Tanpa Emosi Di 19:29

18:52. Reski duduk sendiri di meja bundar. Di sampingnya berdiri sebuah tempat sampah yang baru dikosongkan oleh seorang petugas kebersihan berseragam biru kotak-kotak. Reski meminta sebuah asbak untuk menaruh batang rokok yang telah terbakar. Punggung tangannya memperlihatkan sebuah luka bakar dan sayatan pisau. Luka yang yang ingin ia hapuskan. Luka yang terus menerus mengingatkannya pada sebuah memori buruk beberapa tahun sebelumnya. Sebuah botol bir dingin berdiri di sebelah buku jurnalnya, basah akibat pertemuan fisik sebuah kesepian dalam ruang dingin dengan kehangatan udara di luar, namun muram. Keringat gugup yang seolah menyambut keramaian. Sebuah paksaan untuk menelan keberaturan.

Reski dua kali menghisap rokoknya dan kembali menaruhnya di lengkungan asbak kuning, membiarkannya menyala dan berasap. Nyalanya tak mampu menerangi kesendirian dan asapnya malah semakin menyesaki pikirinannya yang kalut. Jurnal itu dibuka dan lembaran kertas putih bergaris sekonyong-konyong menatap penuh tanya, apakah ia siap dibelai halus oleh cinta dan kelembutan atau diperkosa dengan kasar, penuh nafsu keji. Reski hanya bisa membalas tatapannya. Ia sendiri pun masih bimbang. Kegalauan terkuak dari ranah imajinasinya. Tangannya tidak lagi menggenggam botol hijau. Kali ini sebatang ballpoint biru menggantikan singgasana sang botol di tangannya. Ia mengarahkannya pada kertas kosong tersebut, bagai busur yang siap meluncurkan si anak panah. Namun Reski tak mampu juga menemukan sasaran. Ia pun bersandar pada bangku plastik putih. Membagi bebannya, berdua bersama benda mati tersebut. Kumandang adzan sedikit menenangkan hatinya. Matanya terpejam. Khayalnya melayang.

Rokok pertamanya telah terbakar habis meninggalkan abu di dalam asbak kuning. Membiarkan Reski dalam keramaian yang semakin membuatnya merasa terkucilkan. Ballpoint itu masih di dalam genggamannya. Tangannya menunggu perintah dari otak. Hatinya menahan instruksi tersebut. Tempat sampah itu masih setia berdiri di sampingnya walau telah terisi bungkusan makanan ringan kosong dan kardus hotdog. Namun ia masih setia menunggu Reski dalam ketidaksinambungan hati dan pikiran. Kemanusiawian dan akal sehat mutlak dipegang Reski, tapi sikap dan keteguhan tetap terjaga oleh para benda mati. Andai budi dan kengototan mampu ia satukan. Andai saja.

Mercusuar telah tertuju pada satu objek. Terangnya lampu sorot terus menerus mengarahkan

perahu yang akan menepi. Lampu itu sesekali bergerak, menerangi perairan gela tersebut. Entah mengapa kapal itu tetap tidak bergerak. Sauhnya terus terantuk pada dasar laut hitam. Ombak yang semakin meninggi terus mengombang-ambingkannya. Namun kapal itu tetap tidak bergerak. Sang nakhoda memberikan sebuah sinyal pada mercusuar. Ia telah melihat jalan menuju dermaga terdekat. Tetap…. Ia tidak bergerak. Sang mercusuar terus setia meneranginya di dalam gelap. Terus menunjukkan jalan menuju tempat tambatan.

Hati Reski akhirnya berubah. Dengan segenap kekuatan, ia menggerakkan alat tulis berwarna biru itu. Kertas jurnal tersebut berlaku pasrah, siap menerima perlakuan apa pun. Mata alat tulis segera menghujam sang lembaran kosong. Dan…. Kertas itu kecewa. Hujaman itu menari tanpa emosi. Tanpa perasaan. Namun, kental kebimbangan juga penuh ketulusan.

“AKU RINDU…”

Jurnal pun tertutup rapat. Reski menyudahi semuanya. Tanpa emosi di 19:29…

Insidious is a total heart-attack

Insidious berhasil memukau gue. Scene pertama film ini berhasil membuat mata gue membelalak dan napas gue tertahan di kerngkongan. Damn..!! Siapa yang bisa tahan dengan gambaran di detik-detik pertama film itu. Dengan tata suara yang sepi dan warna ruangan yang mencekam, gue udah bisa menebak apa yang akan terjadi di scene-scene berikutnya. Tanpa sadar gue, telapak tangan gue mengepal dan meremas gelas popcorn yang (untungnya) dibeli sama temen gue. Wanjeng..!!

Scene berikutnya, gue berusaha untuk mengatur napas gue supaya teratur dan mencoba mengikuti alur cerita. Gambaran umumnya sangatlah klise: sebuah keluarga bahagia baru saja menempati tempat tinggal baru, rumah baru. Dan pada akhirnya mengalami gangguan-gangguan supranatural setelah sang anak, Dalton, mengalami koma akibat terjatuh dari tangga. Fooohhh…!!! Sinting. Film ini bener-bener bikin gue harus menutup mata berulang kali ketika kamera mengambil gambar close-up atau ketika sayatan biola mulai mendenging. Dan akhirnya, temen gue gak lagi-lagi ngoper popcorn ke gue. Karena dia tahu kalau popcorn itu bakal terbuang percuma sama gue.

Kalo lo perhatikan di poster film Insidious, lo akan menemukan tulisan “from the makers of Paranormal Activity and SAW”. The makers named James Wan, the one who responsible for making us feel sick when we’re watching SAW. Di film ini, Wan tidak menumpahkan segalon darah, bahkan setetes pun. Tapi berhasil membuat gue sedikit (okay, agak sering) menutup mata dan berteriak (walau gak kayak anak perempuan). Penampilan para hantu sangat mengerikan. Mereka datang dengan timing yang tepat tanpa memberikan kita waktu untuk bersiap. Para hantu di sini bukan tipikal hantu yang ngagetin macam hantu-hantu Indonesia. Mereka tampil dengan konsisten, muncul di saat yang tepat di saat lo lagi menyeruput minuman atau ketika tangan lo sedang menyuapkan segenggam popcorn ke dalam mulut. Dan, JRENG..!!! Hantu itu muncul sambil menampilkan wajah old-school. Siapa yang tahan dengan hantu old-school? Berpakaian layaknya noni Belanda, memberikan senyuman lebar. Damn..!! I got goose-bump right now.

Paranormal Activity memang mengejutkan. Tapi, Insidious berhasil menghipnotis gue untuk rutin meremas sandaran lengan di bioskop. Beberapa wajah hantu yang diambil close-up dan gambaran makhluk aneh yang…. gila..!! Gambaran hantu ini mirip dengan film Drag Me To Hell karya Sam Raimi. Tapi lebih mencekam. Warna-warna di setiap scene hampir mirip dengan franchise SAW. Nuansa kelam dan gelap tersaji. Jalan ceritanya memang sedikit aneh di tengah-tengah ketika istilah “astral-projection” disebutkan. But, hell. Stay tune, folks. You are going to jump your ass of the chair at the last scene. Bagi yang gak kuat jantung, jangan pernah nonton ini sendirian. Bagi yang sudah terbiasa nonton film genre ini, lebih baik tonton rame-rame, karena film ini adalah hiburan paling menyenangkan dibandingkan lo nonton Scream 4 yang teramat dangkal.

My score: 8.5/10

Keep It Going


I just wanna fill your days, your life.
Doesn’t offend me when you share your story of your past.
Just don’t shed your tears, I’m here to ease your pain.
I’m here to complete you.
But you’re giving me up.



Find more MISKUZI songs at Myspace Music

Siapa Masuk Surga…?

