Dialog Subuh

Subuh ini, dibangunkan oleh suara pengajian menjelang adzan. Sungguh sebuah cara bangun yang sangat indah. Suara familiar di masjid seberang terus mengumandangkan ayat-ayat Quran. Sudah sejak SMA suara itu masih setia membangunkan gue dari mimpi. Ia, di seberang sana, seperti mempunyai ketetapan hati. Sebuah komitmen dlm keyakinannya untuk mengingatkan umat-Nya. Ia membayar cinta-Nya.

Suara kumandang adzan yg bersahut-sahutan dari satu masjid ke masjid yg lain berhasil memecah kesunyian pagi. Membuat riak menjelang fajar. Lampu-lampu jalanan masih menyala menerangi setiap jengkal ranah kehidupan. Suara kicau burung belum terdengar. Namun ia telah terduduk. Satu-persatu mereka memasuki ruangan kecil beralaskan karpet yg bergambar Kaabah. Wajah dan rambutnya basah. Siap berdialog dgn Sang Khalik. Kantuk masih menggelantung di lehernya. Mereka terduduk bersila, ber-salam2an dgn tangan-tangan yg dikenalnya.

Secercah senyum mendahului mentari. Seorang anak berjalan menyusuri gang kecil. Sarung motif kotak2 menutupi sekujur lehernya. Angin dingin di pagi hari terlalu kejam untuknya. Masih nampak lelah, namun pancaran sinar matanya sungguh bersemangat. Tak ingin kehilangan kesempatan berdialog dengan-Nya di hari pertama.

Suara lemah di pengeras suara telah memperdengarkan adzan. Percikan air dr keran yang menyala semakin ramai. Alas kaki mulai menumpuk di luar. Barisan rapi terbentuk. Si anak berdiri di antara para dewasa. Matanya tertutup rapat. Kaki telanjangnya basah. Terburu-buru tampaknya. Mereka menunduk. Khusyuk. Mereka sedang berdialog. "Aku cinta pada-Mu seperti Engkau cinta padaku. Kerahiman-Mu adalah mata airku."

Tersujud. Si anak kecil matanya masih terutup. Bibirnya bergerak pelan. Sebuah percakapan intim antara pencipta dan ciptaan. Pagi ini Indah.


~ 11 Juli, 2011. 4 a.m - 5 a.m. ~

Paradigma Sebuah Status

Di pojok Seven Eleven Taman Puring, hampir jam sebelas malam, gue dan tiga orang teman duduk sambil mengobrol. Sebotol bir untuk masing-masing berdiri tegak di meja bundar putih. Perbincangan dengan topik yang dimulai sejak pertemuan kami menyambut tahun baru 2011 kemarin di Pantai Sawarna kembali naik daun. Sebuah perdebatan kecil mengenai arti cinta yang tulus, cinta yang tak kenal pamrih, cinta yang hanya memberi namun tidak mengharapkan imbalan apa pun. Cinta yang sempurna ungkap teman gue kemarin. Dia mengandaikannya dengan sebuah persamaan cinta Tuhan terhadap umat-Nya. "Ketika Tuhan mencintai kita, Dia tidak mengharapkan balasan dari kita. Itulah cinta yang sempurna," katanya. Sedetik tampak sangat masuk akal, namun sedetik kemudian hati dan pikiran gue sedikit bergejolak. Teman gue yang lain sedikit menyanggah, "Jangan samain cinta sesama manusia dengan cinta Tuhan terhadap manusia. Ketinggian." Gue pun gak bisa menolak sanggahan tersebut. Di satu sisi manusia memang "diwajibkan" untuk mencinta, tapi apakah mereka tidak berhak meminta sedikit balasan dari rasa cinta yang telah ia berikan? Memang cinta itu adalah cuma-cuma alias gratis a.k.a gretong. Gak diminta bayaran. Memang manusia diciptakan serupa (secara fisik) dengan Tuhan dan kita juga sebagai umat-Nya diharuskan untuk sama secara sifat dengan-Nya. Tapi, sanggupkah kita memberikan cinta tanpa pamrih?

