tepatnya di Bandung. Pengalaman yang menarik. Sepertinya gue bakal merindukan situasi seperti ini. Jalan-jalan sendirian, sempat tersesat gara-gara salah naik angkot, lost in translation a little bit dan sedikit menggunakan bahasa Sunda dengan logat aneh. Tapi, sedikit mengajarkan dan memaksa gue untuk bisa survive di tempat asing. Mudah-mudahan.

Jam netbook Axioo sudah menunjukan jam 5 kurang 10. Suara manis dari speaker pengumuman memberitahu gue untuk segera masuk ke dalam studio. Dan, gue masih dikasih kesempatan buat berpapasan dengan si penjaga loket berlesung pipi tadi. Senyum pun gue lemparkan dan… Dia cuma melengos. DAMN!!

Jiu-Jitsu


Bila kita, para orang awam, mendengar pertama kali kata Jiujitsu, kita kerap kali langsung membayangkan olahraga atau seni bela diri yang kerjaannya hanya membanting lawan atau mengunci lawan hingga ia menyerah. Pertama kali saya melihat video mengenai Jiujitsu di youtube, saya langsung sedikit bergidik dan kagum. Saya melihat untuk pertama kalinya sebuah bela diri yang mengutamakan sistem bertahan. Ketika lawan menyerang, kita hanya boleh bertahan. Namun, bertahan bukan dengan menangkis atau menahan serangan, melainkan dengan meneruskan energi serangan untuk melumpuhkan si penyerang. Butuh stamina yang prima untuk melakukan latihan-latihan seni yang satu ini. Well, itulah kesan pertama saya ketika saya menonton beberapa video mengenai Jiujitsu.

Hingga sekarang, saya akhirnya penasaran dengan seni bela diri Jiujitsu. Saya sedikit membaca-baca di Wikipedia dan kerap menonton video-video yang menggambarkan kekuatan bela diri ini. Tak kenal, maka tak sayang. Sebuah kalimat klise yang ternyata memang benar adanya. Tanpa kita mengetahui lebih dalam sebuah seni beladiri dan filosofi-filosofinya, niscaya apa yang Anda pelajari akan kosong belaka. So, saya akan mencoba sedikit memaparkannya melalui tulisan yang kurang sempurna ini.

Jiujitsu pertama kali digunakan oleh para Samurai. Istilah jujutsu tidak pernah digunakan sampai abad ke 17, setelah saatiu berkembang banyak istilah dari berbagai variasi seni bela diri yang berhubungan dengan grappling. Pada masa itu, keahlian ini mempunyai nama seperti “short sword grappling” (kogusoku koshi no mawari), “grappling” (kumiuchi), “body art” (taijutsu), “softness” (yawara), “art of harmony” (wajutsu, yawarajutsu), “catching hand” (torite), dan sampai kepada “way of softness” (judo). Istilah-istilah di atas sengaja kami sampaikan dengan bahasa Inggris, karena saya belum mampu menemukan arti padanan dengan Bahasa Indonesia. Agak sedikit aneh bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Saat ini, sistem pertarungan dengan tangan kosong yang dikembangkan dan dilatih pada periode Muromachi (1333 – 1573) direferensikan sebagai Jujutsu Jepang gaya lama (Nihon koryu jujutsu). Dalam periode ini, cara-cara tersebut tidak digunakan untuk pertarungan tangan kosong, melainkan untuk melatih para pasukan tangan kosong dan dengan persenjataan ringan demi mempertahankan diri dari lawan yang bersenjatakan berat di medan perang. Di dalam pertarungan sesungguhnya, akan jarang sekali kemungkinan seorang ksatria Samurai menggunakan pedang panjangnya, dan akhirnya mereka akan menggantungkan nyawanya pada pedang pendek, belati, atau bahkan tangan kosong. Ketika mereka menggunakan senjata utamanya, biasanya senjata cadangan mereka (pedang pendek dan belati) akan digunakan kepada lawan dengan teknik grappling.


