Day One Of Java Rockin' Land

Berawal dari hari Jumat kemarin hingga hari Minggu, gue berkesempatan untuk hadir di sebuah event yang menyatukan musik rock, yang sempat diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Dari hari pertama gue hadir di acara yang berlokasi di Pantai Carnaval Ancol tersebut, gue sudah terkagum-kagum. Pantas saja sang pioneer dari acara ini, Peter F. Gontha, berani mengklaim bahwa ini adalah konser rock terbesar se-Asia Tenggara. Seluruh lahan, yang gak bisa gue perkirakan luasnya, terpakai semuanya untuk melayani nafsu birahi para penggemar musik rock Indonesia. Band-band yang menyajikan berbagai musik rock berkumpul dan menyajikan penampilan terbaiknya. Bahkan ada beberapa musisi rock yang kurang terkenal di telinga gue ikut hadir menyemarakan acara ini. Musik-musik aneh dari para musisi yang bergerak tanpa disadari penikmat musik mayoritas Indonesia ternyata cukup membuat gue terkesima. Di tengah gelombang tsunami musik-musik aliran melayu dan lagu-lagu bernada cengeng yang berkisah soal patah hati, musisi ini dengan tegapnya bangga mengusung idealism pribadi. Dengan lantang mereka bernyanyi tanpa peduli. Dan suara-suara percaya diri itu ternyata bak gayung bersambut. Crowd pun bersedia mendengarkan musik yang terkadang asing di telinga mereka. Sebuah bentuk penghargaan yang luar biasa terhadap musik anti mainstream tersebut. Sebuah atmosfer yang luar biasa.

Event ini dimulai dengan menampilkan grup band Amazing On Bed. Ini kedua kalinya gue menonton grup band ini. Dengan mengusung jenis musik female-vocalist-rock, mereka mendendangkan lagu-lagu yang masih asing bagi mayoritas pengunjung namun familiar bagi telinga segelintir penggemarnya. Rock bertenaga dan kualitas apik dari sang female vocalist berhasil, setidaknya, menggoda para penonton untuk sedikit ber-headbanging ria. Setelah membawakan beberapa lagu andalan, sang gitaris bertato yang memang sedikit mempunyai tingkah nyeleneh pun menyampaikan sedikit “pidato”. “Saya meminta maaf sebelumnya, karena di sini saya memakai gitar Eddie Van Halen, walaupun permainan saya seperti Eddy Silitonga.” Banyolan itu pun langsung ditimpali dengan tawa dari crowd yang berkumpul dan senyum dari teman-teman seperjuangannya di atas panggung. Setelah itu, telinga penikmat musik kembali dihajar dengan musik pop-rock memikat. Dan akhirnya mereka pun masuk ke panggung setelah menyelesaikan list lagu yang tersembunyi di balik speaker monitor. Tepuk tangan dari mereka yang menghargai karya rock underground mengiringi ayunan kaki anggota band ke dalam panggung.

Dari situ gue dan temen cewek gue beristirahat sejenak, lalu langsung menuju panggung selanjutnya. Rocket Rockers adalah tujuan berikutnya. Walaupun gue kurang mendengarkan musik-musik mereka, tapi gue mempunyai sebuah keingintahuan untuk sekedar mendengarkan musik non-melayu dan non-cinta-cintaan. Sesampainya gue di sana, ternyata alam berkehendak lain. Ketika mereka sedang melakukan check-sound, awan gelap yang menggantung sejak tadi akhirnya meluapkan air yang seolah sudah melampaui batas volume. Kontan, seluruh penonton yang sudah setia berkumpul demi menonton penampilannya langsung berhamburan mencari tempat berteduh. Ah, sayang. Padahal gue udah cukup sabar untuk menantikan penampilan mereka. Alhasil, Rocket Rockers pun gagal menyajikan penampilan terbaiknya. Sambil menunggu redanya hujan yang berkecamuk kejam, gue dan teman gue numpang di tenda booth milik minuman keras Jack Daniels. Di situ gue bertemu dengan sekumpulan musisi underground Indonesia. Vokalis Superglad terlihat bersantai ria sambil menyesap seloki Jack-D. Dan beberapa orang yang sedang mengobrol dengan gitaris band yang gue gak tau namanya (dan gue bakal dicerca sama temen gue karena gak meminta foto bareng atau tanda-tangan dari semua rock star yang sedang berkumpul itu). Setengah jam berdiri sambil mengobrol dan menggosip membuat pinggang gue berteriak. Akhirnya hujan pun mereda. Gue dan teman gue berjalan menyusuri tanah-tanah becek berpasir dan belumpur. Namun, semangat gue mengalahkan segalanya. Gue berniat untuk menonton keseluruhan performance dari band-band yang jarang sekali gue tonton.