Belajar dari segala pengalaman gue dalam mencinta dan bercinta, udah cukup sering gue memberikan cinta (atau perasaan sejenisnya) kepada lawan jenis gue. Sayang, cuma lima orang yang matanya sedikit terbutakan oleh jahanam yang bernama cinta. Sisanya? Mereka masih sadar dan masih yakin kalau cinta tidak bisa menutup kekurangan fisik, walaupun (katanya) secara fisik kita udah mirip Tuhan. Well, bukan itu yang mau gue bahas. Okay, fokus pada titik permasalahan. Back to topic. Gue pribadi mengalami tahap dimana gue mengawalinya dengan sekedar perasaan suka. Lama-lama perasaan itu semakin tumbuh dan semakin membesar, sampai akhirnya membuncah keluar dan menyumbat semua nadi-nadi di dalam tubuh. Aliran darah yang berisi oksigen dari paru-paru menuju otak seolah tertahan. Ya... Gue (hampir) selalu pengen pingsan kalo ngeliat perempuan yang gue suka ada di seberang mata gue. Dan ketika berpapasan, jantung gue langsung bekerja keras berusaha mengirimkan darah menuju kepala. Tapi, nadi gue bener-bener tersumbat. Alhasil, gue cuman bisa cengar-cengir gak jelas. Ya, itu semua akibat otak gue yang kekurangan oksigen. Beberapa sel otak gue sepertinya mati dan meninggalkan gue dengan ekspresi aneh ketika bertemu sang lawan jenis. Eh... Ini kok malah curhat, sih? Shit.. Ganti paragraf.

Intinya adalah, ketika gue suka sama perempuan dan perasaan itu semakin bertumbuh, pasti ada sesuatu yang berubah dari sikap gue. Segala perhatian pastinya gue fokuskan cuma buat dia. Tapi, apa yang terjadi ketika dia gak membalas perasaan gue yang udah tumbuh sedemikian besar? Gue pasti kecewa. Gue pasti marah dan gak terima. Dalam hati, gue pasti akan mencak-mencak, "Dengan segalanya yang udah gue korbankan dan lo masih gak melirik gue sedikit pun? Dan lo malah milih cowok-cowok berotot bertampang gay? WHAT THE FUCK, GIRL..!!" Ya. Itu adalah gue yang sedang kecewa dan gue bilang itu sangat manusiawi. Mencintai tanpa dicintai? Seriously, are you joking?

Gue adalah penganut mencintai harus dicintai, cinta harus memiliki. Gue beranggapan bullshit kalo cinta itu tak harus memiliki. Well, seiring perjalanan gue, akhirnya gue harus berani merubah paradigma gue. Perubahan pandangan gue berawal ketika gue sadar gue sangat menyukai dan menyayangi seorang perempuan. Seorang yang spesial di hati gue. Dia ada di tempat khusus di dalam hati dan pikiran gue. Gue sempat berpikir, gue harus "jadian" sama dia. Tapi, waktu tidak menyetujuinya. Perasaan gue berkembang terlalu besar. Perasaan sayang dan cinta gue untuknya tiba-tiba merubah gue secara total. Ketika seharusnya jantung gue bekerja keras memompa darah menuju otak, kali ini dia berdegup dengan santai. Saat gue berada di dekatnya, gue merasa sangat nyaman. Perasaan cinta yang gue berikan untuknya memang tidak berbalas, namun gue gak menuntuk untuk dibalas. Aneh.. Emosi gue teredam.

Sampai sekarang, perasaan itu masih ada dan masih terpendam jauh di pojok otak kecil gue di sebelah kanan gang sampe mentok portal, baru belok kiri. Gue gak memendam, tapi teredam seperti yang gue bilang di paragraf sebelumnya. Di kasus ini, jujur gue setuju dengan pendapat teman gue yang mengatakan bahwa perasaan itu tidak bisa dikungkung status "pacaran" atau "jadian". Perasaan sayang dan cinta itu universal, jangan dikotak-kotakkan dengan sebuah ikatan. Karena terkadang status cuma dijadikan legalisasi gandengan, ciuman, dan grepe-grepe. Shit..!! I definitely don't agree with that. Mencintai tanpa menuntut balik. Ya, gue sudah sampai di posisi itu.

Dari yang udah gue rekam dari pembicaraan kemarin, sebenarnya gue pribadi cuma menuntut kepastian. Ketika gue menyatakan sebuah perasaan, gue cuma meminta sebuah respon. Persetan dengan respon tersebut. Kalau dia sayang sama gue, puji Tuhan. Kalau nggak, ya setidaknya gue udah menyatakan. Intinya kan cuma itu, bukan? KEPASTIAN. Terikat status atau tidak, itu masalah belakangan. Selama keterikatan lo terhadap status cuma buat cipok-cipokan, ya itu urusan lo. Tapi, ketika lo gak terikat status apapun tapi lo bisa saling mencinta tanpa ada maksud melucuti baju pasangan lo, kenapa nggak? So, kesimpulan gue adalah status itu memang gak perlu. Tapi ungkapan perasaan disertai dengan sedikit kepastian dari perempuan/laki-laki yang lo berikan perasaan lah yang menurut gue sebuah keharusan. Jujur, lo kira gue jemuran bisa lo gantung seenaknya? Makanya, nyatain perasaan lo keburu telat. Perkara jadian atau nggak, itu urusan belakangan. :)