Siapa
yang bilang bahwa uang tidak bisa membeli segalanya? Kalau Anda
penggemar sepakbola dan mengikuti perkembangan sepakbola Eropa, maka
Anda pastilah sudah mendengar kabar keberhasilan Paris Saint-Germain
(PSG) memenangkan liga Perancis untuk keenam kalinya sejak didirikan
pada 12 Agustus 1970 silam. Hebatnya lagi, PSG berhak menyandang
gelar terbaik di tanah Perancis tersebut ketika liga masih menyisakan
delapan pertandingan. Keberhasilan ini tak bisa dilepaskan dari
gelontoran duit yang dikeluarkan oleh Nasser Al-Khelaifi.
Black Cadaver's Zero
Black Cadaver's Zero Blog
Kau Tetap di Sini
Aku tak ingat lagi sudah berapa lama sejak kau tertangkap pandangan mata dan merasuk ke dalam pikiran.
Aku tak ingat lagi kapan kau tetap diam di salah satu rongga kepalaku dan tetap mengganggu pikiranku.
Aku tak ingat lagi mengapa kau begitu menarik hati sehingga aku menjatuhkan pilihan kepadamu.
Aku tak ingat lagi alasan apa yang membuatku begitu memujamu.
Yang aku ingat, aku terjebak di dalam tatapanmu saat itu.
Kita berdua saling begandengan sambil melupakan masa lalu.
Kita berdua berjalan saling beriringan meninggalkan jejak cerita.
Kita berdua akhirnya sampai di titik di mana kita akan melanjutkan ke tahap berikutnya.
Kita berdua adalah sepasang manusia yang berbahagia.
Kau tetap setia menjalani ini semua.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh amarah.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh kesedihan.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh dendam.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh ketidaksempurnaan.
Dan waktu pun terus berjalan,
Tak sedikit yang mempertanyakan keputusanmu untuk menggandeng tanganku.
Tak sedikit yang mencibirkan bibirnya melihat kau dan aku berjalan beriringan.
Tak sedikit yang mengerutkan dahinya, mendengar bahwa kita akan melanjutkan hubungan ini ke tahap berikutnya.
Tak sedikit yang marah hanya karena kita terlihat bahagia.
Kau tetap ada di sini, bersamaku.
Terima kasih atas semuanya.
Aku tak ingat lagi kapan kau tetap diam di salah satu rongga kepalaku dan tetap mengganggu pikiranku.
Aku tak ingat lagi mengapa kau begitu menarik hati sehingga aku menjatuhkan pilihan kepadamu.
Aku tak ingat lagi alasan apa yang membuatku begitu memujamu.
Yang aku ingat, aku terjebak di dalam tatapanmu saat itu.
Kita berdua saling begandengan sambil melupakan masa lalu.
Kita berdua berjalan saling beriringan meninggalkan jejak cerita.
Kita berdua akhirnya sampai di titik di mana kita akan melanjutkan ke tahap berikutnya.
Kita berdua adalah sepasang manusia yang berbahagia.
Kau tetap setia menjalani ini semua.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh amarah.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh kesedihan.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh dendam.
Meskipun aku adalah laki-laki yang penuh ketidaksempurnaan.
Dan waktu pun terus berjalan,
Tak sedikit yang mempertanyakan keputusanmu untuk menggandeng tanganku.
Tak sedikit yang mencibirkan bibirnya melihat kau dan aku berjalan beriringan.
Tak sedikit yang mengerutkan dahinya, mendengar bahwa kita akan melanjutkan hubungan ini ke tahap berikutnya.
Tak sedikit yang marah hanya karena kita terlihat bahagia.
Kau tetap ada di sini, bersamaku.
Terima kasih atas semuanya.
Negara Semenjana Bernama Kosta Rika
“Kuda hitam” adalah
sebuah julukan yang diberikan kepada sebuah tim yang dipandang memiliki potensi
untuk memberi kejutan atau mengganggu dominasi tim-tim besar di dalam sebuah
turnamen. Bahkan secara tidak langsung, pemberian julukan tersebut merupakan
sebuah pengakuan atas potensi dari sebuah tim, meski secara tidak langsung juga
menggambarkan status underdog-nya.
