Ketika Kami Di Merapi

(Sebelum lo baca blog gue ini, gue cuman pengen menjelaskan bahwa gue menulis cerita berikut tanpa berdasarkan runutan waktu. Gue menulis sesuai dengan pengalaman dan memori yang paling nyantol di kepala gue.)

Sekilas gue melihat kehancuran di setiap daerah yang sempat gue kunjungi di sekitar merapi. Pohon-pohon yang patah akibat panasnya abu vulkanik dan rumah-rumah yang rubuh akibat hantaman dahsyatnya kekuatan erupsi. Beberapa petani juga terlihat membersihkan sisa-sisa tanaman pertanian yang hancur hampir tak tersisa. Pohon-pohon salak berwarna kelabu akibat tertutup abu vulkanik, rata dengan tanah. Pohon kelapa yang biasanya gagah berdiri walau ditiup angin kencang, kali ini menyerah, menguncup akibat terpaan awan panas. Lahan pertanian yang seharusnya telah berhiaskan padi yang merunduk kali ini terbaring mati. Dusun yang biasanya ramai dengan warganya menjadi terkesan sepi dan mencekam. Sebagian dari rumah para warga yang selalu menawarkan kehangatan dan keramahan tertutup rapat. Beberapa malah hancur dan banyak lainnya yang rata tak berbekas. Efek kehancuran yang begitu massive.

Perjalanan pertama gue mengantarkan bantuan sumbangan yang dikumpulkan sementara di kediaman Rm. Eko adalah menuju Posko di salah satu dusun. Tapi, jangan ditanya itu di daerah mana karena nama-nama dusun, desa, atau kecamatannya belum familiar di telinga kota gue.

Dengan Isuzu Elf, gue menjadi saksi mata “kekejaman” abu vulkanik dari puncak Gunung Merapi. Jalan-jalan besar yang gue lalui hampir seluruhnya tertutup debu putih yang memerahkan mata dan menyesakkan dada. Mobil-mobil dan motor-motor yang terparkir di sisi jalan tertutup dengan debu putih. Beberapa toko, restoran, dan warung makan memilih untuk menggantungkan tanda bertuliskan “tutup”. Traffic light di beberapa lokasi tidak dapat beroperasi, terselubungkan debu putih. Beberapa warga sengaja mengalirkan air demi mengurangi intensitas debu yang berterbangan di jalan. Sesampainya gue di dalam sebuah kota, kalau tidak salah Muntilan, warga setempat membersihkan lumpur yang menutupi jalan dengan bekerja sama bersama tentara-tentara TNI. Dengan hanya bermodalkan sekop kecil dan cangkul, mereka mencoba mengeruk lumpur-lumpur tebal yang telah mengeras seperti semen di sisi jalan. Dan akhirnya gue menemui seorang cowok berbaju koko dilengkapi sarung bermotif kotak-kotak dan berkopiah hitam. Sebuah tas tergeletak begitu saja di sampingnya. Ia bergerak seolah sedang mengatur lalu lintas sambil menunjuk-nunjuk ke seberang jalan. Namun, kedua kalinya gue melintasi jalan yang sama untuk pulang ke Temanggung, gue menyaksikan dia sedang mengganti pakaiannya di pinggir jalan dengan kepala yang dihiasi karet gelang, melingkar dari dahi sampai ke belakang kepalanya. Kali ini, hati gue tidak bisa tertawa bahkan tersenyum ketika melihatnya. “Dia kena gangguan mental, kemungkinan harta bendanya habis tersapu erupsi Merapi,” ujar mas Janto, adik dari Romo Eko. Kali itu, gue gak bisa berkomentar apa-apa.

