Ketika Kami Di Merapi

(Sebelum lo baca blog gue ini, gue cuman pengen menjelaskan bahwa gue menulis cerita berikut tanpa berdasarkan runutan waktu. Gue menulis sesuai dengan pengalaman dan memori yang paling nyantol di kepala gue.)

Sekilas gue melihat kehancuran di setiap daerah yang sempat gue kunjungi di sekitar merapi. Pohon-pohon yang patah akibat panasnya abu vulkanik dan rumah-rumah yang rubuh akibat hantaman dahsyatnya kekuatan erupsi. Beberapa petani juga terlihat membersihkan sisa-sisa tanaman pertanian yang hancur hampir tak tersisa. Pohon-pohon salak berwarna kelabu akibat tertutup abu vulkanik, rata dengan tanah. Pohon kelapa yang biasanya gagah berdiri walau ditiup angin kencang, kali ini menyerah, menguncup akibat terpaan awan panas. Lahan pertanian yang seharusnya telah berhiaskan padi yang merunduk kali ini terbaring mati. Dusun yang biasanya ramai dengan warganya menjadi terkesan sepi dan mencekam. Sebagian dari rumah para warga yang selalu menawarkan kehangatan dan keramahan tertutup rapat. Beberapa malah hancur dan banyak lainnya yang rata tak berbekas. Efek kehancuran yang begitu massive.

Perjalanan pertama gue mengantarkan bantuan sumbangan yang dikumpulkan sementara di kediaman Rm. Eko adalah menuju Posko di salah satu dusun. Tapi, jangan ditanya itu di daerah mana karena nama-nama dusun, desa, atau kecamatannya belum familiar di telinga kota gue.

Dengan Isuzu Elf, gue menjadi saksi mata “kekejaman” abu vulkanik dari puncak Gunung Merapi. Jalan-jalan besar yang gue lalui hampir seluruhnya tertutup debu putih yang memerahkan mata dan menyesakkan dada. Mobil-mobil dan motor-motor yang terparkir di sisi jalan tertutup dengan debu putih. Beberapa toko, restoran, dan warung makan memilih untuk menggantungkan tanda bertuliskan “tutup”. Traffic light di beberapa lokasi tidak dapat beroperasi, terselubungkan debu putih. Beberapa warga sengaja mengalirkan air demi mengurangi intensitas debu yang berterbangan di jalan. Sesampainya gue di dalam sebuah kota, kalau tidak salah Muntilan, warga setempat membersihkan lumpur yang menutupi jalan dengan bekerja sama bersama tentara-tentara TNI. Dengan hanya bermodalkan sekop kecil dan cangkul, mereka mencoba mengeruk lumpur-lumpur tebal yang telah mengeras seperti semen di sisi jalan. Dan akhirnya gue menemui seorang cowok berbaju koko dilengkapi sarung bermotif kotak-kotak dan berkopiah hitam. Sebuah tas tergeletak begitu saja di sampingnya. Ia bergerak seolah sedang mengatur lalu lintas sambil menunjuk-nunjuk ke seberang jalan. Namun, kedua kalinya gue melintasi jalan yang sama untuk pulang ke Temanggung, gue menyaksikan dia sedang mengganti pakaiannya di pinggir jalan dengan kepala yang dihiasi karet gelang, melingkar dari dahi sampai ke belakang kepalanya. Kali ini, hati gue tidak bisa tertawa bahkan tersenyum ketika melihatnya. “Dia kena gangguan mental, kemungkinan harta bendanya habis tersapu erupsi Merapi,” ujar mas Janto, adik dari Romo Eko. Kali itu, gue gak bisa berkomentar apa-apa.

Jalan-jalan menanjak licin akibat pasir vulkanik (harap dibedakan antara abu vulkanik dan pasir vulkanik) menyambut kedatangan gue dan teman-teman di daerah Babadan. Gue sedikit menikmati udara pegunungan yang masih sejuk. Angin sepoi-sepoi yang berhembus meniup muka terasa sangat menyegarkan. Sawah-sawah yang tertanam padi-padi pendek berwarna hijau bagaikan permadani yang mampu membuat mata gue nggak bisa lepas untuk terus menerus memandanginya dengan pikiran kosong. Empat meter dari sawah-sawah hijau tersebut, kembali terlihat pemandangan yang sungguh menyesakkan. Buah-buah cabe tergeletak menyebar di atas tanah hitam. Beberapa masih tergantung di pohonnya, namun mengering dan berabu. Pohon-pohon bambu patah dan berserak, jatuh terendam di sungai berbatu. Bahkan sekumpulan bambu liar pun tidak dapat bertahan. Sambil meneruskan perjalanan menyusuri jalanan pedesaan sempit, warga-warga desa terlihat sudah mulai bisa bangkit dari keterpurukan. Wajah murung bercampur senyum ketika melihat kami datang seolah menyambut kami. Kendaraan kami terus-menerus berusaha mengatasi jalanan menanjak nan berpasir. Beberapa kelokan dan jembatan kami terabas. Ranting-ranting pohon tumbang yang menghalangi jalan, terlihat telah dikumpulkan rapi di sisi jalan. Pemandangan dari dalam jendela selalu berubah-ubah. Kadang hijau, kadang abu-abu. Kadang memancarkan keriangan, kadang mengundang kemurungan.

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Turun dari mobil, gue dan teman-teman langsung dihampiri oleh penduduk sekitar. Dengan senyum tulus, mereka menyalami kami satu persatu. Tidak ada yang terlewati. Pria dan wanita, semuanya berkumpul menyambut kedatangan kami dengan hangat. Teh manis hangat pun disediakan bagi kami. Dalam obrolan, gue mendapatkan informasi bahwa tempat di mana saat ini gue duduk dan menyesap teh manis berlokasi di tiga belas (13) kilometer dari puncak Merapi. Dan lo tau bahwa zona aman yang ditetapkan pemerintah adalah sejauh lima belas (15) kilometer dari puncak Merapi? Jujur saat itu gue kaget dengan penjelasan tersebut. Ya, gue dan teman-teman masih berada di zona berbahaya. Kepala dusun dan si empunya rumah, yang untuk sementara dijadikan Posko untuk para warga, menjelaskan bahwa beberapa rumah di sekitar lingkungan mereka jebol di bagian atap akibat tidak kuat menahan massa dari pasir dan abu yang bercampur dengan air. Dua rumah tetangga mereka bahkan rubuh dan hancur. Bila kami berani naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, seluruh rumah dan tanaman luluh lantak. Dan di kilometer lima (lima kilometer dari puncak Merapi), mereka menggambarkan bahwa lokasi itu seperti jalan tol. Lurus dan rata menuju ke bawah. Tak ada lagi yang tersisa. Beberapa rumah terisi dan tertimbun dengan pasir setinggi satu setengah meter. Banyak pula ditemukan tulang-belulang manusia dan juga hewan ternak. Gue bener-bener ngeri setelah mendengar penjelasan ini. Bisakah lo pada bayangkan bagaimana kalau rumah lo terisi dengan pasir setinggi satu setengah meter lebih? Gue yakin lo gak bakal bisa ngebayanginnya sebelum lo liat langsung.

Di lain tempat, di sebuah dusun yang terkena hembusan awan panas, gue juga ikut mengantarkan beberapa sumbangan dan bahan-bahan pokok untuk persediaan selama di pengungsian. Sesampainya di rumah salah satu warga yang ikut serta mengurusi distribusi bantuan, ia bercerita mengenai keadaan di lapangan. Menurutnya, apa pun yang diberitakan di dalam berita TV manapun dengan segala yang terjadi di pengungsian sangatlah berbeda jauh. “TV hanya memberikan berita-berita baiknya saja, seolah hanya ingin menjilat pemerintah. Sedangkan yang buruk pada akhirnya disembunyikan,” begitu kira-kira pemikiran bapak tersebut. Yah, gue gak bisa komentar banyak soal ini. Lagian, gue juga gak mau komentar juga. Soalnya emang gue gak ngerti hal-hal macam begini. Gak usah dipikirin, lah. Tapi, si bapak tersebut juga bercerita mengenai hal-hal yang positif. “Saya ini adalah salah satu pengurus Partai Merah. Tetangga saya di sebelah sana adalah pengurus Partai Biru. Dan kami untuk sementara mengkesampingkan perbedaan politik dan agama untuk bekerja sama menolong

sesama,” ujarnya sambil menghisap Gudang Garam-nya perlahan. Gue sengaja gak ngasih nama partai-partai yang disebutkan beliau. Bukannya alergi, tapi tulisan gue bebas dari urusan politik walaupun itu cuma nama partai doang. Setelah menaruh barang-barang di rumah bapak tersebut untuk disalurkan kepada yang membutuhkan, gue dan teman-teman berjalan menuju Kepala Dusun terdekat untuk menanyakan data-data mengenai pengungsi, korban, dan hal-hal terkait lainnya dengan bencana tersebut. Dalam perjalanan menuju ke sana gue kerap kali melihat seluruh atap rumah di dusun tersebut tertutup dengan abu tebal. Dedaunan di semua pohon terselimutkan debu. Tidak sedikit juga pepohonan yang tumbang. Dan di setiap langkah kaki, gue sama sekali tidak menginjak tanah merah, melainkan abu dan pasir tebal yang telah bercampur dengan air. Bisa dibilang, seluruhnya terselubung dengan abu dan pasir. Sesampainya di rumah Kepala Dusun, kami disambut dengan segala kesederhanaan. Tampak tiga orang anak sedang menikmati sore hari dengan menonton kartun di TV. Yah, lebih baik dibandingkan menonton berita-berita hiperbola yang menyesatkan. Sang Kepala Dusun pun selalu menjawab apa pun yang ditanyakan kepadanya. Mulai dari data pengungsi, kebutuhan mereka, dan seterusnya. Setelah puas dengan jawaban-jawaban yang kami dapat, akhirnya kami undur diri. Perjalanan lalu kami lanjutkan menuju Posko pengungsi, tidak jauh dari dusun. Sekitar lima belas menit kami menyusuri jalan dengan menggunakan mobil pick-up. Tiba di lokasi, gue melihat sebuah rumah yang cukup besar, tapi tidak cukup besar untuk menampung para pengungsi. Seingat gue, awalnya ada seratusan pengungsi yang menginap di rumah itu dan sekarang berkurang menjadi sekitar tujuh puluhan karena mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing untuk melihat keadaannya atau membersihkannya bila dimungkinkan.