Di Piala Dunia 2014
ini, sebagian analis sepakat untuk menyematkan predikat tersebut kepada
Uruguay. Alasannya cukup sederhana, karena selain memiliki barisan pemain top yang
berlaga di liga-liga Eropa. Tetapi jangan lupakan prestasi tim Amerika Selatan
ini pernah memenangi Piala Dunia edisi tahun 1930 dan 1950. Dengan barisan
fakta yang mentereng tersebut, tak ada alasan bagi Inggris dan Italia untuk
tidak mewaspadai Uruguay yang bergabung di dalam grup neraka.
Sayangnya, grup di
setiap Piala Dunia tidak diisi oleh tiga tim saja, melainkan empat. Selain
negara-negara besar barusan, masih ada Kosta Rika yang berhasil lolos dari
babak penyisihan grup zona Concacaf bersama Amerika Serikat, Honduras, dan
Meksiko. Tak ada yang memperhitungkan kekuatan dari tim-tim yang berasal dari
wilayah Amerika Tengah dan Utara. Mereka adalah negara kelas dua di ranah
persepakbolaan dunia.
Skuat Uruguay memiliki
striker mematikan di diri Edinson Cavani dan Luis Suarez, jaminan paten lini
belakang dari Diego Lugano, serta penghancur lini tengah lawan Walter Gargano. Nama-nama
tersebut tentunya memiliki kualitas di atas Joel Campbell, Bryan Ruiz, Diego
Calvo, dan Oscar Duarte. Penggemar EPL mungkin saja mengenal Campbell sebagai
pemain Arsenal dan Ruiz yang membela Fulham. Tetapi siapa dua nama yang disebut
terakhir? Tidak ada yang mengenalnya, kecuali 4,6 juta penduduk Kosta Rika.
Tetapi sebuah kejutan
pun terjadi. Nubuat para nabi tak terjadi. Kosta Rika yang diperhitungkan bakal
menjadi korban bullying di grup ini
tampil dengan gagah berani. Tiga gol bersarang di gawang Fernando Muslera
menjadi bukti perlawanan keras dari mereka yang kerap dianggap anak bawang. Hal
ini berhasil membuka mata para penonton bola, bahwa deretan nama besar dan
sejarah mengkilap tak menjamin kualitas permainan sebuah tim.
Dari segi permainan,
Uruguay memang berhasil menguasai pertandingan dengan penguasaan bola hingga
56%. Sayangnya penguasaan tersebut tidak didukung oleh kualitas mengumpan bola.
Uruguay hanya berhasil mengirimkan76%
bola matang, sedangkan Kosta Rika unggul dengan 78% umpan matang.
Perbedaan tersebut memang tipis, tetapi Kosta Rika mampu memanfaatkan peluang
dengan lebih efektif.
Dari 13 shot yang dilepaskan Kosta Rika, 4 di antaranya
merupakan shot-on-target, dengan
keberhasilan mencetak tiga gol. Bandingkan dengan Uruguay yang melepas tembakan
sebanyak 9 kali, degan hanya 3 shot yang
mengarah ke gawang. Lebih gilanya lagi tidak ada satu pun tendangan yang
dilepaskan di area 6-yard-box. Berbeda
dengan Kosta Rika yang 23% tendangannya dilakukan di area tersebut.
Hasilnya tentu sudah
bisa pembaca simak di berbagai media massa: “Uruguay Ditaklukan Negara
Semenjana”. Campbell, Oscar Duarte,
dan Marco Urena membuat Luis Suarez
seolah ingin segera menggigit salah satu dari pemain Kosta Rika. Tangannya
mulai bergerak-gerak resah, gatal ingin memblok bola yang mengarah ke
gawangnya, seperti yang pernah ia lakukan kala melawan Ghana beberapa waktu silam.
Uruguay bertransformasi dan terjebak dalam frustasi. Puncaknya adalah ketika
Maxi Pereira diminta wasit untuk segera berkontemplasi memikirkan
pelanggarannya usai menendang tulang kering dari siapa-itu-namanya-saya-tidak-kenal.