Saya sungguh beruntung bisa mengikuti seminar Apologetik – Pembelaan Iman yang dilaksanakan di Auditorium MBK. Terlihat sekali minat para umat MBK dari membludaknya peserta. Ruangan Auditorium penuh sesak. Panitia sampai terlihat sedikit kesulitan dalam mengurus tempat duduk dan konsumsi makan malam. Bahkan saya pun mendapatkan makanan yang berbeda dari yang lain. Bapak di sebelah saya mendapatkan sebuah nasi kotak, sedangkan saya mendapatkan sebuah paket dari salah satu restoran makanan cepat saji. Banyak wajah yang saya kenal yang datang dari lingkungan dan wilayah saya selain, tentu saja, orang tua saya. Mama saya terutama yang sangat antusias dalam mengikuti seminar tersebut. Ia dan kedua temannya rela datang lebih sore demi mendapatkan tempat duduk terdepan. Saya datang terlambat ke seminar tersebut bersama ayah saya. Romo (saya lupa nama beliau) sudah menjelaskan hampir separuh dari materi pertama dan saya cukup kesulitan mencari tempat duduk kosong. Panitia pun agak bingung mencarikan saya tempat duduk. Ah, akhirnya saya mendapatkan kursi kosong walaupun berlokasi sangat jauh dari panggung dan sedikit di pojok kanan ruangan. Seminar tersebut memang menarik sampai tiba di sesi tanya jawab. Nah.. Inilah yang membuat saya semakin tertarik.

Seorang muda yang duduk di barisan tengah berdiri sambil memegang microphone dan bertanya kepada Romo. Saya masih ingat dengan jelas apa yang ia tanyakan dan nyatakan saat itu, “Romo. Menurut Konsili Vatikan, dikatakan bahwa ada keselamatan di luar gereja. Apakah itu benar? Kalau itu benar, maka saya adalah orang pertama yang menolaknya. Terima kasih.”

Wow. Saya terkesima dengan pernyataan tersebut. Orang muda tersebut, yang secara kebetulan ternyata adalah teman saya di lingkungan gereja, berani membuat sebuah pernyataan yang menentang Vatikan. Umat peserta sedikit geger. Mereka berbisik-bisik menanggapi perkataan barusan, sedangkan bapak di sebelah saya hanya bisa terkekeh. Namun, yang menjadi masalah adalah, benarkah tidak ada keselamatan di luar gereja? Atau kalau mau lebih disederhanakan lagi, benarkah tidak ada keselamatan di luar agama Katolik? Kemanakah perginya roh/jiwa para penganut agama lain di luar Katolik ketika mereka mati? Ke neraka, ke surga, atau malahan tidak diterima di kedua tempat tersebut? Wah, jadi arwah gentayangan, dong? Serem juga…

Saya akhirnya penasaran dengan permasalahan tersebut. Di rumah, saya langsung googling mengenai Konsili Vatikan II mengenai pernyataan tersebut dan saya mendapati bahwa memang Konsili tersebut mengatakan bahwa “Ada keselamatan di luar gereja”. Tapi… “Tidak ada keselamatan di luar Kristus”. Pertama-tama, Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan UMAT MANUSIA. Tujuan Yesus yang rela lahir di kandang hewan, diletakkan di palungan, yang pada akhirnya disiksa dan mati di kayu salib adalah untuk menghapuskan dosa SELURUH UMAT MANUSIA. Di Alkitab tidak pernah tertulis mengenai misi penyelamatan Yesus hanya untuk umat Kristen saja.

Kedua-dua. Saya sempat berkonsultasi dengan teman saya melalui twitter untuk menanggapi isu ini. Dan teman saya dengan berapi-api langsung menjawab bahwa ia sebagai umat Kristen percaya, yakin, dan mengimani bahwa Yesus bukan penganut fasisme ala Adolf Hitler. Hitler membantai orang Yahudi untuk membuktikan keunggulan ras Aria, ras asli Jerman. Sedangkan Yesus, Dia pernah berjanji untuk menyelamatkan orang Yahudi dan bukan Yahudi, bersunat ataupun tidak bersunat. Janji tersebut tetap kita pegang dan kita hayati dalam kehidupan kita sehari-hari. Kalau kita mau teliti lebih jauh lagi, agama kita, yaitu Katolik, mempunyai definisi yang luar biasa. Definisi dari Katolik adalah UNIVERSAL. Tidak berbatas, tidak terbatas, tidak terkotak-kotakkan, dan tidak membeda-bedakan. “Datanglah kepada-Ku, kamu yang haus dan lapar,” kata Yesus dalam suatu kesempatan. Teman saya sekali lagi menandaskan dan menegaskan dengan keras, “Yesus bukan penganut fasisme.”

