KENA LUMPUR KOTOR - KENA AIR BASAH

Saya teringat pada sebuah kenangan yang terkadang membuat saya tertawa sendiri. Sebuah momen yang saya bawa ketika saya mengikuti Live In Purwakarta yang digagas oleh OMK MBK lebaran kemarin. Pada sebuah acara, kami bermain bola di area sawah yang belum ditanami. Tanahnya masih basah dan (kemungkinan besar) bercampur dengan kotoran kerbau. Di atas pematang sawah, Pak Wibi, sang pembawa acara, menjelaskan aturan-aturan bermain sepak bola lumpur dengan berteriak. Namun, memang dasar anak muda, kami malah memilih untuk bercanda sendiri dengan saling melempar lumpur. Belum puas dengan aksi tawuran lumpur, akhirnya kami memutuskan untuk bergulat banting-bantingan di atas lumpur. Hasilnya, baju kami semua tertutup lumpur (yang sepertinya juga bercampur kotoran sapi).

Disinilah sebuah peristiwa tak terlupakan itu terjadi. Saat itu Rm. Agis ikut bergabung. Kebetulan beliau bergabung dengan tim lawan saya.. Seperti biasa, saya dan teman-teman berkomplot merencanakan sebuah “kejahatan” terhadap Rm. Agis. Ketika Pak Wibi meniup peluit, tanda dimulainya permainan, tanpa ba-bi-bu, kami semua menyerang, mendorong, dan menenggelamkan Rm. Agis ke dalam lumpur. Dan saya ingat sekali, sayalah yang menimpuk Rm. Agis dengan dua genggam lumpur basah. Setelah meronta dan berhasil lepas dari tangan-tangan para penjahat, Rm. Agis pun langsung berteriak, “Kurang Ajar..!”, dengan wajah yang kesal, namun terpancar kesenangan dan kepuasan.

ROMO ADALAH MANUSIA BIASA

Sekarang, setelah saya tiba di Jakarta, saya kembali teringat kenangan itu. Rm. Agis saat itu, dengan mengenakan kaos oblong dan celana pendek, terjun ke dalam sawah, bermain bersama, dan akhirnya dijerembapkan ke dalam lumpur. Ketika beliau bangun dari kubangan, wajah dan tubuhnya hampir tertutup lumpur. Ternyata Rm. Agis hanyalah manusia biasa. Ketika kami kotor akibat lumpur, beliau juga kotor. Ketika kami berbasah-basahan ria di sungai untuk membersihkan lumpur, tubuh Rm. Agis juga ikut basah terkena air. Ini membuktikan bahwa seorang Pastor hanyalah manusia biasa juga, sama seperti kita. Mereka tidak water-proof dan juga tidak lumpur-proof. Mereka bisa basah dan juga kotor.

Analogi dari kejadian di atas adalah mereka juga manusia biasa yang jatuh terjerembab ke dalam dosa. Atau bahkan ideologinya bisa luntur terbawa air sehingga mereka bisa keluar dari janji imamatnya. Pernahkah kita sadar bahwa sebagai umat Katolik, kita sangat membutuhkan keberadaan seorang Pastor? Ibu Theresa saat akan ditugaskan ke India, mempunyai sebuah permintaan untuk menyertakan seorang Pastor.

Tanpa adanya Pastor, kita tidak akan bisa menerima Sakramen Baptis. Tanpa mereka, kita tidak bisa menerima Sakramen Tobat, Krisma, Perkawinan, dan Perminyakan Orang Sakit. Dan yang terpenting lagi, kita tidak bisa menerima Sakramen Ekaristi. Karena hanya lewat seorang Pastor segenggam roti dan segelas anggur bisa berubah total, sekali lagi TOTAL, menjadi tubuh dan darah Kristus. Tanpa perantaraan seorang Romo kita tidak bisa bersatu secara utuh dengan Kristus, karena hanya seorang Romo lah yang mempunyai kuasa untuk merubah roti-anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dari sini kita seharusnya sudah melihat, betapa pentingnya arti dari keberadaan seorang Pastor di tengah-tengah kita. Namun, pernahkah kita terpikir untuk menjaganya untuk tidak jatuh ke dalam dosa? Membentengi imannya agar tidak luntur janji Imamatnya? Merawatnya pada hari tua dan menemaninya di saat akhir hayatnya?

Dari pengalaman saya membaca doa panjang yang terselip di lembar bacaan, kita seolah hanya mempunyai kewajiban mendoakan mereka tanpa mempunyai kepedulian untuk merawat meraka. Sekaranglah saatnya bagi kita untuk lebih memperhatikan dan merawat para Pastor kita dalam kehidupan sosial dengan etika, sehingga mereka mampu melaksanakan tugasnya sebagai gembala kita tanpa terpeleset dan terjerembap.

