Catatan Tentang Teman (I)

Manusia adalah seoonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang, berisikan roh dan jiwa serta dilengkapi dengan akal budi dan pikiran. Konon (jangan dibaca terbalik), manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Dahulu, ketika Allah menciptakan dunia, manusia pertama pun hadir di dunia. Adam (bukan suami Inul yang berkumis riang gembira tersebut), tercipta dari debu dan tanah, lalu diberi nafas kehidupan oleh-Nya. Tapi, Tuhan pun sadar bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian. Pada akhirnya, Ia pun menciptakan seorang teman bagi Adam. Dibentuk dari tulang rusuknya ketika tertidur lelap dan dibentuknyalah pendamping yang sepadan baginya. Teman yang bisa menemaninya. (Kej 2:22)

Dari alinea pertama yang agak-agak berbau rohani tersebut, gue bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa, Tuhan mentakdirkan kita untuk hidup selalu bersama dan berdampingan dengan orang lain. Tuhan terang-terangan menyediakan Hawa bagi Adam, karena Ia tidak menemukan teman yang sepadan untuknya. Ya, iyalah. Masa’ Adam disuruh main bola bareng gajah, panjat pinang lawan simpanse, atau bahkan balap karung sama burung onta. Hewan-hewan tersebut tidak sepadan dengan Adam karena, mereka adalah seonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang dan hanya berisikan roh tanpa jiwa, akal budi, serta pikiran. Hewan adalah makhluk hidup yang bergerak berdasarkan insting. Jelas tidak cocok bila diajak curhat bareng. Pernah ngebayangin Adam duduk di atas batu sambil ngedongeng di depan hewan-hewan? Kalo lo pernah membayangkan hal barusan, berarti lo terjebak dengan cerita Tarzan atau Mowgli, si anak hutan yang mampu berkomunikasi dengan binatang. Non-sense, lah.

Maka dari itu, Tuhan berbaik hati membuat teman bagi Adam. Tulang rusuk yang diambil ketika Adam tertidur, dijadikan manusia baru yang akan menemaninya dalam segala hal. Walaupun pada akhirnya mereka jatuh ke dalam dosa akibat makan buah terlarang dari pohon terlarang yang mempunyai akar terlarang, yang tentunya dilarang oleh Tuhan <= Ngerti kalimat barusan? Kalo ngerti, kita lanjut. Kalo nggak ngerti, berarti lo gak pernah mendengar cerita soal Adam-Hawa. Okeh, kita kesampingkan soal dosa-dosaan. Yang pengen gue sedikit bahas sebenarnya adalah soal pertemanan. Karena, dari pengalaman kemarin, mata hati, mata pikiran, dan mata batin gue akhirnya bisa terbuka. Gue berani menarik kesimpulan, bahwa apa pun yang lo lakukan di dunia ini sama sekali gak bisa lepas dari yang namanya “Teman”.

Setelah gue sedikit browsing dan googling, gue mendapatkan definisi teman. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, atau yang biasa disingkan KBBI, kata “Teman” berarti… Gue copas aja, dah. Biar lo pada bisa langsung ngerti. Teman (n): 1 kawan; sahabat: hanya -- dekat yg akan kuundang; 2 orang yg bersama-sama bekerja (berbuat, berjalan); lawan (bercakap-cakap): -- seperjalanan; ia -- ku bekerja; 3 yg menjadi pelengkap (pasangan) atau yg dipakai (dimakan dsb) bersama-sama: ada jenis lumut yg biasa dimakan untuk -- nasi; pisang rebus enak untuk -- minum kopi; 4 cak saya (di beberapa daerah dipakai dl bahasa sehari-hari): tiada -- menaruh syak akan dia;
usahlah -- dimandi pagi, pb tidak usah kamu lebih-lebihkan (kaupuji-puji).

Kalo lo bisa liat, nomer satu sampai tiga bener-bener menggambarkan dan setidaknya berhasil mendefinisikan arti teman. Gue coba tulis sekali lagi, deh. Teman adalah kawan, sahabat, orang yang bersama-sama bekerja, dan juga menjadi pelengkap serta pasangan. Jadi, kecuali lo mengalami gangguan jiwa akut dan penganut paham anti-sosial, setiap manusia butuh seorang teman sebagai pelengkap dan pasangan dalam melakukan kegiatan untuk bekerja bersama-sama. Hal tersebut terpapar jelas pada pengalaman gue beberapa hari kemarin, tepatnya tanggal 8 sampai 11 September 2010. Mengajukan diri sebagai tim advance untuk acara kemping gereja, fisik gue sedikit banyak diuji di acara tersebut. Siang, sekitar jam 2an, gue sampai di lokasi tempat pelaksanaan acara. Setelah

sebelumnya nyasar beberapa jam selama perjalanan (sampe masuk ke pusat kota Sukabumi), gue dan para anggota tim advance akhirnya bisa berkumpul. Mereka saat itu masih ngebuat tiang buat tali jemuran. Tiga tiang bamboo didirikan dan dipasang tali setinggi dahi gue. Gue gak sempat ngebantuin gara-gara pegalnya pantat akibat terlalu lama duduk di jok mobil. Gue harus sedikit mengurai syaraf-syaraf kusut di pinggang gue. Setelah sedikit reda, akhirnya gue bisa ngebantuin masang instalasi listrik dan lampu. Dengan bantuan alat canggih luar biasa yang gue bawa dari rumah (bernama test-pen), lampu-lampu di tenda pun akhirnya menyala dengan terangnya. Jujur, gue melewatkan aksi

para anggota tim untuk mendirikan tenda peserta, bikin tiang jemuran, serta setengah kegiatan untuk masang instalasi listrik. Tapi, yang penting, tugas sudah hampir selesai. Dan, buat tambahan, hampir di kamus gue mempunyai sinonim “Tidak”. Gak setuju? Gue kasih contoh kalimat: “Andreas hampir menabrak nenek buta di pinggir jalan.” Pertanyaan yang mau gue ajukan: “Apakah nenek buta itu ditabrak oleh Andreas?” Jawabannya adalah… Biar lo sendiri yang ngejawab.

Setelah gue bersantai ria karena menganggap kerjaan uda selesai. Tim advance dan beberapa tim pengisi acara ketawa-ketiwi dan malah memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kami pikirkan. Tanpa sadar, awan hitam yang menggantung di belakang bukit perlahan-lahan naik dan berjalan pelan menuju tempat kami mengadakan acara. Gerimis ringan seolah memberi kami tanda untuk segera bersiap-siap. Tapi, yang namanya anak muda, yang penting santai dulu, lah. Yang penting tenda uda kepasang, listrik uda nyala, tiang jemuran udah aman. Selesai perkara. Di saat kami belum menyadari apa arti awan hitam yang menggantung itu, tiba-tiba hujan deras langsung mengguyur tempat itu. Deras, sederas-derasnya dan dingin, sedingin-dinginnya. Kami masih bertahan di tenda terpal putih beralaskan terpal plastik silver itu, yang jika terpal itu dibalik akan menjadi terpal plastik berwarna silver. Ngerti? Nggak? Wokeh, lanjutkan. Dan seketika itu juga air menggenang di sekitar tenda platoon. Banjir yang sedikit banyak tidak gue harapkan di hari pertama ini. Akhirnya, beberapa anggota tim advance pun bergerak dan berinisiatif untuk membuat selokan atau saluran air di kitaran tenda platoon. Bersenjatakan dua cangkul dan satu linggis, tiga anggota tim advance langsung mencangkul-cangkul tanah basah yang sudah digenangi air hujan. Gue yang awalnya ragu akhirnya ikut turun tangan buat ngebantuin mereka. Damn..!! Air hujan Sukabumi lebih kejam dari ada air hujan Jakarta. Dinginnya bikin semaput. Ditambah gue yang hanya memakai sehelai kaos putih dan celana pendek kotak-kotak, tanpa mengenakan jas hujan. Kegiatan cangkul-mencangkul dimulai. Dengan cipratan-cipratan lumpur dan tanah basah, gue dan bersama beberapa yang lain masih berusaha di tengah terjangan derasnya air hujan. Selokan itu pun akhirnya berhasil dibuat mengelilingi tenda platoon. Akhirnya, hujan pun reda. Tanpa gue sadari, tubuh gue bergetar, menggigil kedinginan, yang lama kelamaan gak bisa dikendalikan lagi. Rahang gue terus-terusan bergetar tak terkontrol, dan sisa dari anggota tubuh yang lain akhirnya menyerah juga. Sekujur

tubuh gak bisa berhenti untuk bergigil-ria di tengah semprotan udara dingin. Sinting..!! Hampir semua para laki-laki yang menjadi anggota tim advance basah kuyup, malah ada yang nekad bekerja sambil membuka baju di tengah siraman shower alam. Sinting..!! Bener-bener sinting..!! Sebatang rokok sedikit membuat badan dan paru-paru gue terasa hangat. Sedikit, cuma sedikit.

Akhirnya malam pertama itu kami tutup dengan makan nasi, indomie, kornet, sarden, dan sawi putih racikan masing-masing anggota tim advance. Makanan, yang belum tentu bakalan gue

makan di Jakarta karena amburadulnya cita rasa, pada akhirnya habis dilalap oleh perut-perut keparat yang kelaparan akibat dinginnya hujan. Tim advance dan tim pengisi acara turut berandil besar dalam menghabiskan hampir satu dus indomie dan beberapa liter beras. Malam berkabut itu terasa begitu hangat. Dilingkupi orang-orang gila yang kelaparan dan hampir tidak kenal lelah, badan yang menggigil ini akhirnya terhangatkan kembali. Suara tawa lepas akibat salah meracik bumbu terdengar begitu menggema. Yah, malam pertama gue bersama orang-orang yang berhasil melepas kepenatannya selama di Jakarta.

Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah

Perpisahan

ketika satu persatu di antara kita telah berangkat lebih dulu. melambaikan doa perpisahan seiring jalannya roda. menebarkan wangi kembang menyelubungi tubuh kereta. dan hanya menyisakan peron sunyi dan bangku-bangku lengang.

kemudian kita menunduk berkerudung duka. menangisi arak-arakan waktu yang telah kita kerandakan, tanpa lebih dulu dimandikan. dengan taburan wewangian kelopak sujud yang semestinya bisa kita petik, dari hamparan taman luas jiwa-jiwa zuhud

ketika rombongan kafilah pernah sejenak singgah, masih terngiang di telinga kita senandung gurun. walau kibaran jubah mereka telah lama menghilang, di balik kabut gunung.

lalu sudahkah kita seksama mendengar gumaman para ruh. melepaskan sebutir ruku’ dari untaian lima waktuNya, adalah sebuah perpisahan.
yang paling jauh…

Jakarta, 17 Juni 2009

Meratapi sebuah negeri

pohon-pohon telah tumbang
keadilan habis di tebang
kerontang bumiku

suara-suara terbekap
tangisan tak lagi mengucur
terbenam di kedalaman lumpur

kemana jalannya para nurani
terlampau jauhkah mereka berpaling
dari paras Sang Maha Tinggi

dan jika surat kejujuran
berbalas undangan dakwaan
bagaimana seharusnya berkirim kabar kebenaran

keletihan panjang
wajah-wajah berjuang
di negeri ini
pertautkan kami dengan kesabaran
di antara jeruji-jeruji kemiskinan
Jakarta, 24 Juni 2009

Dukacita

lalu kuhirup wangi tawamu lewat sudut mata
yang masih menyimpan sedikit lelah
selepas mengantar langkahmu
menyusuri tepian hulu
menuju ke sebuah muara

bayang-bayang mentari pun masih terjatuh
menerpa daun-daun kemuning yang melingkupi pusara
melagukan gemerisik lirih tembang-tembang kedatangan
oleh hembusan dingin angin utara
dan menyeru kerumunan burung-burung
yang tengah mencecapi bebatuan
melucuti senyap
menyesapi ratap
dari relung dada kita

lalu dari sudut ruang dukacita
hendaklah kita mampu melepas
seberkas makna
dari rerimbun kerlip kenangan
tertanam di kisaran-kisaran waktu
yang terus mengekalkan butiran warna dan kejadian

bahwa sejatinya kehilangan itu
tak pernah ada
karena memang kita tak pernah
memiliki apa-apa

Jakarta, 14 Juni 2010

Pada sebentuk rindu

kaukah itu , yang musim kemarin mendatangiku
berdiri di kejauhan
menari dalam iringan
denting irama hujan

lalu kulihat angin singgah
menggugurkan kelopak dan daun-daun
meninggalkan lanskap tak beraturan
pada sebidang tanah yang basah
menupang pokok-pokok pohon

terdengar lamat suara memanggil
seperti sekelebat bayangan
terlahir dari nyanyian
dalam ayunan gending-gending
bermusim-musim kemarin

akh, musim yang memekarkan semak-semak rindu
bagai usapan jemari ibu
mengukirkan guratan tawa
di ruang keluarga kita

Jakarta, 09 Juni 2010

Bayang

mengapa tak kau datangi saja malam
bukankah ia yang selalu meredam seribu tangisan
di dasar matanya yang kelam

atau kau berbincang dengan kerumunan gemintang
bercerita tentang sekerlip kunang-kunang
berputar menyusuri rawa-rawa
barangkali ia terjatuh dari puncak gugusan
dan sedang mencari jalan pulang

ah, sedih itu masih berbayang
berjuntai menutupi sudut ruang kenang
dan musim terasa sangat lamban
berjalan…

Jakarta, 17 Juni 2010

Dalam kehilangan

aku telah sangat kehilangan
ketika pijak terlambat kupahatkan
pada pelataran pagimu
yang wangi
pada langit cintamu
yang tanpa tepi

sedang malam telah jauh berselisihan
dengan embun-embun putih di rerumputan

sungguh aku dalam ketakutan
hingga jiwa ini kuyup gemetar
bilakah kau uji cinta ini hingga luruh terbenam
di laut kehilangan yang tanpa dasar

duhai kekasih…
mekarkan nafasku yang basah
dan mencintaimu di hamparan tanah

Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim
Ya Rabbana Ya Karim Ya Adzim…

Jakarta, 16 Ramadhan 1431 H


Bidata penulis:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar,Jawa Timur. Mencintai dan menulis puisi sejak di bangku SD tapi hanya untuk dinikmati sendiri. Baru sejak tahun 2007 bergabung dengan beberapa komunitas sastra di Indonesia maupun di Malaysia hingga sekarang. Salah satu puisinya mendapatkan penghargaan Hescom 2009 di sebuah Situs Sastra Malaysia. “Dan puisi itu sungguh mengayakan hati….” begitu prinsip hidupnya.

Sumber: Kompas (http://bit.ly/ajbFUE)