Dari alinea pertama yang agak-agak berbau rohani tersebut, gue bisa mengambil sedikit kesimpulan bahwa, Tuhan mentakdirkan kita untuk hidup selalu bersama dan berdampingan dengan orang lain. Tuhan terang-terangan menyediakan Hawa bagi Adam, karena Ia tidak menemukan teman yang sepadan untuknya. Ya, iyalah. Masa’ Adam disuruh main bola bareng gajah, panjat pinang lawan simpanse, atau bahkan balap karung sama burung onta. Hewan-hewan tersebut tidak sepadan dengan Adam karena, mereka adalah seonggok daging yang berdiri di atas tulang-belulang dan hanya berisikan roh tanpa jiwa, akal budi, serta pikiran. Hewan adalah makhluk hidup yang bergerak berdasarkan insting. Jelas tidak cocok bila diajak curhat bareng. Pernah ngebayangin Adam duduk di atas batu sambil ngedongeng di depan hewan-hewan? Kalo lo pernah membayangkan hal barusan, berarti lo terjebak dengan cerita Tarzan atau Mowgli, si anak hutan yang mampu berkomunikasi dengan binatang. Non-sense, lah.
Maka dari itu, Tuhan berbaik hati membuat teman bagi Adam. Tulang rusuk yang diambil ketika Adam tertidur, dijadikan manusia baru yang akan menemaninya dalam segala hal. Walaupun pada akhirnya mereka jatuh ke dalam dosa akibat makan buah terlarang dari pohon terlarang yang mempunyai akar terlarang, yang tentunya dilarang oleh Tuhan <= Ngerti kalimat barusan? Kalo ngerti, kita lanjut. Kalo nggak ngerti, berarti lo gak pernah mendengar cerita soal Adam-Hawa. Okeh, kita kesampingkan soal dosa-dosaan. Yang pengen gue sedikit bahas sebenarnya adalah soal pertemanan. Karena, dari pengalaman kemarin, mata hati, mata pikiran, dan mata batin gue akhirnya bisa terbuka. Gue berani menarik kesimpulan, bahwa apa pun yang lo lakukan di dunia ini sama sekali gak bisa lepas dari yang namanya “Teman”.
Kalo lo bisa liat, nomer satu sampai tiga bener-bener menggambarkan dan setidaknya berhasil mendefinisikan arti teman. Gue coba tulis sekali lagi, deh. Teman adalah kawan, sahabat, orang yang bersama-sama bekerja, dan juga menjadi pelengkap serta pasangan. Jadi, kecuali lo mengalami gangguan jiwa akut dan penganut paham anti-sosial, setiap manusia butuh seorang teman sebagai pelengkap dan pasangan dalam melakukan kegiatan untuk bekerja bersama-sama. Hal tersebut terpapar jelas pada pengalaman gue beberapa hari kemarin, tepatnya tanggal 8 sampai 11 September 2010. Mengajukan diri sebagai tim advance untuk acara kemping gereja, fisik gue sedikit banyak diuji di acara tersebut. Siang, sekitar jam 2an, gue sampai di lokasi tempat pelaksanaan acara. Setelah
sebelumnya nyasar beberapa jam selama perjalanan (sampe masuk ke pusat kota Sukabumi), gue dan para anggota tim advance akhirnya bisa berkumpul. Mereka saat itu masih ngebuat tiang buat tali jemuran. Tiga tiang bamboo didirikan dan dipasang tali setinggi dahi gue. Gue gak sempat ngebantuin gara-gara pegalnya pantat akibat terlalu lama duduk di jok mobil. Gue harus sedikit mengurai syaraf-syaraf kusut di pinggang gue. Setelah sedikit reda, akhirnya gue bisa ngebantuin masang instalasi listrik dan lampu. Dengan bantuan alat canggih luar biasa yang gue bawa dari rumah (bernama test-pen), lampu-lampu di tenda pun akhirnya menyala dengan terangnya. Jujur, gue melewatkan aksi
para anggota tim untuk mendirikan tenda peserta, bikin tiang jemuran, serta setengah kegiatan untuk masang instalasi listrik. Tapi, yang penting, tugas sudah hampir selesai. Dan, buat tambahan, hampir di kamus gue mempunyai sinonim “Tidak”. Gak setuju? Gue kasih contoh kalimat: “Andreas hampir menabrak nenek buta di pinggir jalan.” Pertanyaan yang mau gue ajukan: “Apakah nenek buta itu ditabrak oleh Andreas?” Jawabannya adalah… Biar lo sendiri yang ngejawab.
