One Day Trip To Bandung

Hari Minggu, tertanggal 24 November kemarin, gue beserta keluarga bergerak menuju Kota Kembang, Bandung, untuk hadir di acara pernikahan keponakan perempuan gue. Pukul 4 dini hari, gue sudah terbangun dan berkeliaran di dalam rumah. Setelah meminum susu dan bersarapan ria dengan memakan apa pun yang ada di meja makan, gue membangunkan nyokap yang masih tertidur pulas di samping bokap. Mereka memang minta buat dibangunkan sekitar jam 4-an. Nyokap memang harus bangun duluan, karena seperti mayoritas perempuan yang ada di belahan dunia mana pun, sebuah “upacara” demi membersihkan muka supaya tampak lebih segar dan cemerlang harus dilaksanakan. Bokap masih tergeletak di atas kasur. Guling di sampingnya tampak terabaikan. Jam 4 lebih 10 menit, akhirnya nyokap memulai rangkaian acara pribadinya. Sibuk bolak-balik, lalu berhenti sejenak di tempat rias, lalu kembali ke dapur menyiapkan bekal perjalanan. Padahal, segala keperluan yang harus dibawa sudah lengkap dan siap diangkut ke dalam mobil. Tapi, entah mengapa, ibu rumah tangga yang satu ini begitu rempongnya sampai-sampai mengurusi barang bawaan gue dan menanyakan apakah sikat gigi gue sudah dimasukkan ke dalam atas atau belum. Lucu. I love her very much.

Ketika waktu sudah menunjukan pukul 4.30, giliran bokap yang beranjak dari tempat tidur. Kalo bokap beda lagi. Setelah dia membuka mata, dia upacara yang dia lakukan adalah duduk selama sekitar 10 menit di atas tempat tidur, lalu turun sambil mencari sandal dan langsung menuju toilet. Di situlah “upacara”-nya berlangsung. 10-15 menit biasanya acara wajib ini berlangsung. Bahkan kadang nyokap sampai marah dan ngomel gara-gara bokap kelamaan di toilet. Selepas dari toilet, rambut bokap sudah tersisir rapi dan bau naga dari mulut pun sudah hilang. Celana jeans panjang yang menggantung di balik pintu langsung dipakainya dan dengan cueknya mencari kaos oblong putih dari lemari pakaian dan langsung dikenakannya. Dan langsung ia teriak, “KAATTT…!!!”. Kependekan dari kata “berangkat”. Sebenarnya itu cuma caranya untuk menggoda nyokap supaya nyokap tambah panik dan akhirnya malah emosi sama bokap. Hahaha..!!! I love my old-man.

Dan jam dinding pun akhirnya menunjukan pukul 5 pagi. Barang-barang dan segala macam pernak-perniknya sudah masuk ke dalam mobil. Gue, bokap, dan nyokap akhirnya meluncur menuju jalanan Jakarta yang masih cukup sepi. Sepi dan dingin akibat diguyur hujan rintik-rintik. Sebenarnya, gue masih ngantuk berat akibat kurangnya waktu tidur gue semalam sebelumnya. Bukan kurang tidur sebenarnya, tapi tidak tidur sama sekali. Gue ngotot buat memegang kemudi karena gue gak tega dengan my old-man. Masa iya dia harus nyetir Jakarta-Bandung. Padahal, dia sudah kecapekan karena Sabtu pagi diharuskan untuk bolak-balik Jakarta-Depok demi mencari sesuap nasi. Sekarang adalah giliran gue buat menyetir. Melihat jalanan yang sepi, bokap tidak merekomendasikan buat masuk tol di Semanggi. Dia menyuruh gue untuk melaju terus sampai ke arah Cawang dan mengarahkan gue untuk masuk tol di situ. Setelah masuk tol, mobil Mitsubishi Kuda langsung gue tes kemampuan, selain karena gue buru-buru pengen sampai di tujuan karena lelahnya mata gue. Jarum di speedometer hampir tidak pernah lepas dari angka 160 dan 140. Mulai dari tol lingkar luar sampai Cipularang, semuanya gue panteng kecepatan tersebut. Bokap sepertinya sedikit ketar-ketir dengan gaya nyetir gue. Kalo nyokap, yang duduk di belakang, sepertinya lebih ke arah sikap “terima nasib”. Dia malah tertidur lelap. Dengan doping Minute Maid Pulpy Orange dingin, mata dan mental gue berhasil terjaga. Bokap selalu mengajak ngobrol gue. Mungkin dia tahu kalo gue memang sedikit mengantuk. Well, perjalanan memang masih (sedikit) panjang.

Akhirnya gue keluar dari tol Cipularang. Dan beberapa kilometer lagi, gue sekeluarga akan tiba di Bandung. Bokap langsung mewanti-wanti untuk memperlambat kendaraan, karena sesaat lagi kami harus keluar tol. Tulisan “Pasir Koja 1 km” di papan hijau raksasa dengan panah menunjuk ke pojok kiri bawah mengingatkan gue untuk segera bersiap-siap. Setelah memperlambat kendaraan dan mengambil jalur kiri, akhirnya gue keluar dan memasuki kota Bandung. Setelah mematikan AC, dengan segera gue menurunkan kaca jendela dan dengan yakinnya menghirup dalam-dalam udara Bandung. Yah, tidak sesegar dulu, tapi masih lebih segar dibanding Jakarta yang sudah penuh dengan polusi beracun. Dan ternyata, gue masih ingat jalan menuju tempat saudara gue, walaupun sedikit samar-samar. Agak kaget dan kagum terhadap memory gue. Yang ngebuat gue kagum adalah karena gue sudah lebih dari 8 tahun gak pernah menginjakkan kaki di rumah saudara gue. Rumah saudara gue sebenarnya adalah rumah dari almarhum nenek gue dan akhirnya ditempati oleh saudara gue, yang biasanya gue panggil dengan sebutan oom. Walaupun sebenarnya dia adalah kakak ipar dari nyokap gue. Suami-istri ini sudah cukup lama menempati rumah peninggalan nenek gue. Dan akhirnya gue tiba di rumah yang terletak di gang ini. Banyak kenangan tertinggal dan tersimpan di rumah ini. Mulai dari yang baik hingga yang buruk, semuanya tertata rapi di dalam setiap kamar. Ah, gue bener-bener kangen dengan suasana rumah ini. Sayang gue cuma bisa sebentar saja menikmati segala kenangannya.

Mobil segera gue parkir di pinggir jalan dekat dengan mulut gang. Barang-barang dan tas gue raih semampu tangan gue mampu membawanya. Kaki gue menapaki gang sempit. Gang Pagarsih namanya. Oom Polok ternyata sudah menyambut gue di depan gerbang pintu. Segera saja gue masuk dan menaruh tas serta segalanya di salah satu kamar. Setelah gue membersihkan diri di kamar mandi dengan air yang luar biasa dingin, gue akhirnya terduduk di ruang keluarga. Udara dingin alami di dalam ruangan jarang sekali gue rasakan, kecuali di Bandung. Gak sengaja, gue ngeliat jam di dinding dan.. Wow..!!! Jam menunjukan pukul 6.45. Sinting..!! Gue gak pernah nyetir Jakarta-Bandung dengan hanya menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Dan kekaguman gue akan diri sendiri pun akhirnya runtuh akibat pinggang gue yang mulai merasa sakit. Bokap yang seakan masih segar-bugar segera berjalan ke depan gang bersama Oom Polok untuk membeli ketoprak yang selalu mangkal di sana. Gue yang sama sekali nggak punya nafsu untuk makan menolak untuk dibelikan. Walaupun begitu, gue akhirnya menghabiskan ¾ porsi bokap. Perut emang gak bisa bohong. Otak doang yang bisa nipu. Selepas gue dari ketoprak, gue langsung melarikan diri ke kamar terdekat untuk.. TIDUR..!!

