Negara Semenjana Bernama Kosta Rika

“Kuda hitam” adalah sebuah julukan yang diberikan kepada sebuah tim yang dipandang memiliki potensi untuk memberi kejutan atau mengganggu dominasi tim-tim besar di dalam sebuah turnamen. Bahkan secara tidak langsung, pemberian julukan tersebut merupakan sebuah pengakuan atas potensi dari sebuah tim, meski secara tidak langsung juga menggambarkan status underdog-nya.

Di Piala Dunia 2014 ini, sebagian analis sepakat untuk menyematkan predikat tersebut kepada Uruguay. Alasannya cukup sederhana, karena selain memiliki barisan pemain top yang berlaga di liga-liga Eropa. Tetapi jangan lupakan prestasi tim Amerika Selatan ini pernah memenangi Piala Dunia edisi tahun 1930 dan 1950. Dengan barisan fakta yang mentereng tersebut, tak ada alasan bagi Inggris dan Italia untuk tidak mewaspadai Uruguay yang bergabung di dalam grup neraka.

Sayangnya, grup di setiap Piala Dunia tidak diisi oleh tiga tim saja, melainkan empat. Selain negara-negara besar barusan, masih ada Kosta Rika yang berhasil lolos dari babak penyisihan grup zona Concacaf bersama Amerika Serikat, Honduras, dan Meksiko. Tak ada yang memperhitungkan kekuatan dari tim-tim yang berasal dari wilayah Amerika Tengah dan Utara. Mereka adalah negara kelas dua di ranah persepakbolaan dunia.

Skuat Uruguay memiliki striker mematikan di diri Edinson Cavani dan Luis Suarez, jaminan paten lini belakang dari Diego Lugano, serta penghancur lini tengah lawan Walter Gargano. Nama-nama tersebut tentunya memiliki kualitas di atas Joel Campbell, Bryan Ruiz, Diego Calvo, dan Oscar Duarte. Penggemar EPL mungkin saja mengenal Campbell sebagai pemain Arsenal dan Ruiz yang membela Fulham. Tetapi siapa dua nama yang disebut terakhir? Tidak ada yang mengenalnya, kecuali 4,6 juta penduduk Kosta Rika.

Tetapi sebuah kejutan pun terjadi. Nubuat para nabi tak terjadi. Kosta Rika yang diperhitungkan bakal menjadi korban bullying di grup ini tampil dengan gagah berani. Tiga gol bersarang di gawang Fernando Muslera menjadi bukti perlawanan keras dari mereka yang kerap dianggap anak bawang. Hal ini berhasil membuka mata para penonton bola, bahwa deretan nama besar dan sejarah mengkilap tak menjamin kualitas permainan sebuah tim.

Dari segi permainan, Uruguay memang berhasil menguasai pertandingan dengan penguasaan bola hingga 56%. Sayangnya penguasaan tersebut tidak didukung oleh kualitas mengumpan bola. Uruguay hanya berhasil mengirimkan76%  bola matang, sedangkan Kosta Rika unggul dengan 78% umpan matang. Perbedaan tersebut memang tipis, tetapi Kosta Rika mampu memanfaatkan peluang dengan lebih efektif.

Dari 13 shot yang dilepaskan Kosta Rika, 4 di antaranya merupakan shot-on-target, dengan keberhasilan mencetak tiga gol. Bandingkan dengan Uruguay yang melepas tembakan sebanyak 9 kali, degan hanya 3 shot yang mengarah ke gawang. Lebih gilanya lagi tidak ada satu pun tendangan yang dilepaskan di area 6-yard-box. Berbeda dengan Kosta Rika yang 23% tendangannya dilakukan di area tersebut.

Hasilnya tentu sudah bisa pembaca simak di berbagai media massa: “Uruguay Ditaklukan Negara Semenjana”. Campbell, Oscar Duarte, dan Marco Urena membuat Luis Suarez seolah ingin segera menggigit salah satu dari pemain Kosta Rika. Tangannya mulai bergerak-gerak resah, gatal ingin memblok bola yang mengarah ke gawangnya, seperti yang pernah ia lakukan kala melawan Ghana beberapa waktu silam. Uruguay bertransformasi dan terjebak dalam frustasi. Puncaknya adalah ketika Maxi Pereira diminta wasit untuk segera berkontemplasi memikirkan pelanggarannya usai menendang tulang kering dari siapa-itu-namanya-saya-tidak-kenal.

