Letter To Them

To my beloved Brother and Sister,

Hi. How are you guys doing? I bet you’re heavenly doing good in there. Me? I’m beautifully better out here. You know what, I’ve never seen you guys for 25 years. I’ve no idea what you guys look like right now. First time I look at your picture, you’re still a baby born. Cute and simply innocent. But I’ve only saw Nic’s picture. I’ve asked our parents about Maria’s picture, but they didn’t have a chance to take it. Swear to God, I want to see your face, Sis. Well, in anyway I might could describe you from our parents story. They told me that you are as beautiful as angel. Blooming like fresh flowers in a green field. Just an unfortunate event that you were being touched by the death inside the womb. But now, I kinda grateful that you haven’t breath the air of the earth which full of filth and artificiality.

And Nic. I’ve seen your picture like I said before. A little baby, closing his eyes in concordance, seems like you enjoy the harmony. Our parents told me that you live this life for only ten minutes. Your cry was so delicate and it was fainting away. Faded inside the babies room in the hospital. Mom told me that you take your last long breath heavily and release it peacefully. When you dissolved our parents just started to cry without mourning your disappearance. They know it rather be like that. They also said that your eyes are blinking once and seeing our father who was holding you in his arms. That’s the best experience since my birth in his life, he said, to see you staring into his eyes for two seconds away. Then you close your eyes… forever. “He is a handsome boy if he lives now,” our dad said once.

Nicholas and Maria. If I may, I would call you guys by Nic and Mary. Shorter and more intimate for me. And probably will waste some spaces if I write your real name in this letter. Hahaha.. Kidding. But, really. Your nick name was made when I was in junior high. By me of course, you shouldn’t have asked that though. J

Nic. Mary. Honestly, I miss you both. Never understand why I can miss two persons which I never met before, but I really feel that something is missing when I sleep alone in my room. When I want to tell some story about my life in the afternoon. When I want to share about the girl that I like. About the first time I smoke cigarettes. About the first time I smoke ganja (in this case, both of you could have punch me in the face). About any rebellions that I did in my life. I don’t exactly know how does it feels to be hugged by you two in my sleep. For your information, guys. I think I have dreamt about you. Suddenly in my dream, there’s a stranger come by and holding a board written “Nicholas” and “Maria”. Under that, it said “What’s up lil’ brother”. And I didn’t even recognize you or translate that vision. But I guess I remember your face. Nic has the face of mom and the eyes of dad. But Mary was as beautiful as mom. God, if only I can meet you again sometimes. I will hold you and kiss you. Either way, I could just start wishing that we can talk and having a long conversation about anything or everything. About the girls that I love or another. If only.

Of all that. I miss you. We’re bound in blood. Only faith that cannot make us living together under the same roof.



Your lil’ brother,


Andre

Tertuju Untukmu

Dear Perempuan yang sedang duduk di pojok ruangan,

Apa kabar? Gimana kerjaan, Lin? Sekarang udah dapat kerjaan baru, ya? Eh, lo tau gak seeehhh. Gue tuh banget pengen ngobrol sama lo. Tapi, dikarenakan muka lo tuh sering banget jutek dan sok serius. Gue jadi agak-agak takut kalo ngajak ngobrol lo. Takut dimarahin. Sadar gak sih, kalo gue sering banget jadi bahan pelampiasan “amarah” lo. Hehehe… Setiap kali ketemu, walaupun dengan senyum tersirat di muke lo, ujung-ujungnya pasti lo marah-marah. Gue gak tau sebabnya. Atau mungkin karena gue memang sering nyela lo? Jadi, lo ngerasa kalo gue adalah orang yang pas buat di omelin. Gue sih terima-terima aja kalo dijadikan bahan pelampiasan stress lo yang udah menumpuk, tapi jangan sering-sering, lah. Capek, tau. Hahaha.. Tapi, gak kenapa. Gue malah jadi ngerasa makin deket sama lo. Seperti ada chemistry di antara kita (ciaelah…).

Ngomong-ngomong soal chemistry, gue mau jujur sama lo. Pertama kali kita ketemu, yang gue gak ingat kapan, di saat itulah juga gue suka sama lo. Gue gak tau kenapa. Kalo boleh jujur, sebenarnya gue pertama kali gak tertarik dengan muka lo, karena muka lo itu biasa aja (dan gue siap-siap digaplok seandainya surat ini beneran sampai ke lo J). Eits, jangan marah dulu. Gue tuh bisa tertarik sama lo karena kepribadian lo yang sedkit nyeleneh. Sedikit campuran antara sikap kekanak-kanakan dan pemikiran yang dewasa. Ada di saat lo bener-bener tertekan gara-gara kerjaan lo atau baru dimarahin sama seseorang, sifat kekanak-kanakan lo itu mendadak muncul. Sambil marah-marah dan sedikit lompat-lompat (persis kutu loncat) lo meluapkan semua kekesalan lo. Rambut pendek lo yang tergerai ikut-ikutan beraksi mengikuti gerak kepala lo dan muka lo, serius gak ada cakep-cakepnya. Semua orang yang ada di deket lo pasti dilabrak. Apalagi buat mereka yang gak sengaja nyenggol lo, andai kata-kata lo itu adalah pisau, tuh orang bisa mati termutilasi. Tapi, gue suka sama tingkah lo ketika marah. Sedikit lucu dan sepertinya lo mampu mengeluarkan segala uneg-uneg di kepala lo. Lo tampil apa adanya saat itu.

