Football is Coming Home

Menjelang detik-detik pembukaan Piala Dunia 2014, sebagian masyarakat Brazil dikabarkan kembali tumpah ke jalanan. Bukan untuk memberikan sambutan atas pesta akbar tersebut, tetapi untuk memprotes penyelenggaraan even empat tahunan tersebut. Para demonstran itu (masih) mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap lebih memilih untuk menghambur-hamburkan duit hanya untuk membangun stadion, ketimbang “memberi makan” rakyatnya sendiri.

Pemerintah Brazil pernah berjanji untuk mengamankan even bersejarah ini. Wajar saja, karena Brazil tak ingin kehilangan kehormatannya sebagai “Negerinya Sepakbola”. Hal tersebut terlihat jelas dari penuhnya stadion Arena De Sao Paulo yang tampak dikuasai oleh massa berbaju kuning, dengan minoritas berbaju kotak-kotak putih-merah (saya melewatkan acara pembukaan Piala Dunia 2014 yang diisi oleh Jenifer Lopez alias J-Lo, Pitbull, dan artis lokal Claudia Leitte, karena sama sekali tidak tertarik dengan hiburan sampingan medioker).

Massa berbaju kuning tersebut tentunya bukanlah massa dari salah satu partai politik yang memiliki ketua umum yang doyan memeluk Teddy Bear. Massa berbaju kuning tersebut adalah mereka yang telah siap untuk berteriak, “Football is coming home!”. Pulangnya sepakbola ke tanah kelahirannya (persetan dengan Inggris) ditandai oleh gemuruhnya stadion kala national anthem “Hino Nacional Brasileiro” dimainkan. Saya belum pernah menemukan sebuah atmosfer yang membikin bulu kuduk berdiri dan air mata haru menetes, kecuali saat menyanyikan “Indonesia Raya” di Gelora Bung Karno. Sebuah atmosfer yang akan membuat lutut siapa pun gemetar ketakutan.

Tetapi ada satu hal yang sangat menarik di pertandingan tersebut. Pihak penyelenggara mengawali partai pembuka tersebut dengan melepas tiga ekor burung merpati putih. Tanpa harus mendengar pendapat dari komentator di  televisi, kita pun sudah mengerti bahwa burung merpati adalah lambang dari perdamaian. “Di dalam lapangan mereka boleh bertarung memperebutkan kemenangan, tetapi nilai-nilai sportivitas tetap harus dijunjung tinggi,” ucap sang komentator.

Tidak ada yang salah dari komentar barusan, tetapi saya merasa bahwa tiga burung merpati ini tidak hanya ditujukan untuk 22 gladiator di lapangan hijau. Tiga simbol perdamaian tersebut seolah-olah membawa pesan bahwa sepakbola adalah pembawa damai di muka bumi ini. Sepakbola adalah sepakbola. Bukan sekedar cabang olahraga, tetapi lebih kepada seni pertunjukan dengan 22 orang seniman di dalamnya. Sejatinya sebuah pertunjukan diselenggarakan untuk  menghibur para penonton, baik yang ada di dalam, di luar, maupun mereka yang menontonnya di depan TV sambil memakan kacang kulit di belahan bumi yang lain.

Terlepas dari demonstrasi yang terjadi lama setelah Brazil resmi ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, football is coming home, sepakbola tengah kembali pulang ke pangkuan bundanya (lagi-lagi, persetan Inggris dengan segala klaimnya soal negara asal sepakbola). Seorang anak yang pulang wajib disambut dengan pelukan gembira dan penuh rasa bangga. Sambutan tersebut terlihat jelas saat Neymar Jr. mencetak gol penyama kedudukan. Saya yakin hampir semua warga Brazil melompat dan mengepalkan tangannya ke udara.

Keresahan masyarakat Brazil atas kebijakan pemerintah dan juga FIFA (baca: Sepp Blatter) terlupakan sejenak. Kegembiraan para penganut agama sepakbola di seluruh dunia baru dimulai. Pecinta sepakbola Brazil pun kembali jejingkrakan kala Oscar menutup laga dengan sebuah gol visioner hasil dari sepakan kaki kanannya.

Football is coming home..!! Let’s celebrate.


No comments: