Transformers: Dark Of The Moon [2011]


Seiring menyurutnya larangan film-film Hollywood untuk tayang di bioskop Indonesia, gue semakin excited dengan kabar bahwa franchise terakhir dari film fenomenal Transformers akan ikut tayang dalam waktu dekat. Akhirnya keinginan gue pun terkabul. Setelah cukup dikecewakan dengan seri keduanya, Transformers: Revenge Of The Fallen, gue cukup menaruh ekspektasi tinggi terhadap seri terakhir film ini.

Film ini dibuka dengan cerita sang pemeran utama Sam Witwicky (Shia LaBeouf) dan Carly Spencer (Rosie Huntington-Whiteley). Tidak diceritakan bagaimana awalnya hubungan mereka dan akhir dari hubungan Sam-Mikaela Banes (Megan Fox). Lalu cerita langsung beralih kepada aksi kepahlawanan lascar Autobots dalam membantu manusia membasmi kejahatan di berbagai negara, hingga mereka menemukan sebuah informasi di Chernobyl tentang adanya sisa-sisa pesawat Cybertronian dari planet Cybertron. Decepticon pun tidak tinggal diam. Mereka merencanakan sebuah rencana jahat untuk menghancurkan bumi dan menjadikan manusia sebagai budak-budaknya. Sedangkan Sam Witwicky masih harus membuktikan diri bahwa dia adalah juga seorang pahlawan bersama rekan-rekan lamanya Lennox (Josh Duhamel) dan Epps (Tyrese Gibson). Namun dibalik semua itu, ternyata tersembunyi juga rencana jahat dari bekas pemimpin Autobots, Sentinel Prime, yang tidak diketahui oleh Optimus Prime dan rekan-rekannya. Perang hebat antara robot pun tersaji dan Sam harus kembali menjadi salah satu dari penyelamat bumi.

Keseluruhan jalan cerita ini sebenarnya sangatlah datar. Konflik kecil namun sensitive antara Sam dan Carly (mengenai pendapatan) menjadi kunci dari segala permasalahan di film ini. Isu-isu pengkhianatan sering diumbar di dalam cerita. Tapi entah karena memang kurang tertata rapi sehingga agak bisa tertebak atau memang sengaja tidak disembunyikan secara baik karena notabene ini memang film summer. Film yang sengaja dibuat untuk hiburan sehingga tidak begitu mementingkan efek-efek kejutan. Yang membuat gue pribadi sedikit mengejutkan adalah ketika ternyata Sentinel Prime berpihak kepada Decepticons. Sosok Sentinel Prime bisa dikatakan sebuah individu anti-hero. Dia terpaksa melakukan sesuatu yang jahat demi menyelamatkan planet asalnya. Perannya cukup mengkerdilkan Megatron. Yang paling mengejutkan gue adalah kematian seorang tokoh di kelompok Autobots. Damn..!! Dia salah satu idola gue di film pertama.

Ekspektasi gue terhadap film ini bener-bener menurun drastis. Di awal launching, sutradara dan para pemain seolah mempromosikan bahwa akan lebih mementingkan jalan cerita. Oleh sebab itu, Michael Bay berikrar akan mengurangi jumlah robot dan lebih mendalami sisi-sisi karakteristik tiap tokoh. Namun semuanya gagal. Aktik pas-pasan si model lingerie sama sekali gak nolong. Peran stagnan Sam Witwicky dari dua episode sebelumnya juga gak berkembang. Malah dua orang tua Sam, Ron dan Judy, malah ditenggelamkan. Padahal di episode kedua, Rise Of The Fallen, peran mereka sedikit banyak berhasil menumbuhkan sisi-sisi kemanusiawian Sam. Hubungan orangtua dan anak di cerita tersebut berhasil tergali. Namun di installment ketiga terasa hambar tanpa dua “pengganggu” tersebut. Bay jelas gagal dengan niatannya untuk fokus pada tokoh-tokoh utama manusia. Cerita dirangkum dengan segala kedataran tanpa dinamika berarti. Tapi film ini gak seluruhnya buruk. Visual effect yang semakin memukau berhasil tersaji. Adegan-adegan slow motion berhasil membuat rahang lo jatuh. Pertarungan antar robot yang dikemas dengan detil, serpihan-serpihan metal yang melayang ketika terjadi bentrokan membuat gue terpana. Tapi yang membuat gue sedikit bertanya-tanya, cairan merah apa yang keluar dari luka-luka para robot? Darah atau mungkin minyak rem yang bocor akibat benturan? Hmmm… Absurd.

Overall gue akan memberikan dua jempol ke atas untuk visual effect dan dua jempol ke bawah untuk jalan cerita. Ow.. Ow… Gue juga bakalan ngasi empat jempol ke atas buat Rosie Huntington-Whiteley. Bukan untuk aktingnya, tapi untuk bodinya yang luar biasa. So, I’ll give 5.5/10.