Akhirnya, gue berdua melangkah ke main stage. Panggung terbesar di antara panggung-panggung lain yang berdiri di wilayah Pantai Carnaval. Performer selanjutnya adalah sebuah band yang malang melintang di dunia musik dan gue baru mengenalnya ketika gue SMP. Band yang segera menjadi legenda musik Indonesia, /rif. Dikomandoi oleh sang vocalist Andy, dan para gitarisnya, Jikun dan Ovy, mereka langsung menghentak panggung besar itu. Penonton langsung bersorak kegirangan mendengar raungan gitar dan teriakan sang vocalist. Tak ingin kalah, Magy pun memukul drumnya dengan penuh tenaga. Penonton pun semakin bersorak. Bukti sebuah kerinduan para pecinta musik rock Indonesia, Jakarta khususnya. Beberapa lagu yang terdengar familiar mengalir tanpa henti dan lompatan bersemangat segelintir orang di tengah kumpulan manusia berbaju hitam tampak mengikuti irama musik. Tak sedikit juga yang ikut menyanyikan lagu-lagu dari band itu. Gue dan teman gue hanya bisa berdiri di deretan paling belakang. Namun, gue masih bisa merasakan aksi penuh tenaga dari band ini. Lagu terakhir yang gue ingat sebelum gue beranjak menuju Dome Stage untuk menyaksikan Gugun Blues Shelter adalah lagu yang seringkali gue bawain ketika gue masih aktif nge-band bareng temen-temen SMA, “Loe Tu Ye”. Bibir seakan gak mampu menahan birahi untuk ikut menyanyikan lagu wajib masa SMA. Yang gue heran, ternyata gue masih hapal dengan sempurna keseluruhan syair dari lagu tersebut. Gue terkesan sama diri gue sendiri.

Di tengah-tengah show yang memang belum selesai, gue dan teman gue memutuskan untuk segera menonton Gugun Blues Shelter dan gue berdua pun beranjak untuk menuju Dome Stage. Dan tak disangka tak dinyanya, gue bertemu dengan salah satu gitaris terbaik (versi gue pribadi) yang dimiliki oleh Indonesia, Iwan St. Loco. Dan tanpa basa-basi, dia pun langsung menyapa gue. Hmmm…. Kok, jadi terkesan gue yang terkenal, ya? No.. No.. Bukan gitu. Justru gue yang langsung ngerasa gak enak sama dia karena justru malah dia yang nyapa gue duluan dan bukan gue. Well, gue memang sudah cukup kenal dia gara-gara pergaulan gue dengan para teman-teman begajulan gue. Belum kenal lama, tapi cukup mengenal. Ah, ada sedikit kebanggaan bisa salaman dengan gitaris hebat di tengah event rock terbesar di Asia Tenggara. Temen cewe gue yang gue kenalin ke Iwan langsung nanya ke gue, “Siapa tuh? Kayaknya pernah liat.” Gue pun dengan sedikit nada bangga bilang, “Iwan. Gitaris St. Loco.” Teman cewe gue langsung bertanya apa gue bohong ato nggak. Tentu tidak. Hahaha..

Lanjut ke topik. Sesampainya gue di Dome Stage yang dingin akibat AC yang meniup belakang leher gue dengan kejamnya, gue langsung disajikan panasnya penampilan band trio terhebat se-Indonesia (versi gue, loh). Membawakan lagu-lagu blues dengan balutan sedikit rock ‘n roll, penonton seakan terbius dengan penampilan Gugun Blues Shelter. Gue, yang sudah berkali-kali menonton performance mereka, gak pernah bosan. Trio Bowie, Gugun, dan Nyep_nyep (gue lebih nyaman menyebut Nyep_Nyep dibandingkan Jon) bener-bener total menampilkan sebuah performance yang bertenaga dan “tight”. Lagu kesukaan gue pun akhirnya dimainkan. “When I See You Again” yang (menurut penerjemahan gue pribadi) bercerita soal kerinduan kepada sang kekasih. Mulut gue pun kembali tidak bisa bertahan untuk menyanyikan penggalan lirik lagu cantik itu. Dan dalam penampilannya malam itu, mereka memberikan dua kejutan khusus buat para penontonnya. Pertama adalah kemunculan seorang vocalist (yang menjadi salah satu favorit gue) band besar di tanah air. Yap, Elfonda Mekel alias Once. Gue kurang begitu bisa ingat lagu apa yang mereka mainkan, namun permainan mereka memang benar-benar apik. Seolah mereka sudah bermain bersama selama puluhan tahun. Fiuh, luar biasa. Gue selalu suka melihat para musisi hebat bersatu dan membuat karya yang luar biasa seperti ini. Dan sebelum gue lupa, masih ada kejutan nomer dua. Kejutan kedua adalah, tak disangka, tak dinyanya, Jon Nyep_Nyep tiba-tiba membuka seragam wajibnya. Mantel mandi yang biasa membalut tubuhnya, tiba-tiba dibukanya dan seketika itu juga memperlihatkan celana dalam… Umm. Actually it’s not an underwear. Shit..!! He wore a pampers. An adult-pampers, for God’s sake. Dan penonton pun semakin menggila. Menyanyikan “White Dog” yang didaulat sebagai tembang penutup, kemungkinan besar Nyep_Nyep memang melakukan hal itu demi menyinggung ex-label yang sempat menaungi mereka. Yeap, I’m not interested with that kind of issues. Yang gue nikmatin adalah penampilan sinting nan enerjik mereka. Mudah-mudahan mereka masih bersedia untuk menyemarakkan musik Indonesia yang sedang dihajar gelombang Melayu nan kemayu.

Berlanjut dari situ, gue berdua langsung cabut ke panggung berikutnya yang sudah berisi dentuman musik rock. Karena gue udah janji untuk nonton penampilan St. Loco, gue pun berdiri di samping panggung untuk menyaksikan aksi mereka. Sebenernya, gue penasaran dengan kehadiran Nyonk, sang drummer yang sempat absen akibat kecelakaan yang menimpa dirinya. Dan sekarang dia kembali mengisi formasi dengan duduk di belakang drum. Ah, gue sungguh kangen dengan tabuhan bertenaganya. Sungguh sebuah candu melihat Nyonk menabuh drum bersama para personel St. Loco. Tapi, setelah melihat come back-nya Nyonk, gue malah melihat adanya kekurangan di atas panggung. Hmm… Gue nggak melihat DJ Tius berdiri di belakang perangkat turn-tables-nya. Kemanakah gerangan? Satu datang, yang lain pergi. Sungguh disayangkan. Namun, dibalik kekurangan itu semua, gue sungguh menikmati penampilan St. Loco secara keseluruhan. Walaupun, menurut gue pribadi, penampilan St. Loco malam itu sedikit kurang. Entah kurang apa, tapi mereka seperti kekurangan energi. Mulai dari suara-suara aneh nan mengganggu dari belakang panggung, sampai sound yang sedikit kurang “nendang”. Urrggh.. Gue sedikit kesel. Permainannya kurang lepas, Jek..!! Lagu yang gue tunggu-tunggu pun, ‘Terapi Energi’, juga gak nampol. Agak disayangkan, sih. Mungkin kekurangan salah satu ‘biang’ membuat mereka sedikit terganggu. Tapi, gue tetap salut dengan penampilan total mereka. Keep energizing us, El Locos…!!

