Generasi Muda di Permukaan Kolam Uang Paman Gober

Siapa yang bilang bahwa uang tidak bisa membeli segalanya? Kalau Anda penggemar sepakbola dan mengikuti perkembangan sepakbola Eropa, maka Anda pastilah sudah mendengar kabar keberhasilan Paris Saint-Germain (PSG) memenangkan liga Perancis untuk keenam kalinya sejak didirikan pada 12 Agustus 1970 silam. Hebatnya lagi, PSG berhak menyandang gelar terbaik di tanah Perancis tersebut ketika liga masih menyisakan delapan pertandingan. Keberhasilan ini tak bisa dilepaskan dari gelontoran duit yang dikeluarkan oleh Nasser Al-Khelaifi.

Kau Tetap di Sini

Aku tak ingat lagi sudah berapa lama sejak kau tertangkap pandangan mata dan merasuk ke dalam pikiran.
Aku tak ingat lagi kapan kau tetap diam di salah satu rongga kepalaku dan tetap mengganggu pikiranku.
Aku tak ingat lagi mengapa kau begitu menarik hati sehingga aku menjatuhkan pilihan kepadamu.
Aku tak ingat lagi alasan apa yang membuatku begitu memujamu.

Yang aku ingat, aku terjebak di dalam tatapanmu saat itu.

Kita berdua saling begandengan sambil melupakan masa lalu.
Kita berdua berjalan saling beriringan meninggalkan jejak cerita.
Kita berdua akhirnya sampai di titik di mana kita akan melanjutkan ke tahap berikutnya.
Kita berdua adalah sepasang manusia yang berbahagia.

Kau tetap setia menjalani ini semua.

Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh amarah.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh kesedihan.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh dendam.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh ketidaksempurnaan.

Dan waktu pun terus berjalan,

Tak sedikit yang mempertanyakan keputusanmu untuk menggandeng tanganku.
Tak sedikit yang mencibirkan bibirnya melihat kau dan aku berjalan beriringan.
Tak sedikit yang mengerutkan dahinya, mendengar bahwa kita akan melanjutkan hubungan ini ke tahap berikutnya.
Tak sedikit yang marah hanya karena kita terlihat bahagia.

Kau tetap ada di sini, bersamaku.

Terima kasih atas semuanya.

Negara Semenjana Bernama Kosta Rika

“Kuda hitam” adalah sebuah julukan yang diberikan kepada sebuah tim yang dipandang memiliki potensi untuk memberi kejutan atau mengganggu dominasi tim-tim besar di dalam sebuah turnamen. Bahkan secara tidak langsung, pemberian julukan tersebut merupakan sebuah pengakuan atas potensi dari sebuah tim, meski secara tidak langsung juga menggambarkan status underdog-nya.

Di Piala Dunia 2014 ini, sebagian analis sepakat untuk menyematkan predikat tersebut kepada Uruguay. Alasannya cukup sederhana, karena selain memiliki barisan pemain top yang berlaga di liga-liga Eropa. Tetapi jangan lupakan prestasi tim Amerika Selatan ini pernah memenangi Piala Dunia edisi tahun 1930 dan 1950. Dengan barisan fakta yang mentereng tersebut, tak ada alasan bagi Inggris dan Italia untuk tidak mewaspadai Uruguay yang bergabung di dalam grup neraka.

Sayangnya, grup di setiap Piala Dunia tidak diisi oleh tiga tim saja, melainkan empat. Selain negara-negara besar barusan, masih ada Kosta Rika yang berhasil lolos dari babak penyisihan grup zona Concacaf bersama Amerika Serikat, Honduras, dan Meksiko. Tak ada yang memperhitungkan kekuatan dari tim-tim yang berasal dari wilayah Amerika Tengah dan Utara. Mereka adalah negara kelas dua di ranah persepakbolaan dunia.