Gue juga ingat dengan pengalaman gue ke (lagi-lagi gue gak yakin dengan nama desa atau dusun tersebut, sebut saja…) Jarakan. Jarakan inilah yang terletak di tiga belas kilometer dari puncak Merapi. Gue sudah cukup bercerita banyak soal ini. Tapi, ada sebuah cerita yang lucu sekaligus mengenaskan ketika kami mengobrol sambil menyeruput teh panas dan menghisap rokok. Ketika Sang Wedhus Gembel turun dengan kecepatan sedemikian rupa, seorang warga dari dusun setempat mengalami kepanikan yang luar biasa. Di tengah kepanikan tersebut ia teringat kepada anaknya yang masih tertidur di kamar. Dia langsung menghambur ke dalam kamar anaknya dan bermaksud menggendong anaknya yang tergolong masih balita kemungkinan. Ia pun masih sempat memasukan bantal yang digunakan anaknya untuk tidur ke dalam lemari pakaian. Setelah memastikan si anak tertata rapi di punggungnya dengan diikat selendang, ia pun langsung berlari ke dataran rendah menuju tempat pengungsian. Sesampainya di tempat pengungsian, setiap orang memandangnya dengan heran. Akhirnya ia tersadar setelah mencoba menurunkan si anak dari gendongan di punggungnya. Ternyata, ia membawa bantal untuk tidur si anak dan malah memasukkan si anak ke dalam lemari pakaian. Si warga pun langsung berlari kembali naik ke atas menuju rumahnya untuk mengambil anak balitanya. Cerita selanjutnya, tidak ada lagi yang mengetahui nasib keduanya. Cerita “lucu” lainnya adalah, adanya sebuah saran petunjuk dari seorang petuah. Bahwa binatang lebih mengetahui dan mempunyai insting untuk “meramalkan” bencana yang akan terjadi dan memiliki cara untuk mengantisipasinya. Caranya adalah dengan mengikuti macan-macan Merapi yang turun dari lereng gunung. Kemana mereka pergi, ikuti perlahan-lahan dari belakang. Niscaya itulah tempat yang paling aman yang

bisa ditinggali. “Tapi, ada seorang tua yang tinggal di dekat dusun ini. Begitu melihat si macan yang keluar dari hutan di kaki Merapi, langsung “pek”! Pingsan seketika,” ujar si bapak pemilik rumah yang langsung disambung dengan derai tawa.

Lain lagi dengan Posko di daerah Suketi. Di posko inilah pertama kalinya gue menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehancuran yang diakibatkan oleh kekuatan alam. Pertama kalinya juga gue menyaksikan tumbangnya pepohonan dan atap-atap yang tertutup debu tebal. Seluruhnya berwarna kelabu. Ketika kami diterima oleh salah satu pemilik rumah di dusun tersebut (dan seperti biasa, gue dan teman-teman disuguhi teh manis. Obrolan-obrolan mengenai bencana dan penanggulangannya mengalir begitu saja. Ada juga sebuah cerita menarik di posko tersebut. Setelah meletusnya Gunung Merapi, setiap orang seolah berlomba-lomba untuk mencari tempat untuk mengungsi. Namun, sekelompok warga yang berasal dari Boyolali berdatangan ke desa Suketi tersebut. Tentu mereka diterima dengan tangan terbuka. Dan setelah waktu terus berlalu, ada sebuah kejadian dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan masyarakat dusun tersebut. Bukan bermaksud untuk menyamaratakan seluruh warga di tempat tertentu. Ternyata sekelompok warga Boyolali belum terbiasa untuk buang hajat di MCK atau toilet bersih. Akhirnya mereka membuang baik air besar maupun air kecil di sembarang tempat dan menimbulkan aroma tak sedap yang hebat di sekitar Posko.

Beberapa warga Jawa masih meyakini bahwa bencana meletusnya Merapi bukanlah bencana. Mereka meyakini sebuah pandangan yang secara turun temurun diceritakan, bahwa Merapi menagih janji. Cerita yang gue dapet sekilas adalah adanya perjanjian antara pihak Keraton Yogyakarta dengan “pihak” Gunung Merapi dan “pihak” Pantai Selatan. Entah apa perjanjian

apa yang mereka buat, gue kurang mengerti dengan mereka yang bercerita dengan Bahasa Jawa. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa ia mendengar suara ‘Jatilan’ melewati sebuah sungai besar (yang lagi-lagi gue lupa namanya). Bagi lo pada yang gak tau apa itu ‘Jatilan’, lo pada bisa cari di Google. Bagi lo yang males buka-buka Google, Jatilan itu adalah sebuah kesenian Kuda Lumping. Tau Kuda Lumping, ‘kan? Yang suka makan beling gara-gara si pengendaranya mengalami trans akibat kerasukan. Well, balik lagi ke topik. Seorang warga pada pukul dua pagi mendengar suara Jatilan melintasi sungai besar tersebut. Bagi mereka yang bisa “melihat”, konon ‘Jatilan’ tersebut beriringan berjalan bersama sekelompok pasukan menuju Gunung Merapi dari arah Pantai Selatan. Dan bagi mereka yang tidak bisa melihat, mereka akan hanya melihat lahar merah mengaliri sungai menggantikan air. Katanya, pasukan tersebut dikirim oleh Ratu Pantai Selatan menuju Gunung Merapi untuk merundingkan sesuatu bersama pihak dari Keraton. Sounds spooky, huh?

Cerita terbaru yang gue dapet adalah, sebelum dan pada tanggal 15 atau 16, menurut penanggalan Jawa, Gunung Merapi akan meletus hebat dan efeknya akan mencapai radius lima ratus (500..!!!) kilometer. Namun, bila melewati tanggal tersebut, Gunung Merapi akan kembali diam dan tidak akan meletus hebat lagi. Yah, gue sih cuma membeberkan cerita-cerita yang gue dapet. Buat hal-hal yang berbau mistik, gue gak bisa bilang gak percaya atau percaya. Inti dari cerita-cerita mistik yang gue dengar adalah, alam membutuhkan sebuah keseimbangan. Manusia yang mengambil sebaiknya tidak lupa pada, siapapun Dia. Berikanlah apa yang menjadi hak-Nya. Bila tidak, maka alam akan mengambil seluruhnya dari kita. Bukan sebagai hukuman, namun sebagai konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Ketika kita lupa pada-Nya, kita akan diberikan peringatan untuk kembali mengingat kebesaran-Nya. Dialah pemilik segalanya. Dan ketika keseimbangan telah terjadi, maka akan tercipta sebuah harmoni yang

indah. Lagipula, Gunung Merapi toh pada akhirnya akan memberikan sebuah hadiah hebat. Tanah-tanah di sekitaran Merapi diyakini akan menjadi semakin subur akibat tersiram materi-materi vulkanik. Kehidupan petani pun akan menjadi semakin makmur. Seperti yang sering dikatakan oleh banyak orang. Di setiap bencana, pasti kita dapat mengambil hikmahnya.

Dan dari seluruh pengalaman gue yang berbekas di kepala, sebuah pemandangan hebat terjadi di hari di mana gue berkunjung ke desa/dusun/kecamatan Babadan. Pertama kali adalah ketika si bapak yang menerima kami di rumahnya, yang menyatakan “perbedaan politis yang dikesampingkan” demi menolong sesama. Lalu kedua kali, gue melihat salib tergantung di rumah yang digunakan untuk posko pengungsi. Namun, di dalam rumah itu tidak sedikit para wanita berkerudung, mulai dari anak kecil hingga dewasa. Mereka terlihat nyaman di dalam rumah. Tidak mempersoalkan salib yang tergantung di salah satu sisi tembok putih itu. Kesimpulan yang gue dapat adalah, bencana mempersatukan kita. Bencana menghilangkan perbedaan. Namun haruskah kita menunggu datangnya bencana hebat untuk sekedar melupakan segala perbedaan ras, agama, bahasa, dan pandangan politik. Kalau tidak bisa, jangan heran ketika bencana terus-menerus datang. Bukan karena kita tidak ingin bersatu, tapi justru karena alam ingin kita bersatu.