Terbangun dari tidur panjang (jam 8 pagi sampai jam 4 sore), di meja makan telah tersuguhi berbagai macam lauk. Mulai dari ayam opor sampai sambal goreng ati. Damn..!! Saatnya pestaaaa… Gue makan dengan tak terkirakan. Seolah gue mengatakan “Persetan dengan dunia luar”. Bukan bermaksud apa-apa, tapi baru kali ini gue merasakan lapar yang teramat sangat. Mungkin agak hiperbol gue menggambarkannya. Tapi, ternyata gue sudah diburu waktu. Setelah makan dan cuci piring sendiri, gue harus buru-buru ganti baju. Acara pernikahan keponakan gue akan segera dimulai. Di undangan sih tertera jam 6 sore. Tapi, berhubung gue dan keluarga tidak berniat untuk menginap, akhirnya kami harus menerapkan sistem: datang => makan => basa-basi => pulang. Setelah gue bersiap-siap dan memakai batik biru yang tampak terlalu besar di badan gue, ternyata gue mendapat berita jelek. Nyokap terlalu lelah untuk ikut ke acara pernikahan. Kepalanya terasa sakit dan mengharuskannya untuk istirahat. Well, apa mau dikata. Daripada diforsir dan akhirnya malahan jelek, akhirnya gue pergi bersama bokap, oom, dan kedua kakak nyokap. Gue yang buta jalanan Bandung segera dituntun oleh oom Polok dengan sigapnya. Jalanan kebetulan memang sepi dan tidak macet. Kami semobil menuju Hotel Cemerlang, tempat acara diselenggarakan.

Singkat cerita, gue uda sampai di lantai tiga Hotel Cemerlang. Di sinilah cerita berlangsung sedikit menarik. Gue bertemu dengan seorang perempuan, yang menurut standar kelayakan gue setelah studi banding di Paraguay dan beberapa negara, termasuk dalam daftar “Top Ten Most Beautiful Girl”. Dengan kebaya coklat dan rambut panjang yang sengaja digerai menutupi pundaknya, dia berdiri sebagai pagar ayu di pintu masuk. Gue seolah terhipnotis olehnya. Gue gak sadar kalo gue terus menerus beranjak meninggalkan bokap gue yang masih sibuk mengisi buku tamu dan berbincang dengan si penerima tamu, yang juga saudara gue. Kedua mata seolah menolak untuk mengalihkan pandangan darinya. Gue menyalami saudara-saudara gue yang berdiri sebagai penyambut tamu, berbasa-basi sedikit sambil menanyakan nyokap yang sedang tertidur lelap di rumah, mata gue masih tertuju ke gadis itu. Akhirnya tiba juga gilirannya untuk gue salamin. “Makasih, ya.” Logat sunda masih kental di perkataannya. Di moment setelah salaman inilah gue berasa aneh. Dia tiba-tiba menanyakan keadaan nyokap dan bokap. Hmmm… Kok dia bisa kenal bokap-nyokap, sedangkan gue nggak kenal orang tuanya. Bokap yang ternyata sudah rampung mengurusi ang pao dan buku tamu akhirnya menghampiri gue dan cewek ini. Bokap pun juga menyalaminya dan kali ini sambil menyapa dengan nama. What the…??? Kok bokap kenal, sedangkan gue.. Tanpa tedeng aling-aling, setelah barisan pagar ayu itu selesai, gue langsung mewawancarai bokap soal percakapan aneh barusan. Sambil cengar-cengir, bokap cuman bilang, “Dia keponakan kamu.”

Wedding kiss, lempar bouquet, dan pemotongan kue telah terlewati. Acara makan malam pun diselenggarakan. Gue segera mengambil nasi beserta lauk pauknya tanpa malu-malu. Keluar dari antrian, gue bertemu kembali dengan cewek ini. Obrolan basa-basi digelar dan berlangsung dengan tidak adil. Dia manggil gue dengan sebutan nama, karena dari awal gue sudah melarangnya untuk manggil dengan sebutan “oom”. Sounds like I’m a gigolo, aren’t I? Namun sayangnya, gue sama sekali tidak tau namanya. Ngobrol dengan topik gak jelas terus berlangsung. Tiba-tiba, sekelebat suara dari arah belakang melewati telinga gue. Dan suara itu sama sekali gak asing. “Namanya Aline,” ujar suara baik namun terdengar licik tersebut. Yap, dia salah satu kakak sepupu perempuan gue. Dan langsung saja dia menghampiri keluarga gue yang sedang berkumpul dan menggosipkan gue. Ohmaigat..!! Okeh, gossip pun beredar di kalangan keluarga. This is what I don’t like. But, still I can accept it. Aline pun cuma bisa tersenyum kecil. Sambil menikmati sepiring spaghetti, dia tetap mengajak ngobrol gue seolah tidak tahu apa yang sedang terjadi di kalangan keluarga. Akhirnya, obrolan pun terhenti. Gue dipanggil bokap untuk segera pulang. Waktu memang sudah cukup malam, selain nyokap yang juga lagi terbaring sakit. Gue pun langsung menyempatkan diri untuk meminta nomernya dan sekali lagi gue dibuat terkejut. “Bokap lo uda ngasih nomer lo ke gue, kok.” WHAT THE HELL..!!! Bokap gue ternyata sudah secara gerilya menjodohkan gue. Argh.. Gue berasa hidup di jaman Siti Nurbaya. Tapi, gapapa. Untung ceweknya cantik. “Okelah kalau begitu. Berarti lo yang nelpon gue,” sambil sedikit menahan tarikan di tangan dari kakak sepupu gue. Aline hanya melemparkan senyum. Aaaaahhhh….!!! Hati gue meleleh, Jek..!! Sori.. Sori.. Sori, Jek…