Skuat Uruguay memiliki striker mematikan di diri Edinson Cavani dan Luis Suarez, jaminan paten lini belakang dari Diego Lugano, serta penghancur lini tengah lawan Walter Gargano. Nama-nama tersebut tentunya memiliki kualitas di atas Joel Campbell, Bryan Ruiz, Diego Calvo, dan Oscar Duarte. Penggemar EPL mungkin saja mengenal Campbell sebagai pemain Arsenal dan Ruiz yang membela Fulham. Tetapi siapa dua nama yang disebut terakhir? Tidak ada yang mengenalnya, kecuali 4,6 juta penduduk Kosta Rika.

Tetapi sebuah kejutan pun terjadi. Nubuat para nabi tak terjadi. Kosta Rika yang diperhitungkan bakal menjadi korban bullying di grup ini tampil dengan gagah berani. Tiga gol bersarang di gawang Fernando Muslera menjadi bukti perlawanan keras dari mereka yang kerap dianggap anak bawang. Hal ini berhasil membuka mata para penonton bola, bahwa deretan nama besar dan sejarah mengkilap tak menjamin kualitas permainan sebuah tim.

Dari segi permainan, Uruguay memang berhasil menguasai pertandingan dengan penguasaan bola hingga 56%. Sayangnya penguasaan tersebut tidak didukung oleh kualitas mengumpan bola. Uruguay hanya berhasil mengirimkan76%  bola matang, sedangkan Kosta Rika unggul dengan 78% umpan matang. Perbedaan tersebut memang tipis, tetapi Kosta Rika mampu memanfaatkan peluang dengan lebih efektif.

Dari 13 shot yang dilepaskan Kosta Rika, 4 di antaranya merupakan shot-on-target, dengan keberhasilan mencetak tiga gol. Bandingkan dengan Uruguay yang melepas tembakan sebanyak 9 kali, degan hanya 3 shot yang mengarah ke gawang. Lebih gilanya lagi tidak ada satu pun tendangan yang dilepaskan di area 6-yard-box. Berbeda dengan Kosta Rika yang 23% tendangannya dilakukan di area tersebut.

Hasilnya tentu sudah bisa pembaca simak di berbagai media massa: “Uruguay Ditaklukan Negara Semenjana”. Campbell, Oscar Duarte, dan Marco Urena membuat Luis Suarez seolah ingin segera menggigit salah satu dari pemain Kosta Rika. Tangannya mulai bergerak-gerak resah, gatal ingin memblok bola yang mengarah ke gawangnya, seperti yang pernah ia lakukan kala melawan Ghana beberapa waktu silam. Uruguay bertransformasi dan terjebak dalam frustasi. Puncaknya adalah ketika Maxi Pereira diminta wasit untuk segera berkontemplasi memikirkan pelanggarannya usai menendang tulang kering dari siapa-itu-namanya-saya-tidak-kenal.

Tepat setelah insiden tersebut, sang pengadil langsung meniup peluit panjang. Pertandingan pertama di grup neraka berakhir. Kapten Lugano tak bisa menahan keringat getir yang mengalir di wajahnya. Atas kejutan tersebut komentator di TV mengatakan: “Inilah Piala Dunia”, meski perkataan tersebut kurang tepat. Ini bukanlah sekedar Piala Dunia. Ini adalah Kosta Rika.

Lupakan kemenangan fenomenal Belanda atas Spanyol.


Costa Rica has stolen the attention.


Football is Coming Home

Menjelang detik-detik pembukaan Piala Dunia 2014, sebagian masyarakat Brazil dikabarkan kembali tumpah ke jalanan. Bukan untuk memberikan sambutan atas pesta akbar tersebut, tetapi untuk memprotes penyelenggaraan even empat tahunan tersebut. Para demonstran itu (masih) mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap lebih memilih untuk menghambur-hamburkan duit hanya untuk membangun stadion, ketimbang “memberi makan” rakyatnya sendiri.