Dialog Imajiner Mbah Surip - Mbah Maridjan

Oleh: Rudi Setiawan

Mbah Surip, sedang asyik memainkan gitarnya di bawah rindang pohon Zaitun, ditepi sebuah danau yang jernih berkilauan airnya. Wajahnya kelihatan tampan dan jauh lebih muda, senyumnya masih seperti sediakala, bahkan nampak lebih cerah dan indah.

Tiba-tiba datanglah mbah Marijan diantarkan malaikat-malaikat rahmat lewat di depannya. Dengan segera mbah Surip berdiri lalu dengan takzim menyapa mbah Marijan. Lalu terjadilah dialog antara keduanya.

Mbah Surip: “Mbah Marijan, sugeng rawuh wonten panggenan punika, I Love You Full Mbah!" ( Selamat datang di tempat ini, I Love You Full mbah)

Mbah Marijan: “ Lho, sampean ugo manggen teng mriki to mbah Rip ?” (Lho, anda juga berada ditempat ini mbah Rip)

(Sambil tertawa lepas, lalu keduanya berpelukan untuk beberapa saat kemudian mereka berdua duduk berdua di bawah rindangnya pohon Zaitun itu)

Mbah Surip: "Pripun mbah, kabaripun sae-sae kemawon to?” (Bagaimana kabarnya mbah, baik-baik saja kan )

Mbah Marijan: "Alhamdulillah, apik-apik wae cuman rodok ribet titik wektu interogasi neng treteg Shirathal Mustaqim." (Alhamdulillah baik-baik saja, cuma agak sedikit ribut sewaktu proses interogasi di jembatan Shirathal Mustaqim).

(Untuk menyingkat kata dan kalimat dialog selanjutnya langsung diterjemahkan dalam bahasa Indonesia)

Mbah Surip: "Kenapa kok ribut mbah?”
Mbah Marijan: "Lha nggak tau itu para malaikat, saya dianggap tidak berhak masuk ke sini, karena dituduh syirik."
Mbah Surip: "Memangnya malaikat sudah ketularan sama manusia ya, dikit-dikit bilang sesat, dikit-dikit bilang bid’ah, dikit-dikit bilang syirik, mencaci laknatullah dan sebagainya!"
Mbah Marijan: "Lha iya malaikat kan juga hanya menilai sisi-sisi prilaku dan ibadah luar kita, sedangkan masalah hati dan jiwa kita kan yang tahu cuman Gusti Allah.” (sambil tersenyum ringan)

Mbah Surip: "Bagaimana critanya panjenengan akhirnya bisa lolos, mbah?”
Mbah Marijan: "Ya akhirnya Gusti Allah yang berfirman memerintahkan malaikat supaya memasukan saya ke sini."
Mbah Surip: "Ooo, begitu ya mbah ceritanya, I Love You Full mbah, Ha ha ha!” (mbah Surip tertawa lepas).
Mbah Marijan: "Ketika di duniapun sama, orang-orang pandai menuduh saya ini tahayul, klenik dan mistik, demikian juga orang-orang (yang merasa) ahli agama menuduh saya ini musyrik, bid’ah, sesat, saya diam saja, wong mereka kan nggak tahu apa yang tersembunyi dalam hati saya, he he he.” (mbah Marijan tersenyum lagi)

Mbah Marijan: "Mereka nggak bisa membedakan antara menghormat sebagai rasa sayang dan menghargai alam sabagai bagian dari karya agung Gusti Allah, dengan menyembah atau memberhalakan benda-benda sebagai sekutu Gusti Allah."

Mbah Surip: "Kok bisa gitu mbah?”
Mbah Marijan: "Padahal semua yang saya lakukan itu kan sebagai rasa hormat saya dan penghargaan saya terhadap alam Gunung Merapi, sebagai bagian karya agung Gusti Allah yang wajib kita rawat dan kita jaga, karena fungsi manusia itu selain menjaga khablun minallah dan khablun minannas kan juga khablun min ‘alamiin. (hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta) kalo dalam falsafah jawa dikenal prinsip Memayu Hayuning Bawana atau menjaga keseimbangan alam dunia ini atau dalam bahasa modernnya bersinergi dengan alam."

Mbah Surip (manggut-manggut sambil menyeruput kopi hitam yang harumnya dan lezatnya melebihi kopi hitam kesukannya sewaktu di dunia)

Mbah Marijan: "Ya itulah mbah Surip, manusia kan selalu menilai sesuatu dari sisi luarnya saja sedangkan perkara hati kan urusan kita dengan Sang Maha Tahu yakni Gusti Allah.”

Mbah Surip: “Betul itu mbah, manusia yang sok pinter dan sok suci itu sering kali lupa bahwa mereka lah yang sesungguhnya terjebak dalam kemusyrikan."
Mbah Marijan: "Iya mereka nggak sadar bahwa dengan merasa diri paling benar, paling suci, paling hebat itu sama halnya dengan memberhalakan diri sendiri atau menyekutukan Gusti Allah dengan diri mereka sendiri."
Mbah Surip : "Ha ha ha aneh memang para manusia itu mbah, wong maling kok teriak maling, wong diri mereka sendiri yang syirik kok menuduh orang lain yang syirik."

(lalu merekapun tertawa lepas)

Mbah Marijan: "Lha sampean juga kok bisa masuk kesini mbah Rip, sebab kalo nggak salah saya juga pernah dengar dari manusia-manusia yang sok suci itu, kata mereka penyanyi itu tempatnya di neraka."
Mbah Surip: "Ha ha ha, kita berdua ini sama-sama korban tuduhan para manusia yang nggak faham fungsi kemanusiaanya mbah, mereka kira ibadah itu cuman, sholat, zakat, puasa, haji, sedekah atau ibadah-ibadah ritual lainnya. Mereka memahami agama secara kaku, tekstual dan dogmatis, padahal lagu itu juga bisa kita gunakan untuk media berdakwah, berdzikir kepada Gusti Allah, kita bisa menebar virus cinta kepada sesama manusia lewat lagu dan nyanyian."

Mbah Marijan: "Ooo, berarti sampean bisa masuk kesini karena menebarkan virus cinta kepada sesama manusia lewat lagu-lagu sampean ya mbah Surip?”
Mbah Surip: "Ya kira-kira begitu menurut penilaian Gusti Allah, mbah."
Mbah Marijan: "Alhamdulillah, berarti kita berdua termasuk golongan manusia yang mampu menebarkan virus cinta tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga terhadap alam semesta."
Mbah Surip: “Betul mbah, I Love You Full, Gusti Allah!” (Mbah Surip kembali tertawa lepas)

Mbah Marijan: "I Love You Full juga, Gusti Allah!” (Mbah Marijan juga tertawa lepas mengiringi tawa mbah Surip).

Kemudian mereka melanjutkan perbincangannya sembari menikmati kopi-kopi hitam yang keharuman dan kenikmatannya tiada tara. Diiringi kicau-kicau merdu burung-burung yang hinggap di dahan-dahan pohon Zaitun. Dan desiran angin pagi sejuk semilir menambah indahnya pemandangan di tepi danau itu.

Doha, 28 Oktober 2010

Rudi Setiawan, Lahir, Kertosono- Jawa Timur, 02 Juni 1976 aktif menulis artikel di www.kompasiana.com, serta cerpen dan puisi yang di share lewat facebook maupun media online lainnya, saat ini sedang bekerja sebagai TKI di Doha, Qatar.
Alamat email: rudiseti@yahoo.com dan rudisetiawan1976@gmail.com

One Day Trip To Bandung

Hari Minggu, tertanggal 24 November kemarin, gue beserta keluarga bergerak menuju Kota Kembang, Bandung, untuk hadir di acara pernikahan keponakan perempuan gue. Pukul 4 dini hari, gue sudah terbangun dan berkeliaran di dalam rumah. Setelah meminum susu dan bersarapan ria dengan memakan apa pun yang ada di meja makan, gue membangunkan nyokap yang masih tertidur pulas di samping bokap. Mereka memang minta buat dibangunkan sekitar jam 4-an. Nyokap memang harus bangun duluan, karena seperti mayoritas perempuan yang ada di belahan dunia mana pun, sebuah “upacara” demi membersihkan muka supaya tampak lebih segar dan cemerlang harus dilaksanakan. Bokap masih tergeletak di atas kasur. Guling di sampingnya tampak terabaikan. Jam 4 lebih 10 menit, akhirnya nyokap memulai rangkaian acara pribadinya. Sibuk bolak-balik, lalu berhenti sejenak di tempat rias, lalu kembali ke dapur menyiapkan bekal perjalanan. Padahal, segala keperluan yang harus dibawa sudah lengkap dan siap diangkut ke dalam mobil. Tapi, entah mengapa, ibu rumah tangga yang satu ini begitu rempongnya sampai-sampai mengurusi barang bawaan gue dan menanyakan apakah sikat gigi gue sudah dimasukkan ke dalam atas atau belum. Lucu. I love her very much.