Jalan-jalan menanjak licin akibat pasir vulkanik (harap dibedakan antara abu vulkanik dan pasir vulkanik) menyambut kedatangan gue dan teman-teman di daerah Babadan. Gue sedikit menikmati udara pegunungan yang masih sejuk. Angin sepoi-sepoi yang berhembus meniup muka terasa sangat menyegarkan. Sawah-sawah yang tertanam padi-padi pendek berwarna hijau bagaikan permadani yang mampu membuat mata gue nggak bisa lepas untuk terus menerus memandanginya dengan pikiran kosong. Empat meter dari sawah-sawah hijau tersebut, kembali terlihat pemandangan yang sungguh menyesakkan. Buah-buah cabe tergeletak menyebar di atas tanah hitam. Beberapa masih tergantung di pohonnya, namun mengering dan berabu. Pohon-pohon bambu patah dan berserak, jatuh terendam di sungai berbatu. Bahkan sekumpulan bambu liar pun tidak dapat bertahan. Sambil meneruskan perjalanan menyusuri jalanan pedesaan sempit, warga-warga desa terlihat sudah mulai bisa bangkit dari keterpurukan. Wajah murung bercampur senyum ketika melihat kami datang seolah menyambut kami. Kendaraan kami terus-menerus berusaha mengatasi jalanan menanjak nan berpasir. Beberapa kelokan dan jembatan kami terabas. Ranting-ranting pohon tumbang yang menghalangi jalan, terlihat telah dikumpulkan rapi di sisi jalan. Pemandangan dari dalam jendela selalu berubah-ubah. Kadang hijau, kadang abu-abu. Kadang memancarkan keriangan, kadang mengundang kemurungan.

Akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Turun dari mobil, gue dan teman-teman langsung dihampiri oleh penduduk sekitar. Dengan senyum tulus, mereka menyalami kami satu persatu. Tidak ada yang terlewati. Pria dan wanita, semuanya berkumpul menyambut kedatangan kami dengan hangat. Teh manis hangat pun disediakan bagi kami. Dalam obrolan, gue mendapatkan informasi bahwa tempat di mana saat ini gue duduk dan menyesap teh manis berlokasi di tiga belas (13) kilometer dari puncak Merapi. Dan lo tau bahwa zona aman yang ditetapkan pemerintah adalah sejauh lima belas (15) kilometer dari puncak Merapi? Jujur saat itu gue kaget dengan penjelasan tersebut. Ya, gue dan teman-teman masih berada di zona berbahaya. Kepala dusun dan si empunya rumah, yang untuk sementara dijadikan Posko untuk para warga, menjelaskan bahwa beberapa rumah di sekitar lingkungan mereka jebol di bagian atap akibat tidak kuat menahan massa dari pasir dan abu yang bercampur dengan air. Dua rumah tetangga mereka bahkan rubuh dan hancur. Bila kami berani naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, seluruh rumah dan tanaman luluh lantak. Dan di kilometer lima (lima kilometer dari puncak Merapi), mereka menggambarkan bahwa lokasi itu seperti jalan tol. Lurus dan rata menuju ke bawah. Tak ada lagi yang tersisa. Beberapa rumah terisi dan tertimbun dengan pasir setinggi satu setengah meter. Banyak pula ditemukan tulang-belulang manusia dan juga hewan ternak. Gue bener-bener ngeri setelah mendengar penjelasan ini. Bisakah lo pada bayangkan bagaimana kalau rumah lo terisi dengan pasir setinggi satu setengah meter lebih? Gue yakin lo gak bakal bisa ngebayanginnya sebelum lo liat langsung.

Di lain tempat, di sebuah dusun yang terkena hembusan awan panas, gue juga ikut mengantarkan beberapa sumbangan dan bahan-bahan pokok untuk persediaan selama di pengungsian. Sesampainya di rumah salah satu warga yang ikut serta mengurusi distribusi bantuan, ia bercerita mengenai keadaan di lapangan. Menurutnya, apa pun yang diberitakan di dalam berita TV manapun dengan segala yang terjadi di pengungsian sangatlah berbeda jauh. “TV hanya memberikan berita-berita baiknya saja, seolah hanya ingin menjilat pemerintah. Sedangkan yang buruk pada akhirnya disembunyikan,” begitu kira-kira pemikiran bapak tersebut. Yah, gue gak bisa komentar banyak soal ini. Lagian, gue juga gak mau komentar juga. Soalnya emang gue gak ngerti hal-hal macam begini. Gak usah dipikirin, lah. Tapi, si bapak tersebut juga bercerita mengenai hal-hal yang positif. “Saya ini adalah salah satu pengurus Partai Merah. Tetangga saya di sebelah sana adalah pengurus Partai Biru. Dan kami untuk sementara mengkesampingkan perbedaan politik dan agama untuk bekerja sama menolong