Pemerintah Brazil pernah berjanji untuk mengamankan even bersejarah ini. Wajar saja, karena Brazil tak ingin kehilangan kehormatannya sebagai “Negerinya Sepakbola”. Hal tersebut terlihat jelas dari penuhnya stadion Arena De Sao Paulo yang tampak dikuasai oleh massa berbaju kuning, dengan minoritas berbaju kotak-kotak putih-merah (saya melewatkan acara pembukaan Piala Dunia 2014 yang diisi oleh Jenifer Lopez alias J-Lo, Pitbull, dan artis lokal Claudia Leitte, karena sama sekali tidak tertarik dengan hiburan sampingan medioker).

Massa berbaju kuning tersebut tentunya bukanlah massa dari salah satu partai politik yang memiliki ketua umum yang doyan memeluk Teddy Bear. Massa berbaju kuning tersebut adalah mereka yang telah siap untuk berteriak, “Football is coming home!”. Pulangnya sepakbola ke tanah kelahirannya (persetan dengan Inggris) ditandai oleh gemuruhnya stadion kala national anthem “Hino Nacional Brasileiro” dimainkan. Saya belum pernah menemukan sebuah atmosfer yang membikin bulu kuduk berdiri dan air mata haru menetes, kecuali saat menyanyikan “Indonesia Raya” di Gelora Bung Karno. Sebuah atmosfer yang akan membuat lutut siapa pun gemetar ketakutan.

Tetapi ada satu hal yang sangat menarik di pertandingan tersebut. Pihak penyelenggara mengawali partai pembuka tersebut dengan melepas tiga ekor burung merpati putih. Tanpa harus mendengar pendapat dari komentator di  televisi, kita pun sudah mengerti bahwa burung merpati adalah lambang dari perdamaian. “Di dalam lapangan mereka boleh bertarung memperebutkan kemenangan, tetapi nilai-nilai sportivitas tetap harus dijunjung tinggi,” ucap sang komentator.

Tidak ada yang salah dari komentar barusan, tetapi saya merasa bahwa tiga burung merpati ini tidak hanya ditujukan untuk 22 gladiator di lapangan hijau. Tiga simbol perdamaian tersebut seolah-olah membawa pesan bahwa sepakbola adalah pembawa damai di muka bumi ini. Sepakbola adalah sepakbola. Bukan sekedar cabang olahraga, tetapi lebih kepada seni pertunjukan dengan 22 orang seniman di dalamnya. Sejatinya sebuah pertunjukan diselenggarakan untuk  menghibur para penonton, baik yang ada di dalam, di luar, maupun mereka yang menontonnya di depan TV sambil memakan kacang kulit di belahan bumi yang lain.

Terlepas dari demonstrasi yang terjadi lama setelah Brazil resmi ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, football is coming home, sepakbola tengah kembali pulang ke pangkuan bundanya (lagi-lagi, persetan Inggris dengan segala klaimnya soal negara asal sepakbola). Seorang anak yang pulang wajib disambut dengan pelukan gembira dan penuh rasa bangga. Sambutan tersebut terlihat jelas saat Neymar Jr. mencetak gol penyama kedudukan. Saya yakin hampir semua warga Brazil melompat dan mengepalkan tangannya ke udara.

Keresahan masyarakat Brazil atas kebijakan pemerintah dan juga FIFA (baca: Sepp Blatter) terlupakan sejenak. Kegembiraan para penganut agama sepakbola di seluruh dunia baru dimulai. Pecinta sepakbola Brazil pun kembali jejingkrakan kala Oscar menutup laga dengan sebuah gol visioner hasil dari sepakan kaki kanannya.

Football is coming home..!! Let’s celebrate.


Kesetiaan dan Pengabdian Jason Statham Terhadap Genre Action

Tulisan ini adalah tulisan pertama semenjak terakhir kalinya saya nge-blog. Tertundanya keinginan untuk meng-update situs blog ini salah satunya dikarenakan oleh kekurangan topik bahasan dan yang paling utama adalah, rasa MALAS. Tapi tiba-tiba di kepala saya terbersit sebuah ide untuk menuliskan sebuah artikel yang membahas soal loyalitas dan pengabdian, namun dari sisi seorang bintang film, aktor kenamaan Hollywood yang sukses berkecimpung di genre action movie.

