Musikalitas Pribadi

Siapa yang nggak suka musik? Siapa yang nggak pernah ngedengerin musik? Berani taruhan, seluruh warga di seluruh dunia pasti suka dan selalu mendengaran musik. Dengan banyaknya jenis dan genre yang ditawarkan, masing-masing pribadi memiliki musik yang cocok dengan personalitasnya
masing-masing. Tak terkecuali gue. Walaupun sejak lahir sudah dicekoki musik anak-anak, seperti “Balonku”, “Bintang Kecil”, dan lagu anak-anak lainnya yang sangat mudah dihapal, gue baru merasakan keindahan musik ketika gue pertama kali menonton Bondan Prakoso. Lagu “Si Lumba-Lumba” dan “Si Hitam” begitu melekat di memory gue. Apa lagi dandanan Bondan yang sangat laki-laki di jamannya