Pukul 20.00. Pendek cerita, gue, bokap, nyokap, dan kakak nyokap sudah siap untuk pulang ke kandang. Kembali gue yang memegang kendali mobil. Dan kali ini, sejujur-jujurnya kondisi tubuh gue bener-bener bisa dibilang hampir menyerah. Mata gue beberapa kali sudah hampir menyerah dan akhirnya sampai di titik di mana kejadian ini sama sekali gak boleh terulang lagi. Gue lupa di kilometer berapa, tapi yang pasti gue masih berada di tol Cipularang. Dan lo tau, gue tertidur selama ½ detik. Gue langsung kaget, sekaget-kagetnya dan gue langsung reflek untuk melepas gas. Creepy as shit. Bokap gue sepertinya nggak sadar dengan kejadian barusan. Sejak itu, jok mobil langsung gue tegakkan. Lumayan untuk menopang punggung dan pinggang supaya bisa lebih berkonsentrasi. Selepasnya dari tol Cipularang, akhirnya gue berhenti sejenak di tempat peristirahatan, sekalian buang air kecil. Keluar dari toilet, gue langsung cuci muka dan menyalakan sebatang rokok serta menenggak doping, mizone. Sayang nggak ada kratingdaeng. Sepuluh menit gue merokok, gue bergegas balik ke mobil. Ternyata bokap dan nyokap masih di toilet. Beberapa saat kemudian, bokap-nyokap kembali dan langsung menaiki mobil. Gue langsung tancap gas, keluar dari tempat peristirahatan, menuju Jakarta. Kecepatan gue stabilkan antara 80-100 km/jam. Kondisi badan yang tegak, wajah yang telah tersapu air, aliran darah yang teracuni nikotin, serta otak yang sudah terdoping mizone, sedikit membantu gue untuk menyelesaikan perjalanan. Hati gue semakin lega dan gembira ketika gue membaca tulisan “Cawang-Grogol” di papan hijau rambu jalan.

Mampir di pom bensin Slipi, seluruh penghuni mobil, kecuali gue, tertidur dengan lelapnya. Capek. Setelah selesai mengisi bensin, gue langsung melaju menuju Taman Kedoya Baru. Ah.. Home sweet home. Mitsubishi Kuda pun akhirnya kembali ke kandangnya. Gue dan anggota keluarga yang lain bergegas menurunkan seluruh barang bawaan beserta oleh-oleh. Dan kejutan lagi. Gue mendapat SMS dari nomor yang gue nggak kenal. “Udah sampai Jkt? Langsung istirahat aja. Besok aja kalo mau nelpon. (Aline).”

Tidur gue langsung nyenyak, senyenyak-nyenyaknya.

No Title

Sometimes, when you can't write, you may found a song that completely represents you, describes your feeling and your mind.

Today, I can't figure out any words for the explanation of my souring soul. Hopefully, you guys may understand it by hearing this song.