Nama aktor yang saya bahas atau setidaknya saya jadikan tolok ukur pengabdian adalah Jason Statham. Ia adalah seorang aktor asli Inggris yang dilahirkan di kota Shirebrook, 46 tahun yang lalu. Selain aktor, Statham adalah seorang praktisi ilmu atau seni bela diri. Bahkan menurut beberapa sumber, ia sempat akan masuk ke kompetisi UFC (Ultimate Fighting Competition), sebuah kompetisi Mixed Martial Arts (MMA) yang saat ini tengah naik daun.



Singkat kata, Statham pertama kali mencuri perhatian saya kala ia bermain film Lock, Stock, and Two Smoking Barrels. Perannya di film tersebut memang belum terlihat mencolok. Ia juga belum memamerkan kehebatannya dalam bertarung. Namun sosok sebagai seorang jagoan benar-benar terlihat kala ia bermain film The Transporter. Di film tersebut, ia berperan sebagai Frank Martin yang hebat sebagai juru mudi, dan juga ahli dalam bertarung. Mulai saat itulah, Jason Statham resmi menjadi salah satu bintang film idola saya.

Kesuksesan The Transporter secara otomatis membuat karir Statham terbilang naik, meski tidak terlalu menanjak. Wajar, karena aktor yang kini memacari Rosie Huntington-Whiteley ini lebih memilih untuk bermain di film-film kelas B. Sebut saja Crank, War, In the Name of the King, dan juga Death Race. Kesemuanya tidak masuk ke dalam daftar box office. Namun patut diakui, film-film tersebut cukup mencuri perhatian (kecuali In the Name of the King yang menurut saya ancur-ancuran dari segi apa pun).



Statham pun kini memiliki label baru: “Aktor Action Terbaik Kelas B”. Bagi sebagian kalangan, label tersebut tentunya sangat tidak mengenakkan. Siapa sih yang ingin dilabeli aktor kelas B? Siapa juga yang tidak ingin menjadi populer dan meningkatkan level ke kelas A? Meskipun mungkin banyak pertanyaan sejenis barusan mampir ke telinga Statham, nyatanya ia tetap setia.

Statham tak seperti Dwayne “The Rock” Johnson yang terjun ke dunia film dan bermain di film “aneh” seperti Tooth Fairy. Statham juga bukan Vin Diesel yang memiliki modal terbaik untuk menjadi bintang film action Hollywood, tapi malah bermain di The Pacifier yang ditujukan untuk anak-anak. Statham adalah Statham. Meski kemungkinan besar Statham memiliki pendapatan yang lebih kecil dibandingkan kedua bintang barusan, ia terus setia untuk bermain di film ber-genre action. Ia seolah tak ingin merusak karir yang telah dibangunnya.

Kesetiaan terhadap genre action tersebut akhirnya membuatnya menjadi salah satu tokoh sentral terbaik di perindustrian film barat saat ini. Banyak penggila film action yang mengidolai Statham saat ini. Bahkan, tak sedikit yang terang-terangan “mengabdi” pada pria kelahiran 26 Juli ini.

Gue selalu menikmati film-filmnya Statham, apapun itu,” salah seorang teman saya mengungkapkan pengabdiannya kepada sang aktor Inggris. “Terakhir, gue nonton film Homefront. Agak nggak realistis memang, karena logat Statham yang masih kentel Bristish, but who cares? I enjoy the fights!

Statham pun juga tak segan memilih beberapa peran yang terbilang kecil di beberapa film. Sebut saja The One yang mendapuk Jet Li sebagai tokoh utamanya, atau The Expendables yang perhatiannya terpusat pada sosok Sylvester Stallone. Statham dengan rela hati menyisihkan dirinya untuk menjadi peran pembantu di kedua film tersebut yang secara garis besar akan mudah dilupakan oleh orang banyak.