sesama,” ujarnya sambil menghisap Gudang Garam-nya perlahan. Gue sengaja gak ngasih nama partai-partai yang disebutkan beliau. Bukannya alergi, tapi tulisan gue bebas dari urusan politik walaupun itu cuma nama partai doang. Setelah menaruh barang-barang di rumah bapak tersebut untuk disalurkan kepada yang membutuhkan, gue dan teman-teman berjalan menuju Kepala Dusun terdekat untuk menanyakan data-data mengenai pengungsi, korban, dan hal-hal terkait lainnya dengan bencana tersebut. Dalam perjalanan menuju ke sana gue kerap kali melihat seluruh atap rumah di dusun tersebut tertutup dengan abu tebal. Dedaunan di semua pohon terselimutkan debu. Tidak sedikit juga pepohonan yang tumbang. Dan di setiap langkah kaki, gue sama sekali tidak menginjak tanah merah, melainkan abu dan pasir tebal yang telah bercampur dengan air. Bisa dibilang, seluruhnya terselubung dengan abu dan pasir. Sesampainya di rumah Kepala Dusun, kami disambut dengan segala kesederhanaan. Tampak tiga orang anak sedang menikmati sore hari dengan menonton kartun di TV. Yah, lebih baik dibandingkan menonton berita-berita hiperbola yang menyesatkan. Sang Kepala Dusun pun selalu menjawab apa pun yang ditanyakan kepadanya. Mulai dari data pengungsi, kebutuhan mereka, dan seterusnya. Setelah puas dengan jawaban-jawaban yang kami dapat, akhirnya kami undur diri. Perjalanan lalu kami lanjutkan menuju Posko pengungsi, tidak jauh dari dusun. Sekitar lima belas menit kami menyusuri jalan dengan menggunakan mobil pick-up. Tiba di lokasi, gue melihat sebuah rumah yang cukup besar, tapi tidak cukup besar untuk menampung para pengungsi. Seingat gue, awalnya ada seratusan pengungsi yang menginap di rumah itu dan sekarang berkurang menjadi sekitar tujuh puluhan karena mereka memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing untuk melihat keadaannya atau membersihkannya bila dimungkinkan.

Gue juga ingat dengan pengalaman gue ke (lagi-lagi gue gak yakin dengan nama desa atau dusun tersebut, sebut saja…) Jarakan. Jarakan inilah yang terletak di tiga belas kilometer dari puncak Merapi. Gue sudah cukup bercerita banyak soal ini. Tapi, ada sebuah cerita yang lucu sekaligus mengenaskan ketika kami mengobrol sambil menyeruput teh panas dan menghisap rokok. Ketika Sang Wedhus Gembel turun dengan kecepatan sedemikian rupa, seorang warga dari dusun setempat mengalami kepanikan yang luar biasa. Di tengah kepanikan tersebut ia teringat kepada anaknya yang masih tertidur di kamar. Dia langsung menghambur ke dalam kamar anaknya dan bermaksud menggendong anaknya yang tergolong masih balita kemungkinan. Ia pun masih sempat memasukan bantal yang digunakan anaknya untuk tidur ke dalam lemari pakaian. Setelah memastikan si anak tertata rapi di punggungnya dengan diikat selendang, ia pun langsung berlari ke dataran rendah menuju tempat pengungsian. Sesampainya di tempat pengungsian, setiap orang memandangnya dengan heran. Akhirnya ia tersadar setelah mencoba menurunkan si anak dari gendongan di punggungnya. Ternyata, ia membawa bantal untuk tidur si anak dan malah memasukkan si anak ke dalam lemari pakaian. Si warga pun langsung berlari kembali naik ke atas menuju rumahnya untuk mengambil anak balitanya. Cerita selanjutnya, tidak ada lagi yang mengetahui nasib keduanya. Cerita “lucu” lainnya adalah, adanya sebuah saran petunjuk dari seorang petuah. Bahwa binatang lebih mengetahui dan mempunyai insting untuk “meramalkan” bencana yang akan terjadi dan memiliki cara untuk mengantisipasinya. Caranya adalah dengan mengikuti macan-macan Merapi yang turun dari lereng gunung. Kemana mereka pergi, ikuti perlahan-lahan dari belakang. Niscaya itulah tempat yang paling aman yang

bisa ditinggali. “Tapi, ada seorang tua yang tinggal di dekat dusun ini. Begitu melihat si macan yang keluar dari hutan di kaki Merapi, langsung “pek”! Pingsan seketika,” ujar si bapak pemilik rumah yang langsung disambung dengan derai tawa.