Enjoy

Day One Of Java Rockin' Land

Berawal dari hari Jumat kemarin hingga hari Minggu, gue berkesempatan untuk hadir di sebuah event yang menyatukan musik rock, yang sempat diklaim sebagai yang terbesar di Asia Tenggara. Dari hari pertama gue hadir di acara yang berlokasi di Pantai Carnaval Ancol tersebut, gue sudah terkagum-kagum. Pantas saja sang pioneer dari acara ini, Peter F. Gontha, berani mengklaim bahwa ini adalah konser rock terbesar se-Asia Tenggara. Seluruh lahan, yang gak bisa gue perkirakan luasnya, terpakai semuanya untuk melayani nafsu birahi para penggemar musik rock Indonesia. Band-band yang menyajikan berbagai musik rock berkumpul dan menyajikan penampilan terbaiknya. Bahkan ada beberapa musisi rock yang kurang terkenal di telinga gue ikut hadir menyemarakan acara ini. Musik-musik aneh dari para musisi yang bergerak tanpa disadari penikmat musik mayoritas Indonesia ternyata cukup membuat gue terkesima. Di tengah gelombang tsunami musik-musik aliran melayu dan lagu-lagu bernada cengeng yang berkisah soal patah hati, musisi ini dengan tegapnya bangga mengusung idealism pribadi. Dengan lantang mereka bernyanyi tanpa peduli. Dan suara-suara percaya diri itu ternyata bak gayung bersambut. Crowd pun bersedia mendengarkan musik yang terkadang asing di telinga mereka. Sebuah bentuk penghargaan yang luar biasa terhadap musik anti mainstream tersebut. Sebuah atmosfer yang luar biasa.

Event ini dimulai dengan menampilkan grup band Amazing On Bed. Ini kedua kalinya gue menonton grup band ini. Dengan mengusung jenis musik female-vocalist-rock, mereka mendendangkan lagu-lagu yang masih asing bagi mayoritas pengunjung namun familiar bagi telinga segelintir penggemarnya. Rock bertenaga dan kualitas apik dari sang female vocalist berhasil, setidaknya, menggoda para penonton untuk sedikit ber-headbanging ria. Setelah membawakan beberapa lagu andalan, sang gitaris bertato yang memang sedikit mempunyai tingkah nyeleneh pun menyampaikan sedikit “pidato”. “Saya meminta maaf sebelumnya, karena di sini saya memakai gitar Eddie Van Halen, walaupun permainan saya seperti Eddy Silitonga.” Banyolan itu pun langsung ditimpali dengan tawa dari crowd yang berkumpul dan senyum dari teman-teman seperjuangannya di atas panggung. Setelah itu, telinga penikmat musik kembali dihajar dengan musik pop-rock memikat. Dan akhirnya mereka pun masuk ke panggung setelah menyelesaikan list lagu yang tersembunyi di balik speaker monitor. Tepuk tangan dari mereka yang menghargai karya rock underground mengiringi ayunan kaki anggota band ke dalam panggung.

Dari situ gue dan temen cewek gue beristirahat sejenak, lalu langsung menuju panggung selanjutnya. Rocket Rockers adalah tujuan berikutnya. Walaupun gue kurang mendengarkan musik-musik mereka, tapi gue mempunyai sebuah keingintahuan untuk sekedar mendengarkan musik non-melayu dan non-cinta-cintaan. Sesampainya gue di sana, ternyata alam berkehendak lain. Ketika mereka sedang melakukan check-sound, awan gelap yang menggantung sejak tadi akhirnya meluapkan air yang seolah sudah melampaui batas volume. Kontan, seluruh penonton yang sudah setia berkumpul demi menonton penampilannya langsung berhamburan mencari tempat berteduh. Ah, sayang. Padahal gue udah cukup sabar untuk menantikan penampilan mereka. Alhasil, Rocket Rockers pun gagal menyajikan penampilan terbaiknya. Sambil menunggu redanya hujan yang berkecamuk kejam, gue dan teman gue numpang di tenda booth milik minuman keras Jack Daniels. Di situ gue bertemu dengan sekumpulan musisi underground Indonesia. Vokalis Superglad terlihat bersantai ria sambil menyesap seloki Jack-D. Dan beberapa orang yang sedang mengobrol dengan gitaris band yang gue gak tau namanya (dan gue bakal dicerca sama temen gue karena gak meminta foto bareng atau tanda-tangan dari semua rock star yang sedang berkumpul itu). Setengah jam berdiri sambil mengobrol dan menggosip membuat pinggang gue berteriak. Akhirnya hujan pun mereda. Gue dan teman gue berjalan menyusuri tanah-tanah becek berpasir dan belumpur. Namun, semangat gue mengalahkan segalanya. Gue berniat untuk menonton keseluruhan performance dari band-band yang jarang sekali gue tonton.