Entah kerendahan hati atau memang butuh duit untuk makan, tetapi Statham nyatanya tetap ogah untuk mencoba hal-hal lain, seperti berperan dalam sebuah film komedi atau drama, setidaknya hingga detik ini. Namun kesetiaan sang mantan atlet terjun indah ini di genre action pantas mendapatkan applause.



Berkat kesetiaannya itu pula, sang aktor menjadi tokoh action Hollywood terbaik di era modern saat ini. Tak sedikit yang mengatakan bahwa Jason Statham adalah Chuck Norris baru yang juga lebih suka mengabdi di dunia perfilman kelas B.

Suka atau tidak, Jason Statham adalah salah satu sosok yang bisa menjadi contoh bahwa pengabdian dan kesetiaan akan membuahkan sebuah popularitas tersendiri, namun jauh dari hingar-bingar para kaum yang hidup di kelas A.

Lambang Privilise Lewat Sirine


Jaman gue kecil, gue selalu tertarik dengan yang namanya film action. Kebanyakan yang gue tonton adalah film-film action yang sangat ngejual adegan tembak-tembakan. Seperti layaknya sebuah film action, hampir kebanyakan bertemakan perang antara si jahat dan si baik. Selain itu, di film tersebut juga (hampir) selalu melibatkan aparat keamanan, khususnya polisi.

Di hampir semua film yang gue tonton, polisi akan selalu dateng dengan menggunakan mobil yang dilengkapi dengan sirine dan lampu berwarna biru-merah. Di saat itu juga, gue sadar bahwa dengan menggunakan sirine, polisi bisa ngasih peringatan buat orang-orang di sekitarnya untuk minggir ke tepi jalan dan memprioritaskan jalanan untuk pihak penegak hukum. Tujuannya jelas, supaya mereka bisa tiba di tempat kejadian perkara dengan cepat.

Kini, sirine seolah bergeser maknanya. Di kota Jakarta tercinta, sirine justru sudah menjadi barang yang tidak sekedar berharga, tapi juga mempunyai nilai yang tinggi. Dengan memilikinya di dalam kendaraan, kita seolah telah mampu memiliki sebuah nilai tersendiri dan patut menjadi sebuah prioritas, terutama kala menghadapi lalu lintas di jalanan Jakarta.

Baru-baru ini, gue secara kebetulan berpapasan dengan iring-iringan kendaraan milik Cagub DKI Jakarta. Cukup mewah memang, dengan menggunakan sebuah van bikinan Lexus dan satu Alphard hitam yang menggunakan kaca film gelap. Bukan hal yang istimewa memang, tapi yang ngebuat gue sedikit kesel adalah penggunaan sirine yang menurut gue pribadi sedikit mengganggu.

Entah apa tujuan dari penggunaan sirine tersebut. Lalu lintas di depannya juga gak macet-macet amat. Hampir gak ada mobil dan motor di jalanan tersebut. Terlebih lagi, gak ada kemacetan atau tumpukan kendaraan yang menyebabkan kemacetan di jalan raya tersebut. Jadi, atas dasar apa mobil dengan gambar stiker cagub kumisan tersebut nyalain sirine di tengah-tengah jalanan sepi?

Gue menyempatkan diri untuk nanya ke mbah Google mengenai aturan penggunaan sirine. Alhasil, mbah Google gak mengecewakan gue. Gue menemukan cukup banyak blog yang menuliskan peraturan-peraturan penggunaan sirine. Buat lebih jelasnya, gue coba kasih beberapa aturan yang gue dapet dari situs resmi TMC Polda Metro Jaya.