Dalam perkembangannya pada era Meiji, dimana terjadi masa-masa penghapusan Samurai dan dilarangnya pedang untuk dibawa ke tempat umum, maka sistem ini semakin menyempit dan semakin menuju kepada Jujutsu (Yawara). Sejak itu, banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam Jujutsu. Nihon Jujutsu ryu bahkan tidak dianggap sebagai koryu (tradisi nenek moyang). Jenis-jenis ini disebut Gendai Jujutsu atau Jujutsu modern. Jujutsu modern ditemukan setelah atau menjelang berakhirnya periode Tokugawa (1868), dimana lebih dari 2000 sekolah (ryu) Jujutsu muncul.

Perkembangannya sampai masa sekarang, Jujutsu digunakan dalam jajaran aparat penegak hukum di Jepang. Mungkin istilah yang paling dikenal di kalangan kepolisian Jepang adalah Keisatsujutsu (seni bela diri polisi), yang dikembangkan oleh Departemen Kepolisian Tokyo.

Jika sistem beladiri Jepang diaplikasikan pada masa modern (setelah era Tokugawa) tapi hanya sebagian yang dipengaruhi oleh Nihon Jujutsu, kemungkinan ini bisa disebut sebagai goshin (seni pertahanan diri) jujutsu. Brazilian Jiu-jitsu, yang di kembangkan dari judo, tapi lebih terfokus kepada ground grappling (ne waza), adalah sebuah contoh yang sempurna dari Goshin Jujutsu.

Brazilian Jiu-jitsu



Brazilian Jiu-jitsu sendiri diawali oleh Mitsuyo Maeda, seorang ahli judoka dari Jepang dan anggota dari Kodokan. Maeda adalah satu dari lima ahli Kodokan yang dikirim oleh penemu Judo Kano Jigoro ke seluruh dunia untuk menyebarkan seni bela diri Judo. Maeda meninggalkan Jepang pada tahun 1904 dan mengunjungi berbagai negara, memberikan demonstrasi “jiu-do”, dan menerima berbagai tantangan dari pegulat, petinju, hingga petarung Savate (seni bela diri yang sedikit mirip dengan pencak silat dan Muay Thai), dan berbagai pelaku seni bela diri lainnya, hingga ia mendarat di Brazil pada tanggal 14 November 1914.

Sering kali Brazilian Jiu-jitsu (selanjutnya BJJ) adalah sebuah pengembangan dari seni tradisional Jepang, yaitu jujutsu, bukan judo. Dan Maeda juga sering kali disebut sebagai jujutsuka (ahli jujutsu), walaupun Maeda sendiri tidak pernah berlatih jujutsu. Ia pertama kali berlatih seni bela diri sumo di saat remaja, dan setelah minatnya dialihkan oleh kesuksesan judo dalam sebuah kontes judo melawan jujutsu, akhirnya ia berganti haluan dengan mempelajari judo, dengan menjadi salah satu murid di Kodokan judo Kano. Ia mencapai dan (tingkat) 7 sebelum meninggal pada tahun 1941.

Perbandingan

Saya sempat membaca sebuah testimonial (bisa ditemukan di: http://EzineArticles.com/239174) dari seseorang yang mempelajari Jujutsu tradisional dan juga BJJ. Ia mengatakan bahwa, secara teknis, hampir tidak ada yang berbeda bila Jujutsu Jepang dan BJJ dibandingkan. BJJ lebih banyak teknik dalam pertarungan ground, sedangkan Jujusu lebih kepada pertarungan berdiri. Jujutsu tradisional lebih banyak menyimpan teknik rahasia dan trik-trik yang tidak bisa kita lihat dimanapun. Walaupun seni bela diri ini mengalami beragam evolusi, namun beberapa detail dari ke-nenekmoyang-an kadangkala kehilangan kerahasiaannya. Tanpa modifikasi yang cocok, “rahasia” ini tidak berarti banyak, namun bila kita menggabungkan dan mengkombinasikannya dengan latihan BJJ, kita akan mendapatkan sesuatu yang baru. Dan, sangatlah penting bila kita mengaplikasikan Jujutsu tradisional ke dalam BJJ.

Mungkin, supaya lebih jelas, bisa mengunjungi www.jiu-jitsu.net.