Tepat setelah insiden tersebut, sang pengadil langsung meniup peluit panjang. Pertandingan pertama di grup neraka berakhir. Kapten Lugano tak bisa menahan keringat getir yang mengalir di wajahnya. Atas kejutan tersebut komentator di TV mengatakan: “Inilah Piala Dunia”, meski perkataan tersebut kurang tepat. Ini bukanlah sekedar Piala Dunia. Ini adalah Kosta Rika.

Lupakan kemenangan fenomenal Belanda atas Spanyol.


Costa Rica has stolen the attention.


Football is Coming Home

Menjelang detik-detik pembukaan Piala Dunia 2014, sebagian masyarakat Brazil dikabarkan kembali tumpah ke jalanan. Bukan untuk memberikan sambutan atas pesta akbar tersebut, tetapi untuk memprotes penyelenggaraan even empat tahunan tersebut. Para demonstran itu (masih) mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap lebih memilih untuk menghambur-hamburkan duit hanya untuk membangun stadion, ketimbang “memberi makan” rakyatnya sendiri.

Pemerintah Brazil pernah berjanji untuk mengamankan even bersejarah ini. Wajar saja, karena Brazil tak ingin kehilangan kehormatannya sebagai “Negerinya Sepakbola”. Hal tersebut terlihat jelas dari penuhnya stadion Arena De Sao Paulo yang tampak dikuasai oleh massa berbaju kuning, dengan minoritas berbaju kotak-kotak putih-merah (saya melewatkan acara pembukaan Piala Dunia 2014 yang diisi oleh Jenifer Lopez alias J-Lo, Pitbull, dan artis lokal Claudia Leitte, karena sama sekali tidak tertarik dengan hiburan sampingan medioker).

Massa berbaju kuning tersebut tentunya bukanlah massa dari salah satu partai politik yang memiliki ketua umum yang doyan memeluk Teddy Bear. Massa berbaju kuning tersebut adalah mereka yang telah siap untuk berteriak, “Football is coming home!”. Pulangnya sepakbola ke tanah kelahirannya (persetan dengan Inggris) ditandai oleh gemuruhnya stadion kala national anthem “Hino Nacional Brasileiro” dimainkan. Saya belum pernah menemukan sebuah atmosfer yang membikin bulu kuduk berdiri dan air mata haru menetes, kecuali saat menyanyikan “Indonesia Raya” di Gelora Bung Karno. Sebuah atmosfer yang akan membuat lutut siapa pun gemetar ketakutan.

Tetapi ada satu hal yang sangat menarik di pertandingan tersebut. Pihak penyelenggara mengawali partai pembuka tersebut dengan melepas tiga ekor burung merpati putih. Tanpa harus mendengar pendapat dari komentator di  televisi, kita pun sudah mengerti bahwa burung merpati adalah lambang dari perdamaian. “Di dalam lapangan mereka boleh bertarung memperebutkan kemenangan, tetapi nilai-nilai sportivitas tetap harus dijunjung tinggi,” ucap sang komentator.

Tidak ada yang salah dari komentar barusan, tetapi saya merasa bahwa tiga burung merpati ini tidak hanya ditujukan untuk 22 gladiator di lapangan hijau. Tiga simbol perdamaian tersebut seolah-olah membawa pesan bahwa sepakbola adalah pembawa damai di muka bumi ini. Sepakbola adalah sepakbola. Bukan sekedar cabang olahraga, tetapi lebih kepada seni pertunjukan dengan 22 orang seniman di dalamnya. Sejatinya sebuah pertunjukan diselenggarakan untuk  menghibur para penonton, baik yang ada di dalam, di luar, maupun mereka yang menontonnya di depan TV sambil memakan kacang kulit di belahan bumi yang lain.

Terlepas dari demonstrasi yang terjadi lama setelah Brazil resmi ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014, football is coming home, sepakbola tengah kembali pulang ke pangkuan bundanya (lagi-lagi, persetan Inggris dengan segala klaimnya soal negara asal sepakbola). Seorang anak yang pulang wajib disambut dengan pelukan gembira dan penuh rasa bangga. Sambutan tersebut terlihat jelas saat Neymar Jr. mencetak gol penyama kedudukan. Saya yakin hampir semua warga Brazil melompat dan mengepalkan tangannya ke udara.

Keresahan masyarakat Brazil atas kebijakan pemerintah dan juga FIFA (baca: Sepp Blatter) terlupakan sejenak. Kegembiraan para penganut agama sepakbola di seluruh dunia baru dimulai. Pecinta sepakbola Brazil pun kembali jejingkrakan kala Oscar menutup laga dengan sebuah gol visioner hasil dari sepakan kaki kanannya.

Football is coming home..!! Let’s celebrate.