Penggunaan sirine sudah diatur di dalam UU Nomor 14 tahun 1992 dan Pasal 72 PP Nomor 43 tahun 1993 yang membahas tentang Prasarana dan Lalu lintas. Dengan jelas, peraturan tersebut menyatakan bahwa isyarat peringatan dengan bunyi berupa sirine hanya dapat digunakan oleh:
  1. Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, termasuk kendaraan yang diperbantukan pemadam kebakaran. Ambulans yang sedang mengangkut orang sakit.
  2. Kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah.
  3. Kendaraan petugas penegak hokum tertentu yang sedang melaksanakan tugas.
  4. Kendaraan petugas pengawal kendaraan KEPALA NEGARA atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara.
Peraturan tersebut semakin ditegaskan lewat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan Pengemudi. Di Pasal 66 disebutkan bahwa lampu isyarat berwarana biru hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor:
  1. Petugas penegak hukum tertentu.
  2. Dinas Pemadam Kebakaran.
  3. Penanggulangan Bencana.
  4. Ambulans.
  5. Unit Palang Merah.
  6. Mobil Jenazah.

Peraturan di atas dilengkapi dengan aturan di pasal 67 yang menyebutkan bahwa lampu isyarat berwarna kuning hanya boleh dipasang pada kendaraan bermotor
  1. Untuk membangun, merawat, atau membersihkan fasilitas umum.
  2. Untuk menderek kendaraan.
  3. Untuk pengangkut bahan berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, peti kemas dan alat berat.
  4. Yang mempunyai ukuran lebih dari ukuran maksimum yang diperbolehkan untuk dioperasikan di jalan.
  5. Milik instasi pemerintah yang dipergunakan dalam rangka keamanan BARANG yang diangkut.

Salah satu mobil polisi dengan lampu sirinenya
Dari yang gue baca di peraturan-peraturan tersebut, gue sama sekali gak menemukan kalimat bahwa “Cagub Boleh Menggunakan Sirine”. Buat lebih jelasnya, cuma iring-iringan Kepala Negara yang diperbolehkan untuk menggunakan sirine. Selain itu, kendaraan milik instansi pemerintah yang lagi mengangkut BARANG tertentu diperbolehkan untuk menyalakan dan menggunakan sirine berwarna kuning.

Jadi, selain kendaraan-kendaraan yang ada di dalam peraturan, kayaknya gak ada lagi kendaraan yang boleh menggunakan sirine.

Sirine bukan alat untuk melambangkan privilise semata, juga bukan dijadikan sebagai lampu untuk mengusir orang-orang atau kendaraan-kendaraan yang menghalangi perjalanan. Sayangnya, mayoritas orang “penting” dan berduit sudah menggunakan lampu dan bunyi-bunyian sirine sebagai lambang untuk menunjukkan eksistensi, sekaligus sikap arogan.

Miris kalo melihat Jakarta masih dan akan tetap dikuasai oleh orang-orang kayak gitu.

Sekali Lagi

Sekali lagi… dan lagi-lagi…
Logika dan perasaan ini beradu hebat
Ketika di saat aku rapuh dan butuh sebuah tempat mengaduh
Terduduk sendiri sambil menyesap cairan herbal hangat pahit di atas kasur tertutup sprei putih
Sesekali menghisap sebatang rokok yang hampir terbakar habis
Aku seharusnya merasa senang saat kau dengan penuh perhatiannya mengingatkanku
Jangan lupa makan
Jangan lupa minum obat
Istirahat, jangan kecapekan
Namun, entah aku malah semakin merasa sesak
Sebuah perasaan bergantung-gantung di atas kepalaku
Tangan dan persendian tiba-tiba hilang kendali
Gemetar… entah karena marah atau sudah terlalu lelah menahan beban tak terlihat
Ini bukan pertama kalinya, bahkan bukan kedua kalinya
Ini kesekian kalinya aku harus menahan mulutku untuk tak mengeluarkan teriakan “LUPAKAN DIA..!!”
Tapi tidak. Kau menyayanginya walau kau ragu apakah dia menyayangimu.
Aku menyayangimu walau kau tak tahu sedalam apa aku telah berkubang dalam lumpur biadab ini
Sudahlah…
Setidaknya kau tahu