Lain lagi dengan Posko di daerah Suketi. Di posko inilah pertama kalinya gue menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehancuran yang diakibatkan oleh kekuatan alam. Pertama kalinya juga gue menyaksikan tumbangnya pepohonan dan atap-atap yang tertutup debu tebal. Seluruhnya berwarna kelabu. Ketika kami diterima oleh salah satu pemilik rumah di dusun tersebut (dan seperti biasa, gue dan teman-teman disuguhi teh manis. Obrolan-obrolan mengenai bencana dan penanggulangannya mengalir begitu saja. Ada juga sebuah cerita menarik di posko tersebut. Setelah meletusnya Gunung Merapi, setiap orang seolah berlomba-lomba untuk mencari tempat untuk mengungsi. Namun, sekelompok warga yang berasal dari Boyolali berdatangan ke desa Suketi tersebut. Tentu mereka diterima dengan tangan terbuka. Dan setelah waktu terus berlalu, ada sebuah kejadian dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan masyarakat dusun tersebut. Bukan bermaksud untuk menyamaratakan seluruh warga di tempat tertentu. Ternyata sekelompok warga Boyolali belum terbiasa untuk buang hajat di MCK atau toilet bersih. Akhirnya mereka membuang baik air besar maupun air kecil di sembarang tempat dan menimbulkan aroma tak sedap yang hebat di sekitar Posko.

Beberapa warga Jawa masih meyakini bahwa bencana meletusnya Merapi bukanlah bencana. Mereka meyakini sebuah pandangan yang secara turun temurun diceritakan, bahwa Merapi menagih janji. Cerita yang gue dapet sekilas adalah adanya perjanjian antara pihak Keraton Yogyakarta dengan “pihak” Gunung Merapi dan “pihak” Pantai Selatan. Entah apa perjanjian

apa yang mereka buat, gue kurang mengerti dengan mereka yang bercerita dengan Bahasa Jawa. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa ia mendengar suara ‘Jatilan’ melewati sebuah sungai besar (yang lagi-lagi gue lupa namanya). Bagi lo pada yang gak tau apa itu ‘Jatilan’, lo pada bisa cari di Google. Bagi lo yang males buka-buka Google, Jatilan itu adalah sebuah kesenian Kuda Lumping. Tau Kuda Lumping, ‘kan? Yang suka makan beling gara-gara si pengendaranya mengalami trans akibat kerasukan. Well, balik lagi ke topik. Seorang warga pada pukul dua pagi mendengar suara Jatilan melintasi sungai besar tersebut. Bagi mereka yang bisa “melihat”, konon ‘Jatilan’ tersebut beriringan berjalan bersama sekelompok pasukan menuju Gunung Merapi dari arah Pantai Selatan. Dan bagi mereka yang tidak bisa melihat, mereka akan hanya melihat lahar merah mengaliri sungai menggantikan air. Katanya, pasukan tersebut dikirim oleh Ratu Pantai Selatan menuju Gunung Merapi untuk merundingkan sesuatu bersama pihak dari Keraton. Sounds spooky, huh?

Cerita terbaru yang gue dapet adalah, sebelum dan pada tanggal 15 atau 16, menurut penanggalan Jawa, Gunung Merapi akan meletus hebat dan efeknya akan mencapai radius lima ratus (500..!!!) kilometer. Namun, bila melewati tanggal tersebut, Gunung Merapi akan kembali diam dan tidak akan meletus hebat lagi. Yah, gue sih cuma membeberkan cerita-cerita yang gue dapet. Buat hal-hal yang berbau mistik, gue gak bisa bilang gak percaya atau percaya. Inti dari cerita-cerita mistik yang gue dengar adalah, alam membutuhkan sebuah keseimbangan. Manusia yang mengambil sebaiknya tidak lupa pada, siapapun Dia. Berikanlah apa yang menjadi hak-Nya. Bila tidak, maka alam akan mengambil seluruhnya dari kita. Bukan sebagai hukuman, namun sebagai konsekuensi dari apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Ketika kita lupa pada-Nya, kita akan diberikan peringatan untuk kembali mengingat kebesaran-Nya. Dialah pemilik segalanya. Dan ketika keseimbangan telah terjadi, maka akan tercipta sebuah harmoni yang

indah. Lagipula, Gunung Merapi toh pada akhirnya akan memberikan sebuah hadiah hebat. Tanah-tanah di sekitaran Merapi diyakini akan menjadi semakin subur akibat tersiram materi-materi vulkanik. Kehidupan petani pun akan menjadi semakin makmur. Seperti yang sering dikatakan oleh banyak orang. Di setiap bencana, pasti kita dapat mengambil hikmahnya.