Tepat setelah insiden
tersebut, sang pengadil langsung meniup peluit panjang. Pertandingan pertama di
grup neraka berakhir. Kapten Lugano tak bisa menahan keringat getir yang
mengalir di wajahnya. Atas kejutan tersebut komentator di TV mengatakan: “Inilah
Piala Dunia”, meski perkataan tersebut kurang tepat. Ini bukanlah sekedar Piala
Dunia. Ini adalah Kosta Rika.
Lupakan kemenangan
fenomenal Belanda atas Spanyol.
Costa Rica has stolen the attention.
Football is Coming Home
Menjelang detik-detik
pembukaan Piala Dunia 2014, sebagian masyarakat Brazil dikabarkan kembali
tumpah ke jalanan. Bukan untuk memberikan sambutan atas pesta akbar tersebut,
tetapi untuk memprotes penyelenggaraan even empat tahunan tersebut. Para
demonstran itu (masih) mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap lebih
memilih untuk menghambur-hamburkan duit hanya untuk membangun stadion,
ketimbang “memberi makan” rakyatnya sendiri.
Pemerintah Brazil
pernah berjanji untuk mengamankan even bersejarah ini. Wajar saja, karena
Brazil tak ingin kehilangan kehormatannya sebagai “Negerinya Sepakbola”. Hal
tersebut terlihat jelas dari penuhnya stadion Arena De Sao Paulo yang tampak
dikuasai oleh massa berbaju kuning, dengan minoritas berbaju kotak-kotak
putih-merah (saya melewatkan acara pembukaan Piala Dunia 2014 yang diisi oleh
Jenifer Lopez alias J-Lo, Pitbull, dan artis lokal Claudia Leitte, karena sama
sekali tidak tertarik dengan hiburan sampingan medioker).
Massa berbaju kuning
tersebut tentunya bukanlah massa dari salah satu partai politik yang memiliki
ketua umum yang doyan memeluk Teddy Bear. Massa berbaju kuning tersebut adalah
mereka yang telah siap untuk berteriak, “Football
is coming home!”. Pulangnya sepakbola ke tanah kelahirannya (persetan
dengan Inggris) ditandai oleh gemuruhnya stadion kala national anthem “Hino Nacional Brasileiro” dimainkan. Saya belum
pernah menemukan sebuah atmosfer yang membikin bulu kuduk berdiri dan air mata
haru menetes, kecuali saat menyanyikan “Indonesia Raya” di Gelora Bung Karno.
Sebuah atmosfer yang akan membuat lutut siapa pun gemetar ketakutan.
Tidak ada yang salah
dari komentar barusan, tetapi saya merasa bahwa tiga burung merpati ini tidak
hanya ditujukan untuk 22 gladiator di lapangan hijau. Tiga simbol perdamaian
tersebut seolah-olah membawa pesan bahwa sepakbola adalah pembawa damai di muka
bumi ini. Sepakbola adalah sepakbola. Bukan sekedar cabang olahraga, tetapi
lebih kepada seni pertunjukan dengan 22 orang seniman di dalamnya. Sejatinya
sebuah pertunjukan diselenggarakan untuk
menghibur para penonton, baik yang ada di dalam, di luar, maupun mereka
yang menontonnya di depan TV sambil memakan kacang kulit di belahan bumi yang
lain.
Terlepas dari
demonstrasi yang terjadi lama setelah Brazil resmi ditunjuk menjadi tuan rumah
Piala Dunia 2014, football is coming home,
sepakbola tengah kembali pulang ke pangkuan bundanya (lagi-lagi, persetan
Inggris dengan segala klaimnya soal negara asal sepakbola). Seorang anak yang
pulang wajib disambut dengan pelukan gembira dan penuh rasa bangga. Sambutan
tersebut terlihat jelas saat Neymar Jr. mencetak gol penyama kedudukan. Saya
yakin hampir semua warga Brazil melompat dan mengepalkan tangannya ke udara.
Keresahan masyarakat
Brazil atas kebijakan pemerintah dan juga FIFA (baca: Sepp Blatter) terlupakan
sejenak. Kegembiraan para penganut agama sepakbola di seluruh dunia baru
dimulai. Pecinta sepakbola Brazil pun kembali jejingkrakan kala Oscar menutup
laga dengan sebuah gol visioner hasil dari sepakan kaki kanannya.