Ketika waktu sudah menunjukan pukul 4.30, giliran bokap yang beranjak dari tempat tidur. Kalo bokap beda lagi. Setelah dia membuka mata, dia upacara yang dia lakukan adalah duduk selama sekitar 10 menit di atas tempat tidur, lalu turun sambil mencari sandal dan langsung menuju toilet. Di situlah “upacara”-nya berlangsung. 10-15 menit biasanya acara wajib ini berlangsung. Bahkan kadang nyokap sampai marah dan ngomel gara-gara bokap kelamaan di toilet. Selepas dari toilet, rambut bokap sudah tersisir rapi dan bau naga dari mulut pun sudah hilang. Celana jeans panjang yang menggantung di balik pintu langsung dipakainya dan dengan cueknya mencari kaos oblong putih dari lemari pakaian dan langsung dikenakannya. Dan langsung ia teriak, “KAATTT…!!!”. Kependekan dari kata “berangkat”. Sebenarnya itu cuma caranya untuk menggoda nyokap supaya nyokap tambah panik dan akhirnya malah emosi sama bokap. Hahaha..!!! I love my old-man.

Dan jam dinding pun akhirnya menunjukan pukul 5 pagi. Barang-barang dan segala macam pernak-perniknya sudah masuk ke dalam mobil. Gue, bokap, dan nyokap akhirnya meluncur menuju jalanan Jakarta yang masih cukup sepi. Sepi dan dingin akibat diguyur hujan rintik-rintik. Sebenarnya, gue masih ngantuk berat akibat kurangnya waktu tidur gue semalam sebelumnya. Bukan kurang tidur sebenarnya, tapi tidak tidur sama sekali. Gue ngotot buat memegang kemudi karena gue gak tega dengan my old-man. Masa iya dia harus nyetir Jakarta-Bandung. Padahal, dia sudah kecapekan karena Sabtu pagi diharuskan untuk bolak-balik Jakarta-Depok demi mencari sesuap nasi. Sekarang adalah giliran gue buat menyetir. Melihat jalanan yang sepi, bokap tidak merekomendasikan buat masuk tol di Semanggi. Dia menyuruh gue untuk melaju terus sampai ke arah Cawang dan mengarahkan gue untuk masuk tol di situ. Setelah masuk tol, mobil Mitsubishi Kuda langsung gue tes kemampuan, selain karena gue buru-buru pengen sampai di tujuan karena lelahnya mata gue. Jarum di speedometer hampir tidak pernah lepas dari angka 160 dan 140. Mulai dari tol lingkar luar sampai Cipularang, semuanya gue panteng kecepatan tersebut. Bokap sepertinya sedikit ketar-ketir dengan gaya nyetir gue. Kalo nyokap, yang duduk di belakang, sepertinya lebih ke arah sikap “terima nasib”. Dia malah tertidur lelap. Dengan doping Minute Maid Pulpy Orange dingin, mata dan mental gue berhasil terjaga. Bokap selalu mengajak ngobrol gue. Mungkin dia tahu kalo gue memang sedikit mengantuk. Well, perjalanan memang masih (sedikit) panjang.

Akhirnya gue keluar dari tol Cipularang. Dan beberapa kilometer lagi, gue sekeluarga akan tiba di Bandung. Bokap langsung mewanti-wanti untuk memperlambat kendaraan, karena sesaat lagi kami harus keluar tol. Tulisan “Pasir Koja 1 km” di papan hijau raksasa dengan panah menunjuk ke pojok kiri bawah mengingatkan gue untuk segera bersiap-siap. Setelah memperlambat kendaraan dan mengambil jalur kiri, akhirnya gue keluar dan memasuki kota Bandung. Setelah mematikan AC, dengan segera gue menurunkan kaca jendela dan dengan yakinnya menghirup dalam-dalam udara Bandung. Yah, tidak sesegar dulu, tapi masih lebih segar dibanding Jakarta yang sudah penuh dengan polusi beracun. Dan ternyata, gue masih ingat jalan menuju tempat saudara gue, walaupun sedikit samar-samar. Agak kaget dan kagum terhadap memory gue. Yang ngebuat gue kagum adalah karena gue sudah lebih dari 8 tahun gak pernah menginjakkan kaki di rumah saudara gue. Rumah saudara gue sebenarnya adalah rumah dari almarhum nenek gue dan akhirnya ditempati oleh saudara gue, yang biasanya gue panggil dengan sebutan oom. Walaupun sebenarnya dia adalah kakak ipar dari nyokap gue. Suami-istri ini sudah cukup lama menempati rumah peninggalan nenek gue. Dan akhirnya gue tiba di rumah yang terletak di gang ini. Banyak kenangan tertinggal dan tersimpan di rumah ini. Mulai dari yang baik hingga yang buruk, semuanya tertata rapi di dalam setiap kamar. Ah, gue bener-bener kangen dengan suasana rumah ini. Sayang gue cuma bisa sebentar saja menikmati segala kenangannya.

Mobil segera gue parkir di pinggir jalan dekat dengan mulut gang. Barang-barang dan tas gue raih semampu tangan gue mampu membawanya. Kaki gue menapaki gang sempit. Gang Pagarsih namanya. Oom Polok ternyata sudah menyambut gue di depan gerbang pintu. Segera saja gue masuk dan menaruh tas serta segalanya di salah satu kamar. Setelah gue membersihkan diri di kamar mandi dengan air yang luar biasa dingin, gue akhirnya terduduk di ruang keluarga. Udara dingin alami di dalam ruangan jarang sekali gue rasakan, kecuali di Bandung. Gak sengaja, gue ngeliat jam di dinding dan.. Wow..!!! Jam menunjukan pukul 6.45. Sinting..!! Gue gak pernah nyetir Jakarta-Bandung dengan hanya menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Dan kekaguman gue akan diri sendiri pun akhirnya runtuh akibat pinggang gue yang mulai merasa sakit. Bokap yang seakan masih segar-bugar segera berjalan ke depan gang bersama Oom Polok untuk membeli ketoprak yang selalu mangkal di sana. Gue yang sama sekali nggak punya nafsu untuk makan menolak untuk dibelikan. Walaupun begitu, gue akhirnya menghabiskan ¾ porsi bokap. Perut emang gak bisa bohong. Otak doang yang bisa nipu. Selepas gue dari ketoprak, gue langsung melarikan diri ke kamar terdekat untuk.. TIDUR..!!

Terbangun dari tidur panjang (jam 8 pagi sampai jam 4 sore), di meja makan telah tersuguhi berbagai macam lauk. Mulai dari ayam opor sampai sambal goreng ati. Damn..!! Saatnya pestaaaa… Gue makan dengan tak terkirakan. Seolah gue mengatakan “Persetan dengan dunia luar”. Bukan bermaksud apa-apa, tapi baru kali ini gue merasakan lapar yang teramat sangat. Mungkin agak hiperbol gue menggambarkannya. Tapi, ternyata gue sudah diburu waktu. Setelah makan dan cuci piring sendiri, gue harus buru-buru ganti baju. Acara pernikahan keponakan gue akan segera dimulai. Di undangan sih tertera jam 6 sore. Tapi, berhubung gue dan keluarga tidak berniat untuk menginap, akhirnya kami harus menerapkan sistem: datang => makan => basa-basi => pulang. Setelah gue bersiap-siap dan memakai batik biru yang tampak terlalu besar di badan gue, ternyata gue mendapat berita jelek. Nyokap terlalu lelah untuk ikut ke acara pernikahan. Kepalanya terasa sakit dan mengharuskannya untuk istirahat. Well, apa mau dikata. Daripada diforsir dan akhirnya malahan jelek, akhirnya gue pergi bersama bokap, oom, dan kedua kakak nyokap. Gue yang buta jalanan Bandung segera dituntun oleh oom Polok dengan sigapnya. Jalanan kebetulan memang sepi dan tidak macet. Kami semobil menuju Hotel Cemerlang, tempat acara diselenggarakan.

Singkat cerita, gue uda sampai di lantai tiga Hotel Cemerlang. Di sinilah cerita berlangsung sedikit menarik. Gue bertemu dengan seorang perempuan, yang menurut standar kelayakan gue setelah studi banding di Paraguay dan beberapa negara, termasuk dalam daftar “Top Ten Most Beautiful Girl”. Dengan kebaya coklat dan rambut panjang yang sengaja digerai menutupi pundaknya, dia berdiri sebagai pagar ayu di pintu masuk. Gue seolah terhipnotis olehnya. Gue gak sadar kalo gue terus menerus beranjak meninggalkan bokap gue yang masih sibuk mengisi buku tamu dan berbincang dengan si penerima tamu, yang juga saudara gue. Kedua mata seolah menolak untuk mengalihkan pandangan darinya. Gue menyalami saudara-saudara gue yang berdiri sebagai penyambut tamu, berbasa-basi sedikit sambil menanyakan nyokap yang sedang tertidur lelap di rumah, mata gue masih tertuju ke gadis itu. Akhirnya tiba juga gilirannya untuk gue salamin. “Makasih, ya.” Logat sunda masih kental di perkataannya. Di moment setelah salaman inilah gue berasa aneh. Dia tiba-tiba menanyakan keadaan nyokap dan bokap. Hmmm… Kok dia bisa kenal bokap-nyokap, sedangkan gue nggak kenal orang tuanya. Bokap yang ternyata sudah rampung mengurusi ang pao dan buku tamu akhirnya menghampiri gue dan cewek ini. Bokap pun juga menyalaminya dan kali ini sambil menyapa dengan nama. What the…??? Kok bokap kenal, sedangkan gue.. Tanpa tedeng aling-aling, setelah barisan pagar ayu itu selesai, gue langsung mewawancarai bokap soal percakapan aneh barusan. Sambil cengar-cengir, bokap cuman bilang, “Dia keponakan kamu.”