The Edge [1997]

Apa yang terjadi ketika seorang jutawan/milyarder terkenal pada akhirnya terjebak di tengah hutan dan alam liar? Kisahnya dimulai ketika Charles Morse beserta istri (diperankan Elle MacPherson) dan rombongan mengikuti liburan di Alaska. Liburan mereka akhirnya berubah menjadi sedikit mencekam ketika salah satu orang kepercayaan Morse, Robert Green (Alec Baldwin) mengajaknya untuk mencari seorang Indian untuk dijadikan model fotonya. Morse, Green, dan satu rekan lainnya Stephen (Harold Perrineau) menjelajahi alam Alaska demi mencari sang Indian. Nasib tak memihak mereka, pada akhirnya pesawat amfibi yang mereka gunakan pun terlibat kecelakaan. Morse, Green, dan Stephen dipaksa untuk bertahan di alam liar. Dengan segenap pengetahuan yang dimiliki oleh Charles Morse, mereka diharuskan bertahan hidup di alam liar dan juga serangan beruang ganas pemakan manusia. Insting bertahan sekaligus intrik-intrik pengkhianatan tersaji hingga akhirnya sisi kemanusiaan mereka harus diuji sedemikian rupa. Milyarder tua yang menghadapi ganasnya alam Alaska.

Alasan gue menonton film ini adalah karena kehadiran Anthony Hopkins sebagai pemeran utama. Ditambah pula nama Alec Baldwin yang cukup mentereng pada jamannya. Awal-awal cerita, sosok Charles Morse berhasil dibawakan sedemikian rupa oleh Hopkins. Tokoh Green (Alec Baldwin) juga berhasil menjadi penyeimbang. Namun sesampainya di tengah-tengah cerita, gue merasa agak janggal dengan pembawaan Hopkins. Entah karena gue terbiasa melihat dan menonton dia di franchise Hannibal Lecter atau memang dia kurang cocok memerankan tokoh yang selalu dikelilingi orang-orang bawel sejenis Robert Green dan Stephen. Hopkins seolah kehilangan sentuhannya. Justru tokoh Robert Green-lah yang pada akhirnya berperan menonjol. Baldwin sedikit banyak berhasil menggambarkan secara maksimal tokoh tangan kanan Morse di perusahaannya. Hopkins lebih cocok berperan sebagai tokoh-tokoh yang berdiri sendiri tanpa terkelilingi siapapun. Lihatlah peran-perannya sebagai Hannibal Lecter atau Ted Crawford di film Fracture. Justru aktingnya sangatlah monumental di dua film tersebut. Sendirian melakukan apa yang dia pikirkan tanpa terpengaruh orang lain, justru orang-orang di sekelilingnyalah yang terpengaruh oleh daya magis ucapan-ucapan dan sikap-sikap maniaknya.

Jalan cerita di film ini terkesan standar tanpa kejutan apapun. Isu survival di tengah rimba tidak dibungkus dengan rapi walaupun banyak sekali pelajaran mengenai cara bertahan hidup di hutan yang diumbar di film ini dan rata-rata memang sebagian besar adalah benar adanya. Cara membuat kompas dengan jarum yang dibuat dengan magnet listrik statis, menentukan utara-selatan dengan melihat konstelasi bintang, dan pelajaran-pelajaran survivalisme lainnya. Isu mengenai pengkhianatan anak buah terhadap sang Bos pun terkuak di akhir cerita yang sejak awal-awal film memang dikembangkan. Inilah yang membuat cerita jadi sedikit berantakan. Apa yang mau dikemas? Survival di tengah hutan sambil melawan beruang Kodiak atau kepercayaan terhadap sesama?

Kalau Anda adalah salah satu penggemar berat Anthony Hopkins, mungkin sebaiknya Anda kembali menonton The Elephant Man sebagai penetralisir. Tapi, jika Anda memang ingin film-film hiburan ditambah pengetahuan cara bertahan hidup di hutan, film ini bisa dijadikan alternative.

Rekoleksi Sebuah Perdebatan Kaum Awam

Dua hari (6-7 Agustus 2011) gue mengikuti rekoleksi di St. Monica 2, Bogor. Perjalanan dimulai dari Jakarta, menembus tol menuju Bogor. Sedikit terhambat dengan kemacetan dan matahari yang masih setia menghangatkan bumi. Ini pertama kalinya gue mengikuti rekoleksi Komkep KAJ setelah dua tahun belakangan gue selalu digoda untuk tidak mengikutinya. Isi yang tidak begitu menarik dan klise adalah alasan yang sering keluar dari mulut para berpengalaman yang telah mengikuti rekoleksi ini sebelumnya. Gak ada ekspektasi apa pun dari gue dan gue memang tidak mempunyai pandangan apa pun. Hari pertama gue lewati dengan kesan yang biasa-biasa aja. Beruntung gue bertemu dengan rekan-rekan yang dalam waktu dekat langsung menjadi sahabat seperjuangan di dua hari nan pendek tsb. Beruntung di sana tidak ada warung yang menjual anggur merah cap Orang Tua karena masih masuk dalam bulan puasa.