Dari penjelasan Konsili Vatikan II ditambah komentar teman saya nan berapi-api, akhirnya saya semakin percaya bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan seluruh umat manusia, tanpa pengecualian. Tapi, jangan senang sambil senyam-senyum dulu. Yesus hanya menyelamatkan mereka yang BERKENAN kepada-Nya dan bagi mereka yang tidak berkenan kepada-Nya maka akan dilempar ke dalam api abadi. Sekarang, tergantung Anda, mau masuk Surga atau Neraka jahanam. 

Sudahkah?

Belum lama ini saya menonton sebuah film yang berjudul “Crossing Over”. Film yang dibintangi Harisson Ford, ini mengisahkan perjuangan para pengungsi dari negara Meksiko yang sedang, akan, dan telah melintasi perbatasan untuk mencari penghidupan dan kehidupan yang lebih baik di negara adidaya Amerika Serikat. Setelah selesai menonton film ini, ingatan saya langsung beralih kepada nasib para pengungsi di negara kita tercinta, Indonesia.

Terakhir yang masih sedikit terngiang di ingatan kita adalah sebuah bencana alam massif yang menimpa kita, yaitu meletusnya Gunung Merapi di Jawa Tengah. Begitu besarnya letusan gunung tersebut, sehingga banyak sekali warga yang pada akhirnya memutuskan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka yang tinggal di sekitar kaki gunung, berbondong-bondong turun mencari tempat perlindungan yang mereka rasa aman dari tiupan awan panas dan lahar dingin. Di tanggal 8 November 2010, menurut data dari sebuah situs berita online, hampir 280.000 jiwa mencari tempat perlindungan dan jumlah tersebut akan terus bertambah setelah pemerintah memperluas zona bahaya. Sayangnya, mereka yang mencoba untuk bertahan hidup dari bencana ini pun seolah terlupakan. Di tempat pengungsian, nasib mereka pun terkatung-katung. Tempat pengungsian yang seharusnya menjadi tempat yang mampu membuat perasaan aman malah menjadi kebalikannya. Kurangnya perhatian dari pihak berwenang meningkatkan garis depresi. Sikap acuh tak acuh pemerintah akhirnya membuat mereka memutuskan untuk kembali ke tempat tinggal masing-masing, walaupun jelas-jelas Gunung Merapi masih berbahaya. Kucuran dana bermilyar-milyar dari pemerintah tidak sampai ke tangan para korban bencana alam. Hak-hak mereka terlupakan.

Kalau Anda lebih jeli melihat, seringkali kita juga membaca di media massa dan juga menonton di televise mengenai aksi-aksi penggusuran oleh sang pemegang wewenang. Rumah-rumah dihancurkan. Tembok-tembok dirobohkan. Dengan berbagai alasan mengenai “penempatan lahan milik pemerintah”, mereka dengan bambu dan traktor menghajar setiap bangunan yang masih berdiri tegak. Walhasil, para “pemilik” tempat tinggal pun harus kembali mengungsi, mencari tempat tinggal yang dirasa lebih layak. Memang jika dilihat dari satu sudut pandang, para penduduk liar tersebut secara jelas mendirikan rumah tanpa ijin, membuat rumah di bantaran-bantaran kali yang pada akhirnya dijadikan alasan sebagai penyebab banjir. Para pengungsi yang sedianya ingin mencari penghidupan yang lebih baik di ibukota pada akhirnya menjadi korban dari arogansi satu pihak.

Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 20 Juni 2011, sedianya kita dingatkan kembali mengenai hak-hak para pengungsi. Tidak usahlah kita memperhatikan para pengungsi akibat perang di Irak, Palestina, atau di negara-negara Afrika yang sedang dirundung perang. Alihkanlah pandangan kita kepada para pengungsi di negara Indonesia sendiri. Nasib para pengungsi korban bencana alam Gunung Merapi, para pengungsi di Sidoarjo akibat lumpur Lapindo yang tidak berkesudahan, para petani di Kebumen yang sedang mengalami konflik dengan pihak otoritas TNI, para pengungsi di Irian Barat yang juga sedang bentrok dengan pemerintah, dan secara khusus, para pengungsi di daerah sekitar Jakarta yang mengalami penggusuran dan pada akhirnya ditelantarkan pemerintah. Tertulis jelas di Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Juga di Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Sudahkah?