Wedding kiss, lempar bouquet, dan pemotongan kue telah terlewati. Acara makan malam pun diselenggarakan. Gue segera mengambil nasi beserta lauk pauknya tanpa malu-malu. Keluar dari antrian, gue bertemu kembali dengan cewek ini. Obrolan basa-basi digelar dan berlangsung dengan tidak adil. Dia manggil gue dengan sebutan nama, karena dari awal gue sudah melarangnya untuk manggil dengan sebutan “oom”. Sounds like I’m a gigolo, aren’t I? Namun sayangnya, gue sama sekali tidak tau namanya. Ngobrol dengan topik gak jelas terus berlangsung. Tiba-tiba, sekelebat suara dari arah belakang melewati telinga gue. Dan suara itu sama sekali gak asing. “Namanya Aline,” ujar suara baik namun terdengar licik tersebut. Yap, dia salah satu kakak sepupu perempuan gue. Dan langsung saja dia menghampiri keluarga gue yang sedang berkumpul dan menggosipkan gue. Ohmaigat..!! Okeh, gossip pun beredar di kalangan keluarga. This is what I don’t like. But, still I can accept it. Aline pun cuma bisa tersenyum kecil. Sambil menikmati sepiring spaghetti, dia tetap mengajak ngobrol gue seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi di kalangan keluarga. Akhirnya, obrolan pun terhenti. Gue dipanggil bokap untuk segera pulang. Waktu memang sudah cukup malam, selain nyokap yang juga lagi terbaring sakit. Gue pun langsung menyempatkan diri untuk meminta nomernya dan sekali lagi gue dibuat terkejut. “Bokap lo uda ngasih nomer lo ke gue, kok.” WHAT THE HELL..!!! Bokap gue ternyata sudah secara gerilya menjodohkan gue. Argh.. Gue berasa hidup di jaman Siti Nurbaya. Tapi, gapapa. Untung ceweknya cantik. “Okelah kalau begitu. Berarti lo yang nelpon gue,” sambil sedikit menahan tarikan di tangan dari kakak sepupu gue. Aline hanya melemparkan senyum. Aaaaahhhh….!!! Hati gue meleleh, Jek..!! Sori.. Sori.. Sori, Jek…

Pukul 20.00. Pendek cerita, gue, bokap, nyokap, dan kakak nyokap sudah siap untuk pulang ke kandang. Kembali gue yang memegang kendali mobil. Dan kali ini, sejujur-jujurnya kondisi tubuh gue bener-bener bisa dibilang hampir menyerah. Mata gue beberapa kali sudah hampir menyerah dan akhirnya sampai di titik di mana kejadian ini sama sekali gak boleh terulang lagi. Gue lupa di kilometer berapa, tapi yang pasti gue masih berada di tol Cipularang. Dan lo tau, gue tertidur selama ½ detik. Gue langsung kaget, sekaget-kagetnya dan gue langsung reflek untuk melepas gas. Creepy as shit. Bokap gue sepertinya nggak sadar dengan kejadian barusan. Sejak itu, jok mobil langsung gue tegakkan. Lumayan untuk menopang punggung dan pinggang supaya bisa lebih berkonsentrasi. Selepasnya dari tol Cipularang, akhirnya gue berhenti sejenak di tempat peristirahatan, sekalian buang air kecil. Keluar dari toilet, gue langsung cuci muka dan menyalakan sebatang rokok serta menenggak doping, mizone. Sayang nggak ada kratingdaeng. Sepuluh menit gue merokok, gue bergegas balik ke mobil. Ternyata bokap dan nyokap masih di toilet. Beberapa saat kemudian, bokap-nyokap kembali dan langsung menaiki mobil. Gue langsung tancap gas, keluar dari tempat peristirahatan, menuju Jakarta. Kecepatan gue stabilkan antara 80-100 km/jam. Kondisi badan yang tegak, wajah yang telah tersapu air, aliran darah yang teracuni nikotin, serta otak yang sudah terdoping mizone, sedikit membantu gue untuk menyelesaikan perjalanan. Hati gue semakin lega dan gembira ketika gue membaca tulisan “Cawang-Grogol” di papan hijau rambu jalan.

Mampir di pom bensin Slipi, seluruh penghuni mobil, kecuali gue, tertidur dengan lelapnya. Capek. Setelah selesai mengisi bensin, gue langsung melaju menuju Taman Kedoya Baru. Ah.. Home sweet home. Mitsubishi Kuda pun akhirnya kembali ke kandangnya. Gue dan anggota keluarga yang lain bergegas menurunkan seluruh barang bawaan beserta oleh-oleh. Dan kejutan lagi. Gue mendapat SMS dari nomor yang gue nggak kenal. “Udah sampai Jkt? Langsung istirahat aja. Besok aja kalo mau nelpon. (Aline).”

Tidur gue langsung nyenyak, senyenyak-nyenyaknya.

No Title

Sometimes, when you can't write, you may found a song that completely represents you, describes your feeling and your mind.

Today, I can't figure out any words for the explanation of my souring soul. Hopefully, you guys may understand it by hearing this song.

Enjoy

Day One Of Java Rockin' Land

Berawal dari hari Jumat kemarin hingga hari Minggu, gue berkesempatan untuk hadir di sebuah event yang menyatukan musik rock, yang sempat diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Dari hari pertama gue hadir di acara yang berlokasi di Pantai Carnaval Ancol tersebut, gue sudah terkagum-kagum. Pantas saja sang pioneer dari acara ini, Peter F. Gontha, berani mengklaim bahwa ini adalah konser rock terbesar se-Asia Tenggara. Seluruh lahan, yang gak bisa gue perkirakan luasnya, terpakai semuanya untuk melayani nafsu birahi para penggemar musik rock Indonesia. Band-band yang menyajikan berbagai musik rock berkumpul dan menyajikan penampilan terbaiknya. Bahkan ada beberapa musisi rock yang kurang terkenal di telinga gue ikut hadir menyemarakan acara ini. Musik-musik aneh dari para musisi yang bergerak tanpa disadari penikmat musik mayoritas Indonesia ternyata cukup membuat gue terkesima. Di tengah gelombang tsunami musik-musik aliran melayu dan lagu-lagu bernada cengeng yang berkisah soal patah hati, musisi ini dengan tegapnya bangga mengusung idealism pribadi. Dengan lantang mereka bernyanyi tanpa peduli. Dan suara-suara percaya diri itu ternyata bak gayung bersambut. Crowd pun bersedia mendengarkan musik yang terkadang asing di telinga mereka. Sebuah bentuk penghargaan yang luar biasa terhadap musik anti mainstream tersebut. Sebuah atmosfer yang luar biasa.

Event ini dimulai dengan menampilkan grup band Amazing On Bed. Ini kedua kalinya gue menonton grup band ini. Dengan mengusung jenis musik female-vocalist-rock, mereka mendendangkan lagu-lagu yang masih asing bagi mayoritas pengunjung namun familiar bagi telinga segelintir penggemarnya. Rock bertenaga dan kualitas apik dari sang female vocalist berhasil, setidaknya, menggoda para penonton untuk sedikit ber-headbanging ria. Setelah membawakan beberapa lagu andalan, sang gitaris bertato yang memang sedikit mempunyai tingkah nyeleneh pun menyampaikan sedikit “pidato”. “Saya meminta maaf sebelumnya, karena di sini saya memakai gitar Eddie Van Halen, walaupun permainan saya seperti Eddy Silitonga.” Banyolan itu pun langsung ditimpali dengan tawa dari crowd yang berkumpul dan senyum dari teman-teman seperjuangannya di atas panggung. Setelah itu, telinga penikmat musik kembali dihajar dengan musik pop-rock memikat. Dan akhirnya mereka pun masuk ke panggung setelah menyelesaikan list lagu yang tersembunyi di balik speaker monitor. Tepuk tangan dari mereka yang menghargai karya rock underground mengiringi ayunan kaki anggota band ke dalam panggung.

Dari situ gue dan temen cewek gue beristirahat sejenak, lalu langsung menuju panggung selanjutnya. Rocket Rockers adalah tujuan berikutnya. Walaupun gue kurang mendengarkan musik-musik mereka, tapi gue mempunyai sebuah keingintahuan untuk sekedar mendengarkan musik non-melayu dan non-cinta-cintaan. Sesampainya gue di sana, ternyata alam berkehendak lain. Ketika mereka sedang melakukan check-sound, awan gelap yang menggantung sejak tadi akhirnya meluapkan air yang seolah sudah melampaui batas volume. Kontan, seluruh penonton yang sudah setia berkumpul demi menonton penampilannya langsung berhamburan mencari tempat berteduh. Ah, sayang. Padahal gue udah cukup sabar untuk menantikan penampilan mereka. Alhasil, Rocket Rockers pun gagal menyajikan penampilan terbaiknya. Sambil menunggu redanya hujan yang berkecamuk kejam, gue dan teman gue numpang di tenda booth milik minuman keras Jack Daniels. Di situ gue bertemu dengan sekumpulan musisi underground Indonesia. Vokalis Superglad terlihat bersantai ria sambil menyesap seloki Jack-D. Dan beberapa orang yang sedang mengobrol dengan gitaris band yang gue gak tau namanya (dan gue bakal dicerca sama temen gue karena gak meminta foto bareng atau tanda-tangan dari semua rock star yang sedang berkumpul itu). Setengah jam berdiri sambil mengobrol dan menggosip membuat pinggang gue berteriak. Akhirnya hujan pun mereda. Gue dan teman gue berjalan menyusuri tanah-tanah becek berpasir dan belumpur. Namun, semangat gue mengalahkan segalanya. Gue berniat untuk menonton keseluruhan performance dari band-band yang jarang sekali gue tonton.

Akhirnya, gue berdua melangkah ke main stage. Panggung terbesar di antara panggung-panggung lain yang berdiri di wilayah Pantai Carnaval. Performer selanjutnya adalah sebuah band yang malang melintang di dunia musik dan gue baru mengenalnya ketika gue SMP. Band yang segera menjadi legenda musik Indonesia, /rif. Dikomandoi oleh sang vocalist Andy, dan para gitarisnya, Jikun dan Ovy, mereka langsung menghentak panggung besar itu. Penonton langsung bersorak kegirangan mendengar raungan gitar dan teriakan sang vocalist. Tak ingin kalah, Magy pun memukul drumnya dengan penuh tenaga. Penonton pun semakin bersorak. Bukti sebuah kerinduan para pecinta musik rock Indonesia, Jakarta khususnya. Beberapa lagu yang terdengar familiar mengalir tanpa henti dan lompatan bersemangat segelintir orang di tengah kumpulan manusia berbaju hitam tampak mengikuti irama musik. Tak sedikit juga yang ikut menyanyikan lagu-lagu dari band itu. Gue dan teman gue hanya bisa berdiri di deretan paling belakang. Namun, gue masih bisa merasakan aksi penuh tenaga dari band ini. Lagu terakhir yang gue ingat sebelum gue beranjak menuju Dome Stage untuk menyaksikan Gugun Blues Shelter adalah lagu yang seringkali gue bawain ketika gue masih aktif nge-band bareng temen-temen SMA, “Loe Tu Ye”. Bibir seakan gak mampu menahan birahi untuk ikut menyanyikan lagu wajib masa SMA. Yang gue heran, ternyata gue masih hapal dengan sempurna keseluruhan syair dari lagu tersebut. Gue terkesan sama diri gue sendiri.

Di tengah-tengah show yang memang belum selesai, gue dan teman gue memutuskan untuk segera menonton Gugun Blues Shelter dan gue berdua pun beranjak untuk menuju Dome Stage. Dan tak disangka tak dinyanya, gue bertemu dengan salah satu gitaris terbaik (versi gue pribadi) yang dimiliki oleh Indonesia, Iwan St. Loco. Dan tanpa basa-basi, dia pun langsung menyapa gue. Hmmm…. Kok, jadi terkesan gue yang terkenal, ya? No.. No.. Bukan gitu. Justru gue yang langsung ngerasa gak enak sama dia karena justru malah dia yang nyapa gue duluan dan bukan gue. Well, gue memang sudah cukup kenal dia gara-gara pergaulan gue dengan para teman-teman begajulan gue. Belum kenal lama, tapi cukup mengenal. Ah, ada sedikit kebanggaan bisa salaman dengan gitaris hebat di tengah event rock terbesar di Asia Tenggara. Temen cewe gue yang gue kenalin ke Iwan langsung nanya ke gue, “Siapa tuh? Kayaknya pernah liat.” Gue pun dengan sedikit nada bangga bilang, “Iwan. Gitaris St. Loco.” Teman cewe gue langsung bertanya apa gue bohong ato nggak. Tentu tidak. Hahaha..

Lanjut ke topik. Sesampainya gue di Dome Stage yang dingin akibat AC yang meniup belakang leher gue dengan kejamnya, gue langsung disajikan panasnya penampilan band trio terhebat se-Indonesia (versi gue, loh). Membawakan lagu-lagu blues dengan balutan sedikit rock ‘n roll, penonton seakan terbius dengan penampilan Gugun Blues Shelter. Gue, yang sudah berkali-kali menonton performance mereka, gak pernah bosan. Trio Bowie, Gugun, dan Nyep_nyep (gue lebih nyaman menyebut Nyep_Nyep dibandingkan Jon) bener-bener total menampilkan sebuah performance yang bertenaga dan “tight”. Lagu kesukaan gue pun akhirnya dimainkan. “When I See You Again” yang (menurut penerjemahan gue pribadi) bercerita soal kerinduan kepada sang kekasih. Mulut gue pun kembali tidak bisa bertahan untuk menyanyikan penggalan lirik lagu cantik itu. Dan dalam penampilannya malam itu, mereka memberikan dua kejutan khusus buat para penontonnya. Pertama adalah kemunculan seorang vocalist (yang menjadi salah satu favorit gue) band besar di tanah air. Yap, Elfonda Mekel alias Once. Gue kurang begitu bisa ingat lagu apa yang mereka mainkan, namun permainan mereka memang benar-benar apik. Seolah mereka sudah bermain bersama selama puluhan tahun. Fiuh, luar biasa. Gue selalu suka melihat para musisi hebat bersatu dan membuat karya yang luar biasa seperti ini. Dan sebelum gue lupa, masih ada kejutan nomer dua. Kejutan kedua adalah, tak disangka, tak dinyanya, Jon Nyep_Nyep tiba-tiba membuka seragam wajibnya. Mantel mandi yang biasa membalut tubuhnya, tiba-tiba dibukanya dan seketika itu juga memperlihatkan celana dalam… Umm. Actually it’s not an underwear. Shit..!! He wore a pampers. An adult-pampers, for God’s sake. Dan penonton pun semakin menggila. Menyanyikan “White Dog” yang didaulat sebagai tembang penutup, kemungkinan besar Nyep_Nyep memang melakukan hal itu demi menyinggung ex-label yang sempat menaungi mereka. Yeap, I’m not interested with that kind of issues. Yang gue nikmatin adalah penampilan sinting nan enerjik mereka. Mudah-mudahan mereka masih bersedia untuk menyemarakkan musik Indonesia yang sedang dihajar gelombang Melayu nan kemayu.

Berlanjut dari situ, gue berdua langsung cabut ke panggung berikutnya yang sudah berisi dentuman musik rock. Karena gue udah janji untuk nonton penampilan St. Loco, gue pun berdiri di samping panggung untuk menyaksikan aksi mereka. Sebenernya, gue penasaran dengan kehadiran Nyonk, sang drummer yang sempat absen akibat kecelakaan yang menimpa dirinya. Dan sekarang dia kembali mengisi formasi dengan duduk di belakang drum. Ah, gue sungguh kangen dengan tabuhan bertenaganya. Sungguh sebuah candu melihat Nyonk menabuh drum bersama para personel St. Loco. Tapi, setelah melihat come back-nya Nyonk, gue malah melihat adanya kekurangan di atas panggung. Hmm… Gue nggak melihat DJ Tius berdiri di belakang perangkat turn-tables-nya. Kemanakah gerangan? Satu datang, yang lain pergi. Sungguh disayangkan. Namun, dibalik kekurangan itu semua, gue sungguh menikmati penampilan St. Loco secara keseluruhan. Walaupun, menurut gue pribadi, penampilan St. Loco malam itu sedikit kurang. Entah kurang apa, tapi mereka seperti kekurangan energi. Mulai dari suara-suara aneh nan mengganggu dari belakang panggung, sampai sound yang sedikit kurang “nendang”. Urrggh.. Gue sedikit kesel. Permainannya kurang lepas, Jek..!! Lagu yang gue tunggu-tunggu pun, ‘Terapi Energi’, juga gak nampol. Agak disayangkan, sih. Mungkin kekurangan salah satu ‘biang’ membuat mereka sedikit terganggu. Tapi, gue tetap salut dengan penampilan total mereka. Keep energizing us, El Locos…!!

Selesai dari situ, kami berdua bergegas lagi masuk ke Dome Stage demi menonton The Brandals. Band rock ‘n roll Indonesia yang sempat naik daun dengan lagu-lagu kritik sosialnya. Bukan salah satu band favorit gue, sih. Tapi, gue menikmati beberapa lagunya yang selalu menyuarakan keresahan minoritas. Hampir semua lagu yang mereka dendangkan terdengar sangat asing di telinga gue. Bahkan semuanya, kecuali ‘100 km’, kalo gak salah. Kalo salah, Abang mohon maaf sebesar-besarnya J. Sekali lagi sebuah kejutan menghampiri gue. Dari arah belakang, tiba-tiba datanglah sekelompok bule alias londo yang berpakaian rapi. Kemeja dan jeans skinny, namun dengan lengan penuh tattoo. Satunya lagi berpakaian lebih cuek. Kaos oblong dipadu dengan celana jeans. Mereka menonton dan sangat menikmati lagu yang terus menerus berderai dari atas panggung. Bahkan si bule cuek ikut ber-head-banging. Rambutnya yang keriting cenderung kribo mengikuti gerak kepalanya. Wow..!! Mereka bahkan kemungkinan besar tidak mengenal siapa yang tengah manggung di Dome Stage, tapi kelihatannya londo nyasar ini masih bisa menikmati musiknya, selama itu rock ‘n roll. Setiap selesai satu lagu, si bule cuek langsung memberikan salam “devil’s horn” ke arah panggung, sedangkan yang lain memberikan applause panjang. Di kepala gue langsung terpikir, “Inilah ke-universal-an musik. Music is a language.”