The Interview

(A, sang interviewer)
(B, sang interviewee)

A: Anda tidak Shalat?
B: Tidak
A: Anda seorang Nasrani?
B: Bukan
A: Hindu atau Buddha 'kah..?
B: (hanya menggeleng, terseyum)
A: Yahudi 'kah Anda?
B: Tentu saja bukan...
A: Lalu, apa agama Anda?
B: ... (tersenyum)
A: Siapa yang Anda sembah?
B: Tuhan Yang Maha Kuasa
A: Berarti Anda percaya akan keberadaan Tuhan?
B: Sangat percaya
A: Namun, Anda tidak beragama. Bagaimana bisa?
B: Haruskah aku menganut sebuah agama bila aku sudah percaya pada Tuhan?
A: Ya, karena agama menjanjikan sebuah tujuan yang harus kita capai pada akhirnya
B: Apa?
A: Surga
B: Dan neraka, bukan?
A: Ya..
B: Tapi, bukankah seluruh agama di muka bumi menjanjikan Surga sebagai hadiah dan Neraka sebagai ganjaran dosa?
A: Ya. Namun, setiap agama menjanjikan Surga dan Neraka yang berbeda.
B: Hanya perbedaan konsep, 'kan?
A: Saya kurang mengerti.
B: Konsep dari sebuah Surga adalah sama belaka. Semuanya menjanjikan hal yang serupa. Kesenangan, ketenangan, kebahagiaan, dan kekekalan.
A: Namun, tetap ada perbedaan.
B: Yang membuat perbedaan hanyalah cara menggapainya.
A: ...
B: Setiap agama menawarkan aturan-aturan dan hukum yang harus ditaati, demi menjaga peluang untuk mencapai surga. Aturan dan hukum ini sudah didoktrinkan demi tercapainya konsep dari Surga itu sendiri, sebelum terbentuknya sebuah agama.
A: Berarti Anda sekarang tidak menjalankan aturan dari salah satu agama. Anda bisa digolongkan Atheis.
B: Saya oportunis.
A: Maksudnya?
B: Inti dari setiap Tuhan adalah mengajarkan segala kebaikan dalam berkehidupan sosial. Lalu, jika saya telah melakukan apa yang baik di mata para Tuhan, apa yang akan saya dapat? Hukumankah?
A: ...
B: Biarkan Mereka, para Tuhan berdebat tentang kelayakanku akan Surga.
A: Jadi, menurutmu, kau telah layak masuk Surga?
B: Apakah kau sudah layak masuk Surga, sehingga kau menanyakan pertanyaan macam itu di depanku?
A: ... (seringai getir)
B: (tersenyum)
A: Jadi, Anda memberikan sisanya pada Tuhan?
B: Bukankah seperti itu seharusnya? Bukankah Tuhan yang menentukan kita masuk Surga atau Neraka? Jika Mereka hanya memberikan sebuah aturan yang cuma dijabarkan dalam per lembar kitab suci, lalu sedang apakah Mereka? Hanya duduk diam dan tidur siang?
A: Lalu, apa yang Mereka kerjakan?
B: Menurutmu aku punya tampang sebagai penjaga Surga, yang tahu gerak-gerik-Nya?
A: Jadi, menurut Anda, Tuhan mana yang benar?
B: Tidak ada Tuhan yang benar..!!
A: ...
B: Seorang Muslim akan berseru, "Allahu Akbar, Allah Maha Besar..!!",
Seorang Kristiani akan mengatakan, "Halleluya, pujilah Bapa, Putra, dan Rohkudus",
Seorang Budha dan Hindu akan ngotot bahwa para dewa lah yang mengatur segala kehidupan di dunia ini,
Mana yang benar, menurutmu?
A: ... (tidak ada 'kah?)
B: Tuhan hanya konsep. Percayailah konsep yang menurut kata hatimu benar. Imanilah Tuhanmu dengan segenap hati dan jiwa ragamu.
A: Konsep Ketuhanan mana yang masuk akal?
B: Mereka tidak ada yang masuk akal. Hanya nalar dan iman yang mampu menterjemahkan konsep itu.
A: Tuhan mana yang kau percaya?
B: Tuhan yang Maha Besar.
A: Yang mana?
B: Anda kehabisan pertanyaan...

New Project

Hari ini dan seterusnya, gue ingin dan akan fokus. Sebuah proyek kecil yang akan membuktikan apakah gue siap dan bisa menjadi seorang yang mampu mengusung sebuah jabatan di masyarakat Gereja.

The keyword is "Your Guardian Angel".