Dan dari seluruh pengalaman gue yang berbekas di kepala, sebuah pemandangan hebat terjadi di hari di mana gue berkunjung ke desa/dusun/kecamatan Babadan. Pertama kali adalah ketika si bapak yang menerima kami di rumahnya, yang menyatakan “perbedaan politis yang dikesampingkan” demi menolong sesama. Lalu kedua kali, gue melihat salib tergantung di rumah yang digunakan untuk posko pengungsi. Namun, di dalam rumah itu tidak sedikit para wanita berkerudung, mulai dari anak kecil hingga dewasa. Mereka terlihat nyaman di dalam rumah. Tidak mempersoalkan salib yang tergantung di salah satu sisi tembok putih itu. Kesimpulan yang gue dapat adalah, bencana mempersatukan kita. Bencana menghilangkan perbedaan. Namun haruskah kita menunggu datangnya bencana hebat untuk sekedar melupakan segala perbedaan ras, agama, bahasa, dan pandangan politik. Kalau tidak bisa, jangan heran ketika bencana terus-menerus datang. Bukan karena kita tidak ingin bersatu, tapi justru karena alam ingin kita bersatu.

Dialog Imajiner Mbah Surip - Mbah Maridjan

Oleh: Rudi Setiawan

Mbah Surip, sedang asyik memainkan gitarnya di bawah rindang pohon Zaitun, ditepi sebuah danau yang jernih berkilauan airnya. Wajahnya kelihatan tampan dan jauh lebih muda, senyumnya masih seperti sediakala, bahkan nampak lebih cerah dan indah.

Tiba-tiba datanglah mbah Marijan diantarkan malaikat-malaikat rahmat lewat di depannya. Dengan segera mbah Surip berdiri lalu dengan takzim menyapa mbah Marijan. Lalu terjadilah dialog antara keduanya.

Mbah Surip: “Mbah Marijan, sugeng rawuh wonten panggenan punika, I Love You Full Mbah!" ( Selamat datang di tempat ini, I Love You Full mbah)

Mbah Marijan: “ Lho, sampean ugo manggen teng mriki to mbah Rip ?” (Lho, anda juga berada ditempat ini mbah Rip)

(Sambil tertawa lepas, lalu keduanya berpelukan untuk beberapa saat kemudian mereka berdua duduk berdua di bawah rindangnya pohon Zaitun itu)

Mbah Surip: "Pripun mbah, kabaripun sae-sae kemawon to?” (Bagaimana kabarnya mbah, baik-baik saja kan )

Mbah Marijan: "Alhamdulillah, apik-apik wae cuman rodok ribet titik wektu interogasi neng treteg Shirathal Mustaqim." (Alhamdulillah baik-baik saja, cuma agak sedikit ribut sewaktu proses interogasi di jembatan Shirathal Mustaqim).

(Untuk menyingkat kata dan kalimat dialog selanjutnya langsung diterjemahkan dalam bahasa Indonesia)

Mbah Surip: "Kenapa kok ribut mbah?”
Mbah Marijan: "Lha nggak tau itu para malaikat, saya dianggap tidak berhak masuk ke sini, karena dituduh syirik."
Mbah Surip: "Memangnya malaikat sudah ketularan sama manusia ya, dikit-dikit bilang sesat, dikit-dikit bilang bid’ah, dikit-dikit bilang syirik, mencaci laknatullah dan sebagainya!"
Mbah Marijan: "Lha iya malaikat kan juga hanya menilai sisi-sisi prilaku dan ibadah luar kita, sedangkan masalah hati dan jiwa kita kan yang tahu cuman Gusti Allah.” (sambil tersenyum ringan)

Mbah Surip: "Bagaimana critanya panjenengan akhirnya bisa lolos, mbah?”
Mbah Marijan: "Ya akhirnya Gusti Allah yang berfirman memerintahkan malaikat supaya memasukan saya ke sini."
Mbah Surip: "Ooo, begitu ya mbah ceritanya, I Love You Full mbah, Ha ha ha!” (mbah Surip tertawa lepas).
Mbah Marijan: "Ketika di duniapun sama, orang-orang pandai menuduh saya ini tahayul, klenik dan mistik, demikian juga orang-orang (yang merasa) ahli agama menuduh saya ini musyrik, bid’ah, sesat, saya diam saja, wong mereka kan nggak tahu apa yang tersembunyi dalam hati saya, he he he.” (mbah Marijan tersenyum lagi)

Mbah Marijan: "Mereka nggak bisa membedakan antara menghormat sebagai rasa sayang dan menghargai alam sabagai bagian dari karya agung Gusti Allah, dengan menyembah atau memberhalakan benda-benda sebagai sekutu Gusti Allah."