Berbeda ketika ada seseorang yang meminta saran dari lo. Lo langsung tampil anggun penuh kedewasaan dan mengatakan kalimat-kalimat yang penuh wibawa. Gue gak tau lo memang anggun dan wibawa atau cuma supaya terlihat lebih mengerti soal percintaan, yang pasti lo memang bukan Anggun C. Sasmi (barusan lawakan garing). Di luar itu semua, gue memang kagum sama pemikiran lo. Lo mampu tampil tenang di saat orang lain sedang mengalami masa-masa krisis, khususnya percintaan. Lo hadir bak seorang psikolog ternama dengan memasang kacamata frame hitam. Lo bener-bener membuat mereka percaya dengan semua buaian dari lo sehingga mereka bisa kembali menjadi tenang. Nice work.

Ngomong-ngomong soal kedewasaan, gue sebenarnya sering kali pengen ngomong langsung sama lo. Seperti di awal paragraph dari surat gue ini, gue pribadi merasa aneh kalo dekat lo. Bukan aneh karena memang lo aneh, tapi karena gue ternyata punya perasaan suka sama lo. Perasaan itu ada sejak gue ngeliat lo. Kalau gak salah, kira-kira kita ketemu baru dua tahun yang lalu. Akhirnya perasaan gue itu terus bertambah. Gue gak tau apa yang gue sedang rasakan sama lo sekarang. Yang jelas, perasaan itu lebih besar dibanding dua tahun yang lalu. Dalam jangka waktu dua tahun itu kita udah sering banget pergi bareng. Dan kebanyakan malah nonton konser musik. Gue suka selera musik lo. Gak menye-menye a la musisi Indonesia yang sok melayu. Lo malah suka dengan musik-musik yang non-mainstream. Satu lagi kecocokan yang gue temuin dari lo. Mulai dari nonton konser gratisan sampai nonton konser rock terbesar di Ancol waktu itu. Mungkin perjalanan-perjalanan itu yang membuat gue semakin yakin dengan perasaan gue sendiri. Gue selalu pengen dekat dengan lo. Seandainya gue melewati ruangan lo, gue pengen banget mampir masuk, walaupun cuma sekedar menyapa. Tapi yang terjadi adalah, gue memang masuk ruangan dan gak berani nyapa karena lo sedang menatap layar komputer dengan penuh konsentrasi. Lo seperti sedang dihipnotis sama Romy Rafael. Gak bergerak sedikit pun. Gue sering banget mengurungkan niat buat nyapa, takut kerjaan lo terganggu sama sapaan gue.

Gue gak pernah takut untuk langsung menyatakan perasaan gue ke lo. Di setiap kesempatan apa pun, gue selalu siap bilang perasaan itu ke lo. Temen-temen kita aja sampai menanyakan ke gue kapan hari H gue nembak lo. Tapi, gue selalu men-tidak-kan semua pertanyaan itu. Bukan karena gue gak berani dan gak siap. Jawaban dari segala pertanyaan itu adalah karena gue gak mau kehilangan lo. Klise memang. Namun, itulah yang sebenarnya. Gue gak mau kehilangan lo dengan tidak memiliki lo. Lo udah masuk dalam tempat paling spesial di dalam hati gue. Tempat khusus yang gak mungkin lagi ditempati oleh wanita-wanita lain.

Mungkin dengan surat ini gue bisa menumpahkan segala pikiran tentang lo, perasaan gue ke lo. Gue cuma bisa menunjukkan segala perasaan gue dengan segala tindakan gue dan gak sekedar kata-kata. Gue gak berani mengobral kata “sayang” di hadapan lo. Gue takut gak bisa memenuhi ekspektasi lo terhadap gue. Tapi, setidaknya melalui perbuatan, mudah-mudahan lo bisa menyadari itu. Setidaknya melalui surat ini juga lo bisa tahu betapa besar tumbuhnya perasaan gue terhadap lo. Betapa gue sayang sama lo. Cuma surat ini (yang seandainya bisa sampai ke tangan lo) yang mampu mengatakan apa yang telah gue alami sejak dua tahun yang lalu.