Kesetiaan dan Pengabdian Jason Statham Terhadap Genre Action
Tulisan ini adalah tulisan pertama semenjak terakhir kalinya
saya nge-blog. Tertundanya keinginan
untuk meng-update situs blog ini salah satunya dikarenakan oleh
kekurangan topik bahasan dan yang paling utama adalah, rasa MALAS. Tapi
tiba-tiba di kepala saya terbersit sebuah ide untuk menuliskan sebuah artikel
yang membahas soal loyalitas dan pengabdian, namun dari sisi seorang bintang
film, aktor kenamaan Hollywood yang sukses berkecimpung di genre action movie.
Nama aktor yang saya bahas atau setidaknya saya jadikan
tolok ukur pengabdian adalah Jason Statham. Ia adalah seorang aktor asli
Inggris yang dilahirkan di kota Shirebrook, 46 tahun yang lalu. Selain aktor,
Statham adalah seorang praktisi ilmu atau seni bela diri. Bahkan menurut
beberapa sumber, ia sempat akan masuk ke kompetisi UFC (Ultimate Fighting
Competition), sebuah kompetisi Mixed Martial Arts (MMA) yang saat ini tengah
naik daun.
Singkat kata, Statham pertama kali mencuri perhatian saya
kala ia bermain film Lock, Stock, and Two
Smoking Barrels. Perannya di film tersebut memang belum terlihat mencolok.
Ia juga belum memamerkan kehebatannya dalam bertarung. Namun sosok sebagai
seorang jagoan benar-benar terlihat kala ia bermain film The Transporter. Di film tersebut, ia berperan sebagai Frank Martin
yang hebat sebagai juru mudi, dan juga ahli dalam bertarung. Mulai saat itulah,
Jason Statham resmi menjadi salah satu bintang film idola saya.
Kesuksesan The
Transporter secara otomatis membuat karir Statham terbilang naik, meski
tidak terlalu menanjak. Wajar, karena aktor yang kini memacari Rosie Huntington-Whiteley
ini lebih memilih untuk bermain di film-film kelas B. Sebut saja Crank, War, In the Name of the King,
dan juga Death Race. Kesemuanya tidak
masuk ke dalam daftar box office. Namun
patut diakui, film-film tersebut cukup mencuri perhatian (kecuali In the Name of the King yang menurut
saya ancur-ancuran dari segi apa pun).
Statham pun kini memiliki label baru: “Aktor Action Terbaik
Kelas B”. Bagi sebagian kalangan, label tersebut tentunya sangat tidak
mengenakkan. Siapa sih yang ingin
dilabeli aktor kelas B? Siapa juga yang tidak ingin menjadi populer dan
meningkatkan level ke kelas A? Meskipun mungkin banyak pertanyaan sejenis
barusan mampir ke telinga Statham, nyatanya ia tetap setia.
Statham tak seperti Dwayne “The Rock” Johnson yang terjun ke
dunia film dan bermain di film “aneh” seperti Tooth Fairy. Statham juga bukan Vin Diesel yang memiliki modal
terbaik untuk menjadi bintang film action Hollywood, tapi malah bermain di The Pacifier yang ditujukan untuk anak-anak.
Statham adalah Statham. Meski kemungkinan besar Statham memiliki pendapatan
yang lebih kecil dibandingkan kedua bintang barusan, ia terus setia untuk
bermain di film ber-genre action. Ia seolah tak ingin merusak karir yang telah
dibangunnya.
Kesetiaan terhadap genre action tersebut akhirnya membuatnya
menjadi salah satu tokoh sentral terbaik di perindustrian film barat saat ini.
Banyak penggila film action yang mengidolai Statham saat ini. Bahkan, tak
sedikit yang terang-terangan “mengabdi” pada pria kelahiran 26 Juli ini.
“Gue selalu
menikmati film-filmnya Statham, apapun itu,” salah seorang teman saya
mengungkapkan pengabdiannya kepada sang aktor Inggris. “Terakhir, gue nonton
film Homefront. Agak nggak realistis memang, karena logat
Statham yang masih kentel Bristish, but who cares? I enjoy the fights!”
Statham pun juga tak segan memilih beberapa peran yang
terbilang kecil di beberapa film. Sebut saja The One yang mendapuk Jet Li sebagai tokoh utamanya, atau The Expendables yang perhatiannya
terpusat pada sosok Sylvester Stallone. Statham dengan rela hati menyisihkan
dirinya untuk menjadi peran pembantu di kedua film tersebut yang secara garis
besar akan mudah dilupakan oleh orang banyak.
Entah kerendahan hati atau memang butuh duit untuk makan,
tetapi Statham nyatanya tetap ogah untuk mencoba hal-hal lain, seperti berperan
dalam sebuah film komedi atau drama, setidaknya hingga detik ini. Namun
kesetiaan sang mantan atlet terjun indah ini di genre action pantas mendapatkan
applause.
Berkat kesetiaannya itu pula, sang aktor menjadi tokoh
action Hollywood terbaik di era modern saat ini. Tak sedikit yang mengatakan
bahwa Jason Statham adalah Chuck Norris baru yang juga lebih suka mengabdi di
dunia perfilman kelas B.
Suka atau tidak, Jason Statham adalah salah satu sosok yang
bisa menjadi contoh bahwa pengabdian dan kesetiaan akan membuahkan sebuah popularitas
tersendiri, namun jauh dari hingar-bingar para kaum yang hidup di kelas A.
Lambang Privilise Lewat Sirine
Jaman gue kecil, gue selalu tertarik dengan yang namanya
film action. Kebanyakan yang gue tonton adalah film-film action yang sangat
ngejual adegan tembak-tembakan. Seperti layaknya sebuah film action, hampir
kebanyakan bertemakan perang antara si jahat dan si baik. Selain itu, di film
tersebut juga (hampir) selalu melibatkan aparat keamanan, khususnya polisi.
Di hampir semua film yang gue tonton, polisi akan selalu
dateng dengan menggunakan mobil yang dilengkapi dengan sirine dan lampu
berwarna biru-merah. Di saat itu juga, gue sadar bahwa dengan menggunakan
sirine, polisi bisa ngasih peringatan buat orang-orang di sekitarnya untuk
minggir ke tepi jalan dan memprioritaskan jalanan untuk pihak penegak hukum.
Tujuannya jelas, supaya mereka bisa tiba di tempat kejadian perkara dengan
cepat.
Kini, sirine seolah bergeser maknanya. Di kota Jakarta
tercinta, sirine justru sudah menjadi barang yang tidak sekedar berharga, tapi
juga mempunyai nilai yang tinggi. Dengan memilikinya di dalam kendaraan, kita
seolah telah mampu memiliki sebuah nilai tersendiri dan patut menjadi sebuah
prioritas, terutama kala menghadapi lalu lintas di jalanan Jakarta.
Baru-baru ini, gue secara kebetulan berpapasan dengan iring-iringan
kendaraan milik Cagub DKI Jakarta. Cukup mewah memang, dengan menggunakan
sebuah van bikinan Lexus dan satu Alphard hitam yang menggunakan kaca film
gelap. Bukan hal yang istimewa memang, tapi yang ngebuat gue sedikit kesel
adalah penggunaan sirine yang menurut gue pribadi sedikit mengganggu.
Entah apa tujuan dari penggunaan sirine tersebut. Lalu
lintas di depannya juga gak macet-macet amat. Hampir gak ada mobil dan motor di
jalanan tersebut. Terlebih lagi, gak ada kemacetan atau tumpukan kendaraan yang
menyebabkan kemacetan di jalan raya tersebut. Jadi, atas dasar apa mobil dengan
gambar stiker cagub kumisan tersebut nyalain sirine di tengah-tengah jalanan
sepi?
Gue menyempatkan diri untuk nanya ke mbah Google mengenai
aturan penggunaan sirine. Alhasil, mbah Google gak mengecewakan gue. Gue
menemukan cukup banyak blog yang menuliskan peraturan-peraturan penggunaan
sirine. Buat lebih jelasnya, gue coba kasih beberapa aturan yang gue dapet dari
situs resmi TMC
Polda Metro Jaya.
Penggunaan sirine sudah diatur di dalam UU Nomor 14 tahun
1992 dan Pasal 72 PP Nomor 43 tahun 1993 yang membahas tentang Prasarana dan
Lalu lintas. Dengan jelas, peraturan tersebut menyatakan bahwa isyarat
peringatan dengan bunyi berupa sirine hanya dapat digunakan oleh:
- Kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas, termasuk kendaraan yang diperbantukan pemadam kebakaran. Ambulans yang sedang mengangkut orang sakit.
- Kendaraan jenazah yang sedang mengangkut jenazah.
- Kendaraan petugas penegak hokum tertentu yang sedang melaksanakan tugas.
- Kendaraan petugas pengawal kendaraan KEPALA NEGARA atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara.
- Petugas penegak hukum tertentu.
- Dinas Pemadam Kebakaran.
- Penanggulangan Bencana.
- Ambulans.
- Unit Palang Merah.
- Mobil Jenazah.
Peraturan di atas dilengkapi dengan aturan di pasal 67 yang
menyebutkan bahwa lampu isyarat berwarna kuning hanya boleh dipasang pada
kendaraan bermotor
- Untuk membangun, merawat, atau membersihkan fasilitas umum.
- Untuk menderek kendaraan.
- Untuk pengangkut bahan berbahaya dan beracun, limbah bahan berbahaya dan beracun, peti kemas dan alat berat.
- Yang mempunyai ukuran lebih dari ukuran maksimum yang diperbolehkan untuk dioperasikan di jalan.
- Milik instasi pemerintah yang dipergunakan dalam rangka keamanan BARANG yang diangkut.
Salah satu mobil polisi dengan lampu sirinenya |
Dari yang gue baca di peraturan-peraturan tersebut, gue sama
sekali gak menemukan kalimat bahwa “Cagub Boleh Menggunakan Sirine”. Buat lebih
jelasnya, cuma iring-iringan Kepala Negara yang diperbolehkan untuk menggunakan
sirine. Selain itu, kendaraan milik instansi pemerintah yang lagi mengangkut
BARANG tertentu diperbolehkan untuk menyalakan dan menggunakan sirine berwarna
kuning.
Jadi, selain kendaraan-kendaraan yang ada di dalam
peraturan, kayaknya gak ada lagi kendaraan yang boleh menggunakan sirine.
Sirine bukan alat untuk melambangkan privilise semata, juga
bukan dijadikan sebagai lampu untuk mengusir orang-orang atau
kendaraan-kendaraan yang menghalangi perjalanan. Sayangnya, mayoritas orang “penting”
dan berduit sudah menggunakan lampu dan bunyi-bunyian sirine sebagai lambang
untuk menunjukkan eksistensi, sekaligus sikap arogan.
Miris kalo melihat Jakarta masih dan akan tetap dikuasai oleh
orang-orang kayak gitu.
Sekali Lagi
Sekali lagi… dan lagi-lagi…
Logika dan perasaan ini beradu hebat
Ketika di saat aku rapuh dan butuh sebuah tempat mengaduh
Terduduk sendiri sambil menyesap cairan herbal hangat pahit
di atas kasur tertutup sprei putih
Sesekali menghisap sebatang rokok yang hampir terbakar habis
Aku seharusnya merasa senang saat kau dengan penuh
perhatiannya mengingatkanku
Jangan lupa makan
Jangan lupa minum obat
Istirahat, jangan kecapekan
Namun, entah aku malah semakin merasa sesak
Sebuah perasaan bergantung-gantung di atas kepalaku
Tangan dan persendian tiba-tiba hilang kendali
Gemetar… entah karena marah atau sudah terlalu lelah menahan
beban tak terlihat
Ini bukan pertama kalinya, bahkan bukan kedua kalinya
Ini kesekian kalinya aku harus menahan mulutku untuk tak
mengeluarkan teriakan “LUPAKAN DIA..!!”
Tapi tidak. Kau menyayanginya walau kau ragu apakah dia
menyayangimu.
Aku menyayangimu walau kau tak tahu sedalam apa aku telah
berkubang dalam lumpur biadab ini
Sudahlah…
Setidaknya kau tahu
Subscribe to:
Posts (Atom)