J.U.D.G.E.M.E.N.T

Ketika itu, gue sedang bercanda dengan beberapa teman gue. Candaan kami memang sedikit nyeleneh dan keluar jalur. Keluar jalur yang gue maksud adalah terkadang kalimat-kalimat yang keluar dari mulut adalah kalimat-kalimat hinaan berupa penghuni rumah makan dan kebun binatang. Yup, di antara kami memang tidak ada lagi rahasia dan nama baik. Semuanya terbuka bagi setiap individu.

Namun, suatu hari, ada seseorang teman baru yang bergabung dengan perkumpulan kami ini. Kami menerimanya dengan tangan terbuka dan menyambutnya sepenuh hati. Awalnya kami berbicara dan mengobrol sejenak, memperbincangkan hal-hal umum dan beberapa info pribadi, seperti nama lengkap, status, alamat, dsb. Akhirnya, karena kami rasa si teman baru ini sudah akrab dan sedikit menyatu, gue dan teman-teman yang lain akhirnya kembali ke alam kami yang sebenarnya. Candaan yang agak nyeleneh dan berbau-bau alat masak kami keluarkan. Kami nggak sadar sepenuhnya bahwa si Teman Baru ini ternyata tidak mampu mengikuti cara kami. Sampai suatu ketika ada perkataan yang sepertinya menyinggung perasaan si Teman Baru ini. Dan akhirnya, ia berdiri dan membentak kami, “Lo semua keterlaluan, ya! Haruskah lo semua ngomongin masalah alat masak di sini?! Nggak takut orang lain denger dan salah mengartikan?” Dan ia pun berlalu tanpa permisi. Sampai sekarang ia menghilang tanpa jejak.

Pertanyaan yang terlintas di kepala gue saat dia meninggalkan kami adalah, “Gue yang gila atau dia yang sinting? Gue yang salah atau dia yang gak bener?”. Jujur gue berulang kali berpikir dan berpikir berulang kali. Ketika gue lagi asik-asik ngobrol, dia sendir yang tiba-tiba nongol dan gabung ke “forum” kami. Dan ketika kami sedang mengeluarkan candaan kami, tiba-tiba dia tersinggung dan ngeloyor tanpa permisi. Hmm.. Sebenernya yang salah siapa, sih? Gue heran sampe sekarang. Kalo dia emang gak mampu menahan emosi dalam sindiran-sindiran kami, you better keep moving and don’t try to stop and join my group.

Well, memang setiap orang punya kelebihan untuk menghakimi dan men-judge kekurangan orang tanpa bercermin. Ya, sudahlah. Gue juga tidak berniat untuk nge-judge kelemahan dia. Namanya juga manusia. Ketika sikap egosentris dan mau menang sendiri sudah menguasai, mau diapain lagi? Kalo gue, mendingan gue cuekin. Daripada gue makan ati dan kesel sendiri.

Tunggal

Sedari gue SMP, banyak di antara temen-temen gue yang sering bilang bahwa jadi anak tunggal itu enak. Ada yang bilang sering dimanja, harta warisan banyak, dan lain sebagainya. Gue sih nerima-nerima aja. Well, ada benernya juga. Tapi, kalo dibilang gw sering dimanja, sepertinya nggak juga. Contoh, ketika saat itu sedang menjamurnya game-console sejenis Nintendo, Sega, Atari, hingga Playstation, keluarga gue pada kenyataannya tidak sampai terjangkit penyakit jamur tersebut. Di rumah gue adem-ayem dengan segala mainan robot-robotan dan mobil-mobilan plastik murah. Walaupun ada beberapa yang mahal juga, namun tidak berumur panjang. Yah, maklum lah. Sejak kecil gue malahan sudah terjangkiti penyakit suka kekerasan. Jadi, apa pun yang gue temukan, kebanyakan akan berakhir di tempat sampah atau gudang. So, terbukti gue bukanlah anak tunggal yang dimanja dengan dibelikan mainan-mainan mahal.

Harta warisan banyak? Yup, memang harta warisan gue agak lumayan banyak. Tanah dan rumah milik almarhum nenek gue di Wonogiri, Jawa Tengah, bisa dipastikan jatuh ke tangan gue (setelah dibagi dua dengan kakak dari bokap). Lumayan, ‘kan? Bisa bikin kos-kosan, warung makan, tempat peristirahatan, atau mungkin jadi rumah gue di kala gue sudah memasuki masa-masa pensiun.