Hari kedua, jam 6 pagi, dimulai dengan senam a la Warkop DKI dan dilanjutkan dengan senam penguin (yang asli, agak gak jelas tujuannya) serta ditutup dengan main bola bareng. Beberapa wajah urung terlihat karena baru tertidur jam 5 pagi. Mandi dan makan pagi, akhirnya sesi ketiga (dua sesi dari hari pertama gak gue jelaskan karena memang kurang berkesan buat gue) dimulai. Gue sedikit lupa dengan judul yang akan dibawakan pada sesi ketiga tersebut, tapi entah mengapa pada akhirnya sesi tersebut tiba-tiba menjadi sebuah perdebatan antara peserta dengan panitia. Semua berawal dari pertanyaan mengenai Pastor moderator yang kurang aktif, cuek, dan mempunyai sikap negative lainnya yang tidak mampu merangkul anak muda. Romo Yadi dan Kak Maria mencoba menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Gue agak lupa kenapa tiba-tiba ada perdebatan mengenai jatah 5% yang menjadi “hak” pengembangan anak muda. Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin berkembang dan terus berkembang. Dari yang memprotes ketidak-transparanan mengenai dana untuk anak muda sampai mereka yang menyanggah bahwa dana dari gereja (atau Dewan Paroki) memang tidak terlalu dibutuhkan untuk memandirikan anak muda. Sesi sharing berubah menjadi perdebatan alih-alih diskusi. Gue? Gue memilih cabut keluar dari ruangan. Debat yang gak jelas arah tujuannya semakin diperkeruh dengan penjelasan dari Komkep yang tidak menjelaskan secara tuntas yang akhirnya malah semakin memancing pertanyaan kritis dari berbagai paroki. Gue mendingan ngerokok sambil ngedengerin ocehan-ocehan yang udah sering banget gue terima dari pastor moderator gue di paroki.

Sesi ketiga ditutup (paksa) akibat keterlambatan jadwal. Gue melahap makan siang sambil mengobrol dengan beberapa teman. Ketertutupan dalam menjelaskan menjadi pertanyaan dari beberapa OMK. Persis seperti yang gue rasakan. Masih ada rasa ketidak-puasan dari segala penjelasan tersebut. Temen gue sempat berujar, “Judul pertemuan ini ‘REKOLEKSI’, tapi kenapa jadi kayak debat Parpol gini?”. Gue cengar-cengir sambil jawab, “Pertanyaan yang dijawab setengah-setengah bakal bikin perdebatan.”

Setelah foto bersama, akhirnya gue dan rombongan pulang dan kembali menuju Katedral. Rasa lelah menggantung di sekujur tubuh. Namun semangat perubahan tak pernah hilang dari diri. Sistem harus dibuat secara proporsional sehingga mampu berfungsi secara optimal. Sejujurnya, gue tidak mendapatkan apa pun dari Rekoleksi ini, kecuali penjelasan-penjelasan klise, teman-teman seperjuangan idealisme, dan rasa capek yang terlingkar di leher.

Maha Esa

Waktu itu, siang hari sebelum jam makan siang, gue berjalan terburu-buru. Resep yang seharusnya gue tebus kemarin sore terbawa pulang, menyelinap di kantong celana jeans gue. Gue berjalan agak cepat, kadang berlari kecil, sambil menghindari orang-orang yang berjalan pelan di depan gue. Kebetulan kamar rawat nyokap gue berlokasi agak jauh dari dari apotik di rumah sakit ini. Sepuluh menit perjalanan antara dua tempat itu. Sesaat kemudian, wangi obat-obatan semerbak tercium. Bebauan yang sangat familiar di seluruh koridor rumah sakit. Udah terlalu sering gue menciumnya. Akhirnya, gue pun sampai di apotik. Nomor antrean gue sabet, gue langsung menyerahkan tiga lembar kertas resep sekaligus, dua untuk hari ini dan satu untuk hari kemarin. Penjaga apotik pun sempat bingung, “Tiga resep, Mas?,” tanyanya ragu. Gue Cuma bisa cengar-cengir sambil mengangguk. Tanda terima resep berwarna kuning diberikan dan gue memutuskan untuk mengambilnya setelah lewat jam satu siang. Maklum, antreannya panjang gak keruan. Daripada gue bengang-bengong, mendingan gue balik ke kamar nyokap atau nyari makan siang. Gue pun berjalan melewati tempat-tempat duduk yang penuh terisi pasien atau penunggu pasien yang mau mendaftarkan Askes dan menunggu namanya dipanggil untuk menerima obat dari apotik tersebut. Gue nyempetin buat mampir ke kios majalah untuk beli tabloid “Bola”. Bahan baca-baca sekaligus buat ngilangin bosen. Sambil membaca berita-berita soal pertandingan Copa America, gue berjalan santai menyusuri lorong-lorong yang didominasi warna putih. Seorang petugas kebersihan lewat sambil membawa sekeranjang kain berwarna hijau. Ia menyapa beberapa temannya yang kebetulan berpapasan dengannya. Gue masih tetap membaca tabloid. Akhirnya gue sampai di kamar bernomor 108, tempat nyokap masih bergulat dengan penyakitnya, dan tanpa mengetuk pintu gue langsung menghambur masuk. Udara di luar memang cukup terik.