Setelah The Brandals rampung akhirnya gue memutuskan untuk take a break. Membeli minum sambil mencari-cari snack a.k.a cemilan yang tidak pernah kami temukan, akhirnya gue berdua duduk di atas trotoar sambil ngobrol ngalor ngidul. Setidaknya pinggang gue yang berteriak bisa beristirahat sejenak dari kekerasan musik rock yang sudah mengalun dan meracuni otak gue sejak jam 4 sore. Sambil secara rutin melihat arloji dan jadwal di buku yang gue ambil di info booth, gue kerap terbengong-bengong membayangkan penampilan Smashing Pumpkins yang akan naik panggung jam 11 malam. Bakalan seru kelihatannya. Obrolan-obrolan kosong tersebut sedikit membuat gue lupa dengan sakit lutut yang sedari tadi mendera. Bener-bener capek, Bray. Mau mati rasanyaaa…!!!

Dan jam di tangan teman gue sudah menunjukan jam 11 kurang, dan gue berdua langsung tancap gas menuju main stage. Lampu-lampu sorot sudah dimainkan. Asap-asap buatan sudah mengepul di atas panggung. Dan singkat cerita, akhirnya Billy Corgan pun tampil. Dihajar dengan lagu pembuka, penonton di depan panggung, anehnya, malah diam dan tidak merespon. Hanya sebatas tepuk tangan biasa saja. Hmmm… Mereka ternyata bukan die-hard fans. Gue pun juga bukan. Gue hanya menyukai beberapa lagu yang sayangnya tidak dimainkan di atas panggung kemarin. Well, gue sejujurnya nggak bisa bercerita banyak soal konser yang satu ini. Benar-benar nggak sebanding. Billy Corgan dan kawan-kawan sudah tampil maksimal, tapi crowd di depannya malah melempem kayak kerupuk kerendem air. Nggak salah kalau sang front-man sedikit kesal. Yang gue ingat, adalah ketika mereka memainkan intro lagu yang sudah familiar di telinga, penonton pun langsung bersorak kegirangan. Namun, Corgan langsung berhenti dan bilang, “Now you’re alive, huh?”, dan langsung meneruskan permainan gitarnya. Ah, gue langsung merasakan kekecewaan di batinnya. Gue rasa, Smashing Pumpkins bakalan ogah datang ke Jakarta lagi setelah melihat crowd yang sungguh basi. Malahan di penghujung pertunjukan, Corgan dan kawan-kawan yang sedang sibuk memainkan riff-riff keras, tiba-tiba mereka langsung berhenti dan masuk panggung tanpa berkata apa pun. Teriakan “We want more” sama sekali nggak dihiraukan. Wajar lah. Gue juga gak bakal mau memberikan bonus kalo crowd-nya cuma diem adem ayem. Banyak suara kecewa setelah bubaran konser Smashing Pumpkins, tapi gue tetap mengambil sisi baiknya. Gue selalu berpesan, jadilah tuan rumah yang baik. Buatlah suasana seperti di rumah sendiri bagi tamu lo. Layani mereka maka mereka pun akan memberikan yang terbaik. Terima kasih Billy Corgan untuk kesediaannya mengisi kekosongan musik rock di Tanah Air Indonesia ini. \m/

Catatan Tentang Teman (I)

Manusia adalah seoonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang, berisikan roh dan jiwa serta dilengkapi dengan akal budi dan pikiran. Konon (jangan dibaca terbalik), manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Dahulu, ketika Allah menciptakan dunia, manusia pertama pun hadir di dunia. Adam (bukan suami Inul yang berkumis riang gembira tersebut), tercipta dari debu dan tanah, lalu diberi nafas kehidupan oleh-Nya. Tapi, Tuhan pun sadar bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Pada akhirnya, Ia pun menciptakan seorang teman bagi Adam. Dibentuk dari tulang rusuknya ketika tertidur lelap dan dibentuknyalah pendamping yang sepadan baginya. Teman yang bisa menemaninya. (Kej 2:22)

Dari alinea pertama yang agak-agak berbau rohani tersebut, gue bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa, Tuhan mentakdirkan kita untuk hidup selalu bersama dan berdampingan dengan orang lain. Tuhan terang-terangan menyediakan Hawa bagi Adam, karena Ia tidak menemukan teman yang sepadan untuknya. Ya, iyalah. Masa’ Adam disuruh main bola bareng gajah, panjat pinang lawan simpanse, atau bahkan balap karung sama burung onta. Hewan-hewan tersebut tidak sepadan dengan Adam karena, mereka adalah seonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang dan hanya berisikan roh tanpa jiwa, akal budi, serta pikiran. Hewan adalah makhluk hidup yang bergerak berdasarkan insting. Jelas tidak cocok bila diajak curhat bareng. Pernah ngebayangin Adam duduk di atas batu sambil ngedongeng di depan hewan-hewan? Kalo lo pernah membayangkan hal barusan, berarti lo terjebak dengan cerita Tarzan atau Mowgli, si anak hutan yang mampu berkomunikasi dengan binatang. Non-sense, lah.

Maka dari itu, Tuhan berbaik hati membuat teman bagi Adam. Tulang rusuk yang diambil ketika Adam tertidur, dijadikan manusia baru yang akan menemaninya dalam segala hal. Walaupun pada akhirnya mereka jatuh ke dalam dosa akibat makan buah terlarang dari pohon terlarang yang mempunyai akar terlarang, yang tentunya dilarang oleh Tuhan <= Ngerti kalimat barusan? Kalo ngerti, kita lanjut. Kalo nggak ngerti, berarti lo gak pernah mendengar cerita soal Adam-Hawa. Okeh, kita kesampingkan soal dosa-dosaan. Yang pengen gue sedikit bahas sebenarnya adalah soal pertemanan. Karena, dari pengalaman kemarin, mata hati, mata pikiran, dan mata batin gue akhirnya bisa terbuka. Gue berani menarik kesimpulan, bahwa apa pun yang lo lakukan di dunia ini sama sekali gak bisa lepas dari yang namanya “Teman”.

Setelah gue sedikit browsing dan googling, gue mendapatkan definisi teman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau yang biasa disingkan KBBI, kata “Teman” berarti… Gue copas aja, dah. Biar lo pada bisa langsung ngerti. Teman (n): 1 kawan; sahabat: hanya -- dekat yg akan kuundang; 2 orang yg bersama-sama bekerja (berbuat, berjalan); lawan (bercakap-cakap): -- seperjalanan; ia -- ku bekerja; 3 yg menjadi pelengkap (pasangan) atau yg dipakai (dimakan dsb) bersama-sama: ada jenis lumut yg biasa dimakan untuk -- nasi; pisang rebus enak untuk -- minum kopi; 4 cak saya (di beberapa daerah dipakai dl bahasa sehari-hari): tiada -- menaruh syak akan dia;
usahlah -- dimandi pagi, pb tidak usah kamu lebih-lebihkan (kaupuji-puji).

Kalo lo bisa liat, nomer satu sampai tiga bener-bener menggambarkan dan setidaknya berhasil mendefinisikan arti teman. Gue coba tulis sekali lagi, deh. Teman adalah kawan, sahabat, orang yang bersama-sama bekerja, dan juga menjadi pelengkap serta pasangan. Jadi, kecuali lo mengalami gangguan jiwa akut dan penganut paham anti-sosial, setiap manusia butuh seorang teman sebagai pelengkap dan pasangan dalam melakukan kegiatan untuk bekerja bersama-sama. Hal tersebut terpapar jelas pada pengalaman gue beberapa hari kemarin, tepatnya tanggal 8 sampai 11 September 2010. Mengajukan diri sebagai tim advance untuk acara kemping gereja, fisik gue sedikit banyak diuji di acara tersebut. Siang, sekitar jam 2an, gue sampai di lokasi tempat pelaksanaan acara. Setelah

sebelumnya nyasar beberapa jam selama perjalanan (sampe masuk ke pusat kota Sukabumi), gue dan para anggota tim advance akhirnya bisa berkumpul. Mereka saat itu masih ngebuat tiang buat tali jemuran. Tiga tiang bamboo didirikan dan dipasang tali setinggi dahi gue. Gue gak sempat ngebantuin gara-gara pegalnya pantat akibat terlalu lama duduk di jok mobil. Gue harus sedikit mengurai syaraf-syaraf kusut di pinggang gue. Setelah sedikit reda, akhirnya gue bisa ngebantuin masang instalasi listrik dan lampu. Dengan bantuan alat canggih luar biasa yang gue bawa dari rumah (bernama test-pen), lampu-lampu di tenda pun akhirnya menyala dengan terangnya. Jujur, gue melewatkan aksi

para anggota tim untuk mendirikan tenda peserta, bikin tiang jemuran, serta setengah kegiatan untuk masang instalasi listrik. Tapi, yang penting, tugas sudah hampir selesai. Dan, buat tambahan, hampir di kamus gue mempunyai sinonim “Tidak”. Gak setuju? Gue kasih contoh kalimat: “Andreas hampir menabrak nenek buta di pinggir jalan.” Pertanyaan yang mau gue ajukan: “Apakah nenek buta itu ditabrak oleh Andreas?” Jawabannya adalah… Biar lo sendiri yang ngejawab.