Tapi, pernahkah lo membayangkan kesendirian gue. Sepulangnya gue dari tempat kerja, gereja, atau kegiatan apa pun yang gue lakukan di luar rumah, gue terkadang hanya langsung berhadapan dengan laptop Axioo dan mungkin ditemani anak anjing mungil *(sang induk sudah meregang nyawa) yang gue kasih nama Wesly. Bagaimana dengan orang tua gue? Mereka memang pasti ada di rumah, setia menunggu kedatangan gue. Namun, entah bagaimana, akhir-akhir ini gue sedikit berkomunikasi dengan mereka. Mungkin karena faktor kelelahan yang udah mendera badan gue dan kurangnya jam bertemu. Ketika gue pulang sore, bokap masih praktek di salah satu rumah sakit. Beliau menjalani prakteknya di beberapa rumah sakit di Depok, Daan Mogot, sampai Bekasi. Biasanya beliau sampai di rumah ketika waktu sudah malam dan gue terkadang sudah terlelap atau mengerjakan tugas pekerjaan di kamar. Nyokap? Beliau juga sibuk. Bukan pekerjaan rutin, dikarenakan beliau adalah seorang ibu rumah tangga, namun beliau sibuk berdoa, belanja ke pasar, atau datang ke acara-acara doa dan pertemuan lingkungan. Alhasil, gue semakin merasa sedikit kesepian. Cuma Wesly yang setia berlarian dan melompat-lompat menyambut kehadiran gue di rumah. Sepi? Check! Sendrian? Not really. Kayak orang gila? Check! Secara gue kebanyakan berkomunikasi dengan hewan peliharaan. J

Bulan Mei kemarin, pada akhirnya gue mendapat sebuah kabar mengejutkan. Bokap mendapatkan sebuah surat yang sedikit “memaksa” untuk pensiun dari pekerjaannya di rumah sakit tempatnya bekerja. Isinya, mengenai keharusan untuk pensiun saat usia sudah menginjak 65 tahun. And guess what, he’s 65 years old this June. God dammit, that’s hell of a surprise. Gue down, se-down-down-nya. Gue seakan punya beban 4 ton yang dilemparkan ke punggung gue. Dan di beban itu ada tulisan, “This is now your turn to make this family survive”. Dalam hati, gue nangis sambil terus-menerus mengutuk kejadian ini. I’m not ready at all to be the back bone. Gue sama sekali belum siap untuk ini.

Di kamar, tiba-tiba aja gue nangis. Ini pertama kalinya gue nangis setelah 9 tahun gak pernah lagi netesin air mata. Jam 01.00, satu rumah udah tidur. Gue melampiaskan segala kekesalan emosi. Teriakan gue diredam dengan bantal. Semakin gue berteriak keras, semakin pula gue menekan muka gue ke bantal. Musik Deftones sedikit membantu gue melepas penat. Tapi, beban di punggung gue gak berkurang sama sekali. SHIT…!!!!!

Ketika bokap menginjak 65 tahun perjalanan hidup, nyokap bakalan menyusul dengan 62 tahun menapakkan kaki di bumi. Dan gue baru 25 tahun berada di kota Jakarta. 40 tahun yang gak mungkin gue lampaui. Garis-garis wajah yang semakin terbentuk, bener-bener menggambarkan setiap perjalanan yang udah bokap jalanin. Tubuh nyokap yang semakin membungkuk, yang seakan memanggul beban berat sedari melahirkan gue sampai sekarang. Dan gue sudah tidak mampu lagi untuk melihat pengorbanan mereka, walaupun mereka masih dengan rela hati memberikan segalanya buat gue, anak tunggal keparat yang gak tau terima kasih ini.

Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Mama. Kalian berdua adalah dua sosok pahlawan di dalam hati gue. Embun pagi yang menyejukkan hati di kala gue sendiri. Setiap tetes air mata yang kalian alirkan adalah sebuah belati yang menyobek hati gue. Gue akan membalas segalanya. Gak akan ada air mata lagi yang akan kalian teteskan.