Begitu gue masuk, gue menemukan nyokap gue sedang dikelilingi oleh dua orang, pria & wanita. Sang pria berpakaian batik dan sang wanita memakai baju bermotif kain ulos. Keduanya telah menyentuh paruh baya. Ketika itu, mereka sedang berdoa dengan penuh semangat sambil menengadahkan tangan kanannya ke langit-langit ruangan dan tangan kirinya menggenggam Alkitab. Gue menutup pintu perlahan dan berdiri sambil menundukkan kepala. Lima menit kemudian akhirnya mereka selesai mendoakan nyokap. Gue langsung menyodorkan tangan dan memperkenalkan diri. Mengobrol sebentar soal riwayat penyakit nyokap, mereka pun akhirnya meninggalkan ruangan. Nyokap yang agak sumringah langsung manggil gue dan bilang, “Banyak banget yang doain Mama. Beda-beda agama pula.” Gue pun ketawa mendengar komentar nyokap. Memang sejak beberapa hari yang lalu sejak nyokap masuk rumah sakit, ada beberapa tim pendoa yang terus-menerus berdatangan secara rutin untuk mengunjungi setiap pasien sesuai dengan agamanya masing-masing. Yang bikin lucu, kenapa hampir setiap hari para pendoanya beda-beda agama melulu. Ah.. Mungkin ini akibat penyamarataan istilah “Kristen” dari manajemen rumah sakit supaya gak bikin bingung. Atau memang Kristen ini udah kebanyakan aliran dan hasilnya malah bikin bingung. Walaupun bikin bingung, tapi tetep gak bikin absurd, kok. Yang bikin absurd cuma dia seorang. *Lha? Malah galau.. -.-“

Nyokap gue memang gak pernah keberatan dengan berdatangannya para pendoa dari agama lain. Dia selalu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Toh itu cuma doa. Ditujukannya sama kepada Tuhan. Kenapa mesti ditolak? Prinsip nyokap yang selalu gue pegang sampai sekarang. Gue dibesarkan dari kecil sebagai seorang pemeluk Katolik. Gue tumbuh dalam keluarga yang bernafaskan Katolik. Bokap selalu mendidik gue untuk menjadi penganut agama yang taat. Nyokap rutin mendongengkan gue dengan cerita-cerita indah dari Alkitab waktu gue kecil. Gue seperti dijejali fanatisme Katolik. Tapi, perjalanan merubah segala pandangan gue. Ternyata, nyokap-bokap gak pernah menjejali kepala gue dengan hal-hal berbau fanatisme. Ketika gue beranjak dewasa dan bertemu dengan dunia nyata, gue merasakan indahnya perbedaan. Berwarna-warni bagai pelangi. Waktu kuliah, gue suka banget nongkrong di musholla waktu istirahat jam 12 siang sambil ngobrol-ngobrol bareng temen-temen gue. Sampai pada akhirnya gue kepincut sama salah satu perempuan di sana. Eitss.. Bukan sesi curhat. Yang pasti, gue jadi lebih banyak mengenal apa itu agama-agama dan keyakinan di luar iman gue. Pengetahuan itulah yang membuat gue tidak langsung men-judge seseorang berdasarkan agamanya. Yang amat disayangkan, masih banyak orang-orang yang berlaku seperti itu. Miris.

Gue semakin merasakan keindahan hidup berdampingan tanpa ada sekat yang membatasi kita. Jangan mendirikan tembok tinggi di sekitar kita. Jangan jadikan agama sebagai tuhanmu karena Tuhan lebih besar dari agamamu. Mereka yang terjebak fanatisme dan akhirnya menyetujui semangat fasisme, adalah orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau belajar. Dan akhirnya nyokap gue berkata pelan, “Jangan jadikan agama sebagai sekat. Kita makhluk sosial, saling berangkulan.” Yes, Mom. I get it. 