Con-Fusion

Agak melelahkan, memang. Tenggorokan mulai tersiksa, kering. Namun, tetap kupaksakan laju kakiku., berderap menembus tirai air yang jatuh deras tanpa ampun dari langit. Lampu jalan membiaskan cahaya kuning, dari tiang tinggi seolah semakin memastikan keberadaan rangkaian air yang jatuh dan menyiksa. Ironis, haus disaat air sedang jatuh melimpah. Kupaksakan leherku mendongak, mencoba mengambil beberapa tetes air dengan mulut, demi mengatasi perihnya haus. Tapi, butiran air hujan menghujam dengan kejam. Tak mampu menahan serangan pada kelopak mata yang telah terkatup, kuputuskan bahwa barusan adalah rencana bodoh yang gagal. Sial. Sekujur tubuh basah, menyerah pada tumpahan air. Berat. Beban tubuh ditambah tumpukan dan tumbukan air membuat mata kakiku gemetar. Gemetar berteriak kelelahan. Namun, langkah kaki ini tak boleh berhenti. Bebatuan tajam menemaniku di tepi jalan.

The Life Of The Un-Manned II

Sambutan pagi itu bukanlah sambutan yang mampu membangkitkan semangat. Sejujurnya, seringai yang mereka coba buat sama sekali tidak mirip dengan seyum. Malah tampak seperti vampire yang sedang mengincar leherku. Aku yakinkan, dagingku alot dan darahku pahit. Campuran bir dan alkohol yang kutenggak membuat darahku seperty jelly yang enggan mengalir, menyumbat pembuluh darah. Langkahku kubuat setebal mungkin. Mataku kubuat semelek mungkin. Saat melintas melewati cermin, ternyata mataku tampak sangat merah. Ah, sudahlah. Jadilah diri sendiri. Manusia yang faktanya sudah malas dengan segala rutinitas. Terjebak dalam dunia yang serba datar dan stagnan. Ingin rasanya segera melarikan diri ke meja kerjaku. Menyelesaikan semua tumpukan berkas dengan dateline mencekik. Aku hampir gila dengan keadaan ini. Tumpukan kertas dan map warna-warni telah menungguku bagai pelangi setelah hujan badai. Namun perbedaannya, pelangi ini muncul ketika terjadi topan badai. Aku sadar, merekalah yang dengan tulus mengucapkan selamat pagi padaku. Tak seperti orang-orang munafik di luar sana. Aku langsung menarik kursiku dan mendudukinya, menyalakan CPU di bawah meja, lalu monitor, menarik laci keyboard, lalu duduk bersandar. Sungguh sebuah kegiatan rutin yang membosankan.

The Life of The Un-Manned

Pagi itu, matahari belum terbit. Dinginnya terasa sampai menusuk hingga ubun-ubun. Aku masih berusaha tertidur, namun kulitku serasa menjerit menahan hawa beku. Jendela yang tidak memiliki tirai, tertembus lampu kuning dari luar kamar. Kupaksakan tanganku bergerak, serampangan, mencari jam meja dengan hasil nihil. Gelas bir di ujung meja kecil malah jatuh dan pecah. "Anjing..!!", gumamku. Sepagi ini telah merepotkan aku. Bahkan aku lupa bahwa aku telah meminum segelas bir tadi malam. Tapi rasanya lebih dari segelas. Dengan putus asa, kusibakkan selimut tipis tanpa motifku, mencari-cari kemana larinya jam kecil terkutuk itu. Sambil bersumpah-serapah, aku mencari-cari di sekitar penjuru kasurku.
Akhirnya kutemukan juga jam sial itu, tertelungkup dengan bahagia di dekat sandal. Ah, pukul 5 pagi, namun matahari belum sedikit pun menampakkan sinarnya. Kota apa ini? Seharusnya mentari sudah bersinar terang menyambut hari baru. Akhirnya, dengan segala kekuatan, aku gerakkan seluruh tubuhku. Berusaha keras untuk bangun dari tidur. Engsel-engsel lengan berteriak dan berdecit, seperti engsel tua yang tak lama diminyaki.
Baiklah. Rutinitas lagi. Hari baru untuk rutinitas yang sama. Semangatku telah pudar. Pikiran positifku sudah terurai bersamaan dengan hembusan nafas beratku. Kupejamkan mata, mencoba mengumpulkan roh yang tersebar di setiap sudut ruangan. Berdoa kepada, siapapun yang mampu mendengarkan. Lalu menjejakan kaki ke lantai, yang akhirnya menjadi tindakan paling konyol pagi hari ini.
"Anjing.." Ucapku lemas sambil memandang telapak kakiku yang berdarah dengan aktifnya.