Selesai dari situ, kami berdua bergegas lagi masuk ke Dome Stage demi menonton The Brandals. Band rock ‘n roll Indonesia yang sempat naik daun dengan lagu-lagu kritik sosialnya. Bukan salah satu band favorit gue, sih. Tapi, gue menikmati beberapa lagunya yang selalu menyuarakan keresahan minoritas. Hampir semua lagu yang mereka dendangkan terdengar sangat asing di telinga gue. Bahkan semuanya, kecuali ‘100 km’, kalo gak salah. Kalo salah, Abang mohon maaf sebesar-besarnya J. Sekali lagi sebuah kejutan menghampiri gue. Dari arah belakang, tiba-tiba datanglah sekelompok bule alias londo yang berpakaian rapi. Kemeja dan jeans skinny, namun dengan lengan penuh tattoo. Satunya lagi berpakaian lebih cuek. Kaos oblong dipadu dengan celana jeans. Mereka menonton dan sangat menikmati lagu yang terus menerus berderai dari atas panggung. Bahkan si bule cuek ikut ber-head-banging. Rambutnya yang keriting cenderung kribo mengikuti gerak kepalanya. Wow..!! Mereka bahkan kemungkinan besar tidak mengenal siapa yang tengah manggung di Dome Stage, tapi kelihatannya londo nyasar ini masih bisa menikmati musiknya, selama itu rock ‘n roll. Setiap selesai satu lagu, si bule cuek langsung memberikan salam “devil’s horn” ke arah panggung, sedangkan yang lain memberikan applause panjang. Di kepala gue langsung terpikir, “Inilah ke-universal-an musik. Music is a language.”

Setelah The Brandals rampung akhirnya gue memutuskan untuk take a break. Membeli minum sambil mencari-cari snack a.k.a cemilan yang tidak pernah kami temukan, akhirnya gue berdua duduk di atas trotoar sambil ngobrol ngalor ngidul. Setidaknya pinggang gue yang berteriak bisa beristirahat sejenak dari kekerasan musik rock yang sudah mengalun dan meracuni otak gue sejak jam 4 sore. Sambil secara rutin melihat arloji dan jadwal di buku yang gue ambil di info booth, gue kerap terbengong-bengong membayangkan penampilan Smashing Pumpkins yang akan naik panggung jam 11 malam. Bakalan seru kelihatannya. Obrolan-obrolan kosong tersebut sedikit membuat gue lupa dengan sakit lutut yang sedari tadi mendera. Bener-bener capek, Bray. Mau mati rasanyaaa…!!!

Dan jam di tangan teman gue sudah menunjukan jam 11 kurang, dan gue berdua langsung tancap gas menuju main stage. Lampu-lampu sorot sudah dimainkan. Asap-asap buatan sudah mengepul di atas panggung. Dan singkat cerita, akhirnya Billy Corgan pun tampil. Dihajar dengan lagu pembuka, penonton di depan panggung, anehnya, malah diam dan tidak merespon. Hanya sebatas tepuk tangan biasa saja. Hmmm… Mereka ternyata bukan die-hard fans. Gue pun juga bukan. Gue hanya menyukai beberapa lagu yang sayangnya tidak dimainkan di atas panggung kemarin. Well, gue sejujurnya nggak bisa bercerita banyak soal konser yang satu ini. Benar-benar nggak sebanding. Billy Corgan dan kawan-kawan sudah tampil maksimal, tapi crowd di depannya malah melempem kayak kerupuk kerendem air. Nggak salah kalau sang front-man sedikit kesal. Yang gue ingat, adalah ketika mereka memainkan intro lagu yang sudah familiar di telinga, penonton pun langsung bersorak kegirangan. Namun, Corgan langsung berhenti dan bilang, “Now you’re alive, huh?”, dan langsung meneruskan permainan gitarnya. Ah, gue langsung merasakan kekecewaan di batinnya. Gue rasa, Smashing Pumpkins bakalan ogah datang ke Jakarta lagi setelah melihat crowd yang sungguh basi. Malahan di penghujung pertunjukan, Corgan dan kawan-kawan yang sedang sibuk memainkan riff-riff keras, tiba-tiba mereka langsung berhenti dan masuk panggung tanpa berkata apa pun. Teriakan “We want more” sama sekali nggak dihiraukan. Wajar lah. Gue juga gak bakal mau memberikan bonus kalo crowd-nya cuma diem adem ayem. Banyak suara kecewa setelah bubaran konser Smashing Pumpkins, tapi gue tetap mengambil sisi baiknya. Gue selalu berpesan, jadilah tuan rumah yang baik. Buatlah suasana seperti di rumah sendiri bagi tamu lo. Layani mereka maka mereka pun akan memberikan yang terbaik. Terima kasih Billy Corgan untuk kesediaannya mengisi kekosongan musik rock di Tanah Air Indonesia ini. \m/

No comments: