Perpisahan
ketika satu persatu di antara kita telah berangkat lebih dulu. melambaikan doa perpisahan seiring jalannya roda. menebarkan wangi kembang menyelubungi tubuh kereta. dan hanya menyisakan peron sunyi dan bangku-bangku lengang.
kemudian kita menunduk berkerudung duka. menangisi arak-arakan waktu yang telah kita kerandakan, tanpa lebih dulu dimandikan. dengan taburan wewangian kelopak sujud yang semestinya bisa kita petik, dari hamparan taman luas jiwa-jiwa zuhud
ketika rombongan kafilah pernah sejenak singgah, masih terngiang di telinga kita senandung gurun. walau kibaran jubah mereka telah lama menghilang, di balik kabut gunung.
lalu sudahkah kita seksama mendengar gumaman para ruh. melepaskan sebutir ruku’ dari untaian lima waktuNya, adalah sebuah perpisahan.
yang paling jauh…
Jakarta, 17 Juni 2009
Meratapi sebuah negeri
pohon-pohon telah tumbang
keadilan habis di tebang
kerontang bumiku
suara-suara terbekap
tangisan tak lagi mengucur
terbenam di kedalaman lumpur
kemana jalannya para nurani
terlampau jauhkah mereka berpaling
dari paras Sang Maha Tinggi
dan jika surat kejujuran
berbalas undangan dakwaan
bagaimana seharusnya berkirim kabar kebenaran
keletihan panjang
wajah-wajah berjuang
di negeri ini
pertautkan kami dengan kesabaran
di antara jeruji-jeruji kemiskinan
Jakarta, 24 Juni 2009
Dukacita
lalu kuhirup wangi tawamu lewat sudut mata
yang masih menyimpan sedikit lelah
selepas mengantar langkahmu
menyusuri tepian hulu
menuju ke sebuah muara
bayang-bayang mentari pun masih terjatuh
menerpa daun-daun kemuning yang melingkupi pusara
melagukan gemerisik lirih tembang-tembang kedatangan
oleh hembusan dingin angin utara
dan menyeru kerumunan burung-burung
yang tengah mencecapi bebatuan
melucuti senyap
menyesapi ratap
dari relung dada kita
lalu dari sudut ruang dukacita
hendaklah kita mampu melepas
seberkas makna
dari rerimbun kerlip kenangan
tertanam di kisaran-kisaran waktu
yang terus mengekalkan butiran warna dan kejadian
bahwa sejatinya kehilangan itu
tak pernah ada
karena memang kita tak pernah
memiliki apa-apa
Jakarta, 14 Juni 2010
Pada sebentuk rindu
kaukah itu , yang musim kemarin mendatangiku
berdiri di kejauhan
menari dalam iringan
denting irama hujan
lalu kulihat angin singgah
menggugurkan kelopak dan daun-daun
meninggalkan lanskap tak beraturan
pada sebidang tanah yang basah
menupang pokok-pokok pohon
terdengar lamat suara memanggil
seperti sekelebat bayangan
terlahir dari nyanyian
dalam ayunan gending-gending
bermusim-musim kemarin
akh, musim yang memekarkan semak-semak rindu
bagai usapan jemari ibu
mengukirkan guratan tawa
di ruang keluarga kita
Jakarta, 09 Juni 2010
Bayang
mengapa tak kau datangi saja malam
bukankah ia yang selalu meredam seribu tangisan
di dasar matanya yang kelam
atau kau berbincang dengan kerumunan gemintang
bercerita tentang sekerlip kunang-kunang
berputar menyusuri rawa-rawa
barangkali ia terjatuh dari puncak gugusan
dan sedang mencari jalan pulang
ah, sedih itu masih berbayang
berjuntai menutupi sudut ruang kenang
dan musim terasa sangat lamban
berjalan…
Jakarta, 17 Juni 2010
Dalam kehilangan
aku telah sangat kehilangan
ketika pijak terlambat kupahatkan
pada pelataran pagimu
yang wangi
pada langit cintamu
yang tanpa tepi
sedang malam telah jauh berselisihan
dengan embun-embun putih di rerumputan
sungguh aku dalam ketakutan
hingga jiwa ini kuyup gemetar
bilakah kau uji cinta ini hingga luruh terbenam
di laut kehilangan yang tanpa dasar
duhai kekasih…
mekarkan nafasku yang basah
dan mencintaimu di hamparan tanah
Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim
Ya Rabbana Ya Karim Ya Adzim…
Jakarta, 16 Ramadhan 1431 H
Bidata penulis:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar,Jawa Timur. Mencintai dan menulis puisi sejak di bangku SD tapi hanya untuk dinikmati sendiri. Baru sejak tahun 2007 bergabung dengan beberapa komunitas sastra di Indonesia maupun di Malaysia hingga sekarang. Salah satu puisinya mendapatkan penghargaan Hescom 2009 di sebuah Situs Sastra Malaysia. “Dan puisi itu sungguh mengayakan hati….” begitu prinsip hidupnya.
Sumber: Kompas (http://bit.ly/ajbFUE)
No comments:
Post a Comment