Akhirnya, gue berdua melangkah ke main stage. Panggung terbesar di antara panggung-panggung lain yang berdiri di wilayah Pantai Carnaval. Performer selanjutnya adalah sebuah band yang malang melintang di dunia musik dan gue baru mengenalnya ketika gue SMP. Band yang segera menjadi legenda musik Indonesia, /rif. Dikomandoi oleh sang vocalist Andy, dan para gitarisnya, Jikun dan Ovy, mereka langsung menghentak panggung besar itu. Penonton langsung bersorak kegirangan mendengar raungan gitar dan teriakan sang vocalist. Tak ingin kalah, Magy pun memukul drumnya dengan penuh tenaga. Penonton pun semakin bersorak. Bukti sebuah kerinduan para pecinta musik rock Indonesia, Jakarta khususnya. Beberapa lagu yang terdengar familiar mengalir tanpa henti dan lompatan bersemangat segelintir orang di tengah kumpulan manusia berbaju hitam tampak mengikuti irama musik. Tak sedikit juga yang ikut menyanyikan lagu-lagu dari band itu. Gue dan teman gue hanya bisa berdiri di deretan paling belakang. Namun, gue masih bisa merasakan aksi penuh tenaga dari band ini. Lagu terakhir yang gue ingat sebelum gue beranjak menuju Dome Stage untuk menyaksikan Gugun Blues Shelter adalah lagu yang seringkali gue bawain ketika gue masih aktif nge-band bareng temen-temen SMA, “Loe Tu Ye”. Bibir seakan gak mampu menahan birahi untuk ikut menyanyikan lagu wajib masa SMA. Yang gue heran, ternyata gue masih hapal dengan sempurna keseluruhan syair dari lagu tersebut. Gue terkesan sama diri gue sendiri.

Di tengah-tengah show yang memang belum selesai, gue dan teman gue memutuskan untuk segera menonton Gugun Blues Shelter dan gue berdua pun beranjak untuk menuju Dome Stage. Dan tak disangka tak dinyanya, gue bertemu dengan salah satu gitaris terbaik (versi gue pribadi) yang dimiliki oleh Indonesia, Iwan St. Loco. Dan tanpa basa-basi, dia pun langsung menyapa gue. Hmmm…. Kok, jadi terkesan gue yang terkenal, ya? No.. No.. Bukan gitu. Justru gue yang langsung ngerasa gak enak sama dia karena justru malah dia yang nyapa gue duluan dan bukan gue. Well, gue memang sudah cukup kenal dia gara-gara pergaulan gue dengan para teman-teman begajulan gue. Belum kenal lama, tapi cukup mengenal. Ah, ada sedikit kebanggaan bisa salaman dengan gitaris hebat di tengah event rock terbesar di Asia Tenggara. Temen cewe gue yang gue kenalin ke Iwan langsung nanya ke gue, “Siapa tuh? Kayaknya pernah liat.” Gue pun dengan sedikit nada bangga bilang, “Iwan. Gitaris St. Loco.” Teman cewe gue langsung bertanya apa gue bohong ato nggak. Tentu tidak. Hahaha..