Mbah Surip: "Kok bisa gitu mbah?”
Mbah Marijan: "Padahal semua yang saya lakukan itu kan sebagai rasa hormat saya dan penghargaan saya terhadap alam Gunung Merapi, sebagai bagian karya agung Gusti Allah yang wajib kita rawat dan kita jaga, karena fungsi manusia itu selain menjaga khablun minallah dan khablun minannas kan juga khablun min ‘alamiin. (hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam semesta) kalo dalam falsafah jawa dikenal prinsip Memayu Hayuning Bawana atau menjaga keseimbangan alam dunia ini atau dalam bahasa modernnya bersinergi dengan alam."

Mbah Surip (manggut-manggut sambil menyeruput kopi hitam yang harumnya dan lezatnya melebihi kopi hitam kesukannya sewaktu di dunia)

Mbah Marijan: "Ya itulah mbah Surip, manusia kan selalu menilai sesuatu dari sisi luarnya saja sedangkan perkara hati kan urusan kita dengan Sang Maha Tahu yakni Gusti Allah.”

Mbah Surip: “Betul itu mbah, manusia yang sok pinter dan sok suci itu sering kali lupa bahwa mereka lah yang sesungguhnya terjebak dalam kemusyrikan."
Mbah Marijan: "Iya mereka nggak sadar bahwa dengan merasa diri paling benar, paling suci, paling hebat itu sama halnya dengan memberhalakan diri sendiri atau menyekutukan Gusti Allah dengan diri mereka sendiri."
Mbah Surip : "Ha ha ha aneh memang para manusia itu mbah, wong maling kok teriak maling, wong diri mereka sendiri yang syirik kok menuduh orang lain yang syirik."

(lalu merekapun tertawa lepas)

Mbah Marijan: "Lha sampean juga kok bisa masuk kesini mbah Rip, sebab kalo nggak salah saya juga pernah dengar dari manusia-manusia yang sok suci itu, kata mereka penyanyi itu tempatnya di neraka."
Mbah Surip: "Ha ha ha, kita berdua ini sama-sama korban tuduhan para manusia yang nggak faham fungsi kemanusiaanya mbah, mereka kira ibadah itu cuman, sholat, zakat, puasa, haji, sedekah atau ibadah-ibadah ritual lainnya. Mereka memahami agama secara kaku, tekstual dan dogmatis, padahal lagu itu juga bisa kita gunakan untuk media berdakwah, berdzikir kepada Gusti Allah, kita bisa menebar virus cinta kepada sesama manusia lewat lagu dan nyanyian."

Mbah Marijan: "Ooo, berarti sampean bisa masuk kesini karena menebarkan virus cinta kepada sesama manusia lewat lagu-lagu sampean ya mbah Surip?”
Mbah Surip: "Ya kira-kira begitu menurut penilaian Gusti Allah, mbah."
Mbah Marijan: "Alhamdulillah, berarti kita berdua termasuk golongan manusia yang mampu menebarkan virus cinta tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga terhadap alam semesta."
Mbah Surip: “Betul mbah, I Love You Full, Gusti Allah!” (Mbah Surip kembali tertawa lepas)

Mbah Marijan: "I Love You Full juga, Gusti Allah!” (Mbah Marijan juga tertawa lepas mengiringi tawa mbah Surip).

Kemudian mereka melanjutkan perbincangannya sembari menikmati kopi-kopi hitam yang keharuman dan kenikmatannya tiada tara. Diiringi kicau-kicau merdu burung-burung yang hinggap di dahan-dahan pohon Zaitun. Dan desiran angin pagi sejuk semilir menambah indahnya pemandangan di tepi danau itu.

Doha, 28 Oktober 2010

Rudi Setiawan, Lahir, Kertosono- Jawa Timur, 02 Juni 1976 aktif menulis artikel di www.kompasiana.com, serta cerpen dan puisi yang di share lewat facebook maupun media online lainnya, saat ini sedang bekerja sebagai TKI di Doha, Qatar.
Alamat email: rudiseti@yahoo.com dan rudisetiawan1976@gmail.com