Setelah gue bersantai ria karena menganggap kerjaan uda selesai. Tim advance dan beberapa tim pengisi acara ketawa-ketiwi dan malah memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak kami pikirkan. Tanpa sadar, awan hitam yang menggantung di belakang bukit perlahan-lahan naik dan berjalan pelan menuju tempat kami mengadakan acara. Gerimis ringan seolah memberi kami tanda untuk segera bersiap-siap. Tapi, yang namanya anak muda, yang penting santai dulu, lah. Yang penting tenda uda kepasang, listrik uda nyala, tiang jemuran udah aman. Selesai perkara. Di saat kami belum menyadari apa arti awan hitam yang menggantung itu, tiba-tiba hujan deras langsung mengguyur tempat itu. Deras, sederas-derasnya dan dingin, sedingin-dinginnya. Kami masih bertahan di tenda terpal putih beralaskan terpal plastik silver itu, yang jika terpal itu dibalik akan menjadi terpal plastik berwarna silver. Ngerti? Nggak? Wokeh, lanjutkan. Dan seketika itu juga air menggenang di sekitar tenda platoon. Banjir yang sedikit banyak tidak gue harapkan di hari pertama ini. Akhirnya, beberapa anggota tim advance pun bergerak dan berinisiatif untuk membuat selokan atau saluran air di kitaran tenda platoon. Bersenjatakan dua cangkul dan satu linggis, tiga anggota tim advance langsung mencangkul-cangkul tanah basah yang sudah digenangi air hujan. Gue yang awalnya ragu akhirnya ikut turun tangan buat ngebantuin mereka. Damn..!! Air hujan Sukabumi lebih kejam dari ada air hujan Jakarta. Dinginnya bikin semaput. Ditambah gue yang hanya memakai sehelai kaos putih dan celana pendek kotak-kotak, tanpa mengenakan jas hujan. Kegiatan cangkul-mencangkul dimulai. Dengan cipratan-cipratan lumpur dan tanah basah, gue dan bersama beberapa yang lain masih berusaha di tengah terjangan derasnya air hujan. Selokan itu pun akhirnya berhasil dibuat mengelilingi tenda platoon. Akhirnya, hujan pun reda. Tanpa gue sadari, tubuh gue bergetar, menggigil kedinginan, yang lama kelamaan gak bisa dikendalikan lagi. Rahang gue terus-terusan bergetar tak terkontrol, dan sisa dari anggota tubuh yang lain akhirnya menyerah juga. Sekujur
tubuh gak bisa berhenti untuk bergigil-ria di tengah semprotan udara dingin. Sinting..!! Hampir semua para laki-laki yang menjadi anggota tim advance basah kuyup, malah ada yang nekad bekerja sambil membuka baju di tengah siraman shower alam. Sinting..!! Bener-bener sinting..!! Sebatang rokok sedikit membuat badan dan paru-paru gue terasa hangat. Sedikit, cuma sedikit.
Akhirnya malam pertama itu kami tutup dengan makan nasi, indomie, kornet, sarden, dan sawi putih racikan masing-masing anggota tim advance. Makanan, yang belum tentu bakalan gue
makan di Jakarta karena amburadulnya cita rasa, pada akhirnya habis dilalap oleh perut-perut keparat yang kelaparan akibat dinginnya hujan. Tim advance dan tim pengisi acara turut berandil besar dalam menghabiskan hampir satu dus indomie dan beberapa liter beras. Malam berkabut itu terasa begitu hangat. Dilingkupi orang-orang gila yang kelaparan dan hampir tidak kenal lelah, badan yang menggigil ini akhirnya terhangatkan kembali. Suara tawa lepas akibat salah meracik bumbu terdengar begitu menggema. Yah, malam pertama gue bersama orang-orang yang berhasil melepas kepenatannya selama di Jakarta.