Lanjut ke topik. Sesampainya gue di Dome Stage yang dingin akibat AC yang meniup belakang leher gue dengan kejamnya, gue langsung disajikan panasnya penampilan band trio terhebat se-Indonesia (versi gue, loh). Membawakan lagu-lagu blues dengan balutan sedikit rock ‘n roll, penonton seakan terbius dengan penampilan Gugun Blues Shelter. Gue, yang sudah berkali-kali menonton performance mereka, gak pernah bosan. Trio Bowie, Gugun, dan Nyep_nyep (gue lebih nyaman menyebut Nyep_Nyep dibandingkan Jon) bener-bener total menampilkan sebuah performance yang bertenaga dan “tight”. Lagu kesukaan gue pun akhirnya dimainkan. “When I See You Again” yang (menurut penerjemahan gue pribadi) bercerita soal kerinduan kepada sang kekasih. Mulut gue pun kembali tidak bisa bertahan untuk menyanyikan penggalan lirik lagu cantik itu. Dan dalam penampilannya malam itu, mereka memberikan dua kejutan khusus buat para penontonnya. Pertama adalah kemunculan seorang vocalist (yang menjadi salah satu favorit gue) band besar di tanah air. Yap, Elfonda Mekel alias Once. Gue kurang begitu bisa ingat lagu apa yang mereka mainkan, namun permainan mereka memang benar-benar apik. Seolah mereka sudah bermain bersama selama puluhan tahun. Fiuh, luar biasa. Gue selalu suka melihat para musisi hebat bersatu dan membuat karya yang luar biasa seperti ini. Dan sebelum gue lupa, masih ada kejutan nomer dua. Kejutan kedua adalah, tak disangka, tak dinyanya, Jon Nyep_Nyep tiba-tiba membuka seragam wajibnya. Mantel mandi yang biasa membalut tubuhnya, tiba-tiba dibukanya dan seketika itu juga memperlihatkan celana dalam… Umm. Actually it’s not an underwear. Shit..!! He wore a pampers. An adult-pampers, for God’s sake. Dan penonton pun semakin menggila. Menyanyikan “White Dog” yang didaulat sebagai tembang penutup, kemungkinan besar Nyep_Nyep memang melakukan hal itu demi menyinggung ex-label yang sempat menaungi mereka. Yeap, I’m not interested with that kind of issues. Yang gue nikmatin adalah penampilan sinting nan enerjik mereka. Mudah-mudahan mereka masih bersedia untuk menyemarakkan musik Indonesia yang sedang dihajar gelombang Melayu nan kemayu.

Berlanjut dari situ, gue berdua langsung cabut ke panggung berikutnya yang sudah berisi dentuman musik rock. Karena gue udah janji untuk nonton penampilan St. Loco, gue pun berdiri di samping panggung untuk menyaksikan aksi mereka. Sebenernya, gue penasaran dengan kehadiran Nyonk, sang drummer yang sempat absen akibat kecelakaan yang menimpa dirinya. Dan sekarang dia kembali mengisi formasi dengan duduk di belakang drum. Ah, gue sungguh kangen dengan tabuhan bertenaganya. Sungguh sebuah candu melihat Nyonk menabuh drum bersama para personel St. Loco. Tapi, setelah melihat come back-nya Nyonk, gue malah melihat adanya kekurangan di atas panggung. Hmm… Gue nggak melihat DJ Tius berdiri di belakang perangkat turn-tables-nya. Kemanakah gerangan? Satu datang, yang lain pergi. Sungguh disayangkan. Namun, dibalik kekurangan itu semua, gue sungguh menikmati penampilan St. Loco secara keseluruhan. Walaupun, menurut gue pribadi, penampilan St. Loco malam itu sedikit kurang. Entah kurang apa, tapi mereka seperti kekurangan energi. Mulai dari suara-suara aneh nan mengganggu dari belakang panggung, sampai sound yang sedikit kurang “nendang”. Urrggh.. Gue sedikit kesel. Permainannya kurang lepas, Jek..!! Lagu yang gue tunggu-tunggu pun, ‘Terapi Energi’, juga gak nampol. Agak disayangkan, sih. Mungkin kekurangan salah satu ‘biang’ membuat mereka sedikit terganggu. Tapi, gue tetap salut dengan penampilan total mereka. Keep energizing us, El Locos…!!