Setelah gue bersantai ria karena menganggap kerjaan uda selesai. Tim advance dan beberapa tim pengisi acara ketawa-ketiwi dan malah memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kami pikirkan. Tanpa sadar, awan hitam yang menggantung di belakang bukit perlahan-lahan naik dan berjalan pelan menuju tempat kami mengadakan acara. Gerimis ringan seolah memberi kami tanda untuk segera bersiap-siap. Tapi, yang namanya anak muda, yang penting santai dulu, lah. Yang penting tenda uda kepasang, listrik uda nyala, tiang jemuran udah aman. Selesai perkara. Di saat kami belum menyadari apa arti awan hitam yang menggantung itu, tiba-tiba hujan deras langsung mengguyur tempat itu. Deras, sederas-derasnya dan dingin, sedingin-dinginnya. Kami masih bertahan di tenda terpal putih beralaskan terpal plastik silver itu, yang jika terpal itu dibalik akan menjadi terpal plastik berwarna silver. Ngerti? Nggak? Wokeh, lanjutkan. Dan seketika itu juga air menggenang di sekitar tenda platoon. Banjir yang sedikit banyak tidak gue harapkan di hari pertama ini. Akhirnya, beberapa anggota tim advance pun bergerak dan berinisiatif untuk membuat selokan atau saluran air di kitaran tenda platoon. Bersenjatakan dua cangkul dan satu linggis, tiga anggota tim advance langsung mencangkul-cangkul tanah basah yang sudah digenangi air hujan. Gue yang awalnya ragu akhirnya ikut turun tangan buat ngebantuin mereka. Damn..!! Air hujan Sukabumi lebih kejam dari ada air hujan Jakarta. Dinginnya bikin semaput. Ditambah gue yang hanya memakai sehelai kaos putih dan celana pendek kotak-kotak, tanpa mengenakan jas hujan. Kegiatan cangkul-mencangkul dimulai. Dengan cipratan-cipratan lumpur dan tanah basah, gue dan bersama beberapa yang lain masih berusaha di tengah terjangan derasnya air hujan. Selokan itu pun akhirnya berhasil dibuat mengelilingi tenda platoon. Akhirnya, hujan pun reda. Tanpa gue sadari, tubuh gue bergetar, menggigil kedinginan, yang lama kelamaan gak bisa dikendalikan lagi. Rahang gue terus-terusan bergetar tak terkontrol, dan sisa dari anggota tubuh yang lain akhirnya menyerah juga. Sekujur

tubuh gak bisa berhenti untuk bergigil-ria di tengah semprotan udara dingin. Sinting..!! Hampir semua para laki-laki yang menjadi anggota tim advance basah kuyup, malah ada yang nekad bekerja sambil membuka baju di tengah siraman shower alam. Sinting..!! Bener-bener sinting..!! Sebatang rokok sedikit membuat badan dan paru-paru gue terasa hangat. Sedikit, cuma sedikit.

Akhirnya malam pertama itu kami tutup dengan makan nasi, indomie, kornet, sarden, dan sawi putih racikan masing-masing anggota tim advance. Makanan, yang belum tentu bakalan gue

makan di Jakarta karena amburadulnya cita rasa, pada akhirnya habis dilalap oleh perut-perut keparat yang kelaparan akibat dinginnya hujan. Tim advance dan tim pengisi acara turut berandil besar dalam menghabiskan hampir satu dus indomie dan beberapa liter beras. Malam berkabut itu terasa begitu hangat. Dilingkupi orang-orang gila yang kelaparan dan hampir tidak kenal lelah, badan yang menggigil ini akhirnya terhangatkan kembali. Suara tawa lepas akibat salah meracik bumbu terdengar begitu menggema. Yah, malam pertama gue bersama orang-orang yang berhasil melepas kepenatannya selama di Jakarta.

Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah

Perpisahan

ketika satu persatu di antara kita telah berangkat lebih dulu. melambaikan doa perpisahan seiring jalannya roda. menebarkan wangi kembang menyelubungi tubuh kereta. dan hanya menyisakan peron sunyi dan bangku-bangku lengang.

kemudian kita menunduk berkerudung duka. menangisi arak-arakan waktu yang telah kita kerandakan, tanpa lebih dulu dimandikan. dengan taburan wewangian kelopak sujud yang semestinya bisa kita petik, dari hamparan taman luas jiwa-jiwa zuhud

ketika rombongan kafilah pernah sejenak singgah, masih terngiang di telinga kita senandung gurun. walau kibaran jubah mereka telah lama menghilang, di balik kabut gunung.

lalu sudahkah kita seksama mendengar gumaman para ruh. melepaskan sebutir ruku’ dari untaian lima waktuNya, adalah sebuah perpisahan.
yang paling jauh…

Jakarta, 17 Juni 2009

Meratapi sebuah negeri

pohon-pohon telah tumbang
keadilan habis di tebang
kerontang bumiku

suara-suara terbekap
tangisan tak lagi mengucur
terbenam di kedalaman lumpur

kemana jalannya para nurani
terlampau jauhkah mereka berpaling
dari paras Sang Maha Tinggi

dan jika surat kejujuran
berbalas undangan dakwaan
bagaimana seharusnya berkirim kabar kebenaran

keletihan panjang
wajah-wajah berjuang
di negeri ini
pertautkan kami dengan kesabaran
di antara jeruji-jeruji kemiskinan
Jakarta, 24 Juni 2009

Dukacita

lalu kuhirup wangi tawamu lewat sudut mata
yang masih menyimpan sedikit lelah
selepas mengantar langkahmu
menyusuri tepian hulu
menuju ke sebuah muara

bayang-bayang mentari pun masih terjatuh
menerpa daun-daun kemuning yang melingkupi pusara
melagukan gemerisik lirih tembang-tembang kedatangan
oleh hembusan dingin angin utara
dan menyeru kerumunan burung-burung
yang tengah mencecapi bebatuan
melucuti senyap
menyesapi ratap
dari relung dada kita

lalu dari sudut ruang dukacita
hendaklah kita mampu melepas
seberkas makna
dari rerimbun kerlip kenangan
tertanam di kisaran-kisaran waktu
yang terus mengekalkan butiran warna dan kejadian

bahwa sejatinya kehilangan itu
tak pernah ada
karena memang kita tak pernah
memiliki apa-apa

Jakarta, 14 Juni 2010

Pada sebentuk rindu

kaukah itu , yang musim kemarin mendatangiku
berdiri di kejauhan
menari dalam iringan
denting irama hujan

lalu kulihat angin singgah
menggugurkan kelopak dan daun-daun
meninggalkan lanskap tak beraturan
pada sebidang tanah yang basah
menupang pokok-pokok pohon

terdengar lamat suara memanggil
seperti sekelebat bayangan
terlahir dari nyanyian
dalam ayunan gending-gending
bermusim-musim kemarin

akh, musim yang memekarkan semak-semak rindu
bagai usapan jemari ibu
mengukirkan guratan tawa
di ruang keluarga kita

Jakarta, 09 Juni 2010

Bayang

mengapa tak kau datangi saja malam
bukankah ia yang selalu meredam seribu tangisan
di dasar matanya yang kelam

atau kau berbincang dengan kerumunan gemintang
bercerita tentang sekerlip kunang-kunang
berputar menyusuri rawa-rawa
barangkali ia terjatuh dari puncak gugusan
dan sedang mencari jalan pulang

ah, sedih itu masih berbayang
berjuntai menutupi sudut ruang kenang
dan musim terasa sangat lamban
berjalan…

Jakarta, 17 Juni 2010

Dalam kehilangan

aku telah sangat kehilangan
ketika pijak terlambat kupahatkan
pada pelataran pagimu
yang wangi
pada langit cintamu
yang tanpa tepi

sedang malam telah jauh berselisihan
dengan embun-embun putih di rerumputan

sungguh aku dalam ketakutan
hingga jiwa ini kuyup gemetar
bilakah kau uji cinta ini hingga luruh terbenam
di laut kehilangan yang tanpa dasar

duhai kekasih…
mekarkan nafasku yang basah
dan mencintaimu di hamparan tanah

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim
Ya Rabbana Ya Karim Ya Adzim…

Jakarta, 16 Ramadhan 1431 H


Bidata penulis:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar,Jawa Timur. Mencintai dan menulis puisi sejak di bangku SD tapi hanya untuk dinikmati sendiri. Baru sejak tahun 2007 bergabung dengan beberapa komunitas sastra di Indonesia maupun di Malaysia hingga sekarang. Salah satu puisinya mendapatkan penghargaan Hescom 2009 di sebuah Situs Sastra Malaysia. “Dan puisi itu sungguh mengayakan hati….” begitu prinsip hidupnya.

Sumber: Kompas (http://bit.ly/ajbFUE)