Selesai dari situ, kami berdua bergegas lagi masuk ke Dome Stage demi menonton The Brandals. Band rock ‘n roll Indonesia yang sempat naik daun dengan lagu-lagu kritik sosialnya. Bukan salah satu band favorit gue, sih. Tapi, gue menikmati beberapa lagunya yang selalu menyuarakan keresahan minoritas. Hampir semua lagu yang mereka dendangkan terdengar sangat asing di telinga gue. Bahkan semuanya, kecuali ‘100 km’, kalo gak salah. Kalo salah, Abang mohon maaf sebesar-besarnya J. Sekali lagi sebuah kejutan menghampiri gue. Dari arah belakang, tiba-tiba datanglah sekelompok bule alias londo yang berpakaian rapi. Kemeja dan jeans skinny, namun dengan lengan penuh tattoo. Satunya lagi berpakaian lebih cuek. Kaos oblong dipadu dengan celana jeans. Mereka menonton dan sangat menikmati lagu yang terus menerus berderai dari atas panggung. Bahkan si bule cuek ikut ber-head-banging. Rambutnya yang keriting cenderung kribo mengikuti gerak kepalanya. Wow..!! Mereka bahkan kemungkinan besar tidak mengenal siapa yang tengah manggung di Dome Stage, tapi kelihatannya londo nyasar ini masih bisa menikmati musiknya, selama itu rock ‘n roll. Setiap selesai satu lagu, si bule cuek langsung memberikan salam “devil’s horn” ke arah panggung, sedangkan yang lain memberikan applause panjang. Di kepala gue langsung terpikir, “Inilah ke-universal-an musik. Music is a language.”

Setelah The Brandals rampung akhirnya gue memutuskan untuk take a break. Membeli minum sambil mencari-cari snack a.k.a cemilan yang tidak pernah kami temukan, akhirnya gue berdua duduk di atas trotoar sambil ngobrol ngalor ngidul. Setidaknya pinggang gue yang berteriak bisa beristirahat sejenak dari kekerasan musik rock yang sudah mengalun dan meracuni otak gue sejak jam 4 sore. Sambil secara rutin melihat arloji dan jadwal di buku yang gue ambil di info booth, gue kerap terbengong-bengong membayangkan penampilan Smashing Pumpkins yang akan naik panggung jam 11 malam. Bakalan seru kelihatannya. Obrolan-obrolan kosong tersebut sedikit membuat gue lupa dengan sakit lutut yang sedari tadi mendera. Bener-bener capek, Bray. Mau mati rasanyaaa…!!!

Dan jam di tangan teman gue sudah menunjukan jam 11 kurang, dan gue berdua langsung tancap gas menuju main stage. Lampu-lampu sorot sudah dimainkan. Asap-asap buatan sudah mengepul di atas panggung. Dan singkat cerita, akhirnya Billy Corgan pun tampil. Dihajar dengan lagu pembuka, penonton di depan panggung, anehnya, malah diam dan tidak merespon. Hanya sebatas tepuk tangan biasa saja. Hmmm… Mereka ternyata bukan die-hard fans. Gue pun juga bukan. Gue hanya menyukai beberapa lagu yang sayangnya tidak dimainkan di atas panggung kemarin. Well, gue sejujurnya nggak bisa bercerita banyak soal konser yang satu ini. Benar-benar nggak sebanding. Billy Corgan dan kawan-kawan sudah tampil maksimal, tapi crowd di depannya malah melempem kayak kerupuk kerendem air. Nggak salah kalau sang front-man sedikit kesal. Yang gue ingat, adalah ketika mereka memainkan intro lagu yang sudah familiar di telinga, penonton pun langsung bersorak kegirangan. Namun, Corgan langsung berhenti dan bilang, “Now you’re alive, huh?”, dan langsung meneruskan permainan gitarnya. Ah, gue langsung merasakan kekecewaan di batinnya. Gue rasa, Smashing Pumpkins bakalan ogah datang ke Jakarta lagi setelah melihat crowd yang sungguh basi. Malahan di penghujung pertunjukan, Corgan dan kawan-kawan yang sedang sibuk memainkan riff-riff keras, tiba-tiba mereka langsung berhenti dan masuk panggung tanpa berkata apa pun. Teriakan “We want more” sama sekali nggak dihiraukan. Wajar lah. Gue juga gak bakal mau memberikan bonus kalo crowd-nya cuma diem adem ayem. Banyak suara kecewa setelah bubaran konser Smashing Pumpkins, tapi gue tetap mengambil sisi baiknya. Gue selalu berpesan, jadilah tuan rumah yang baik. Buatlah suasana seperti di rumah sendiri bagi tamu lo. Layani mereka maka mereka pun akan memberikan yang terbaik. Terima kasih Billy Corgan untuk kesediaannya mengisi kekosongan musik rock di Tanah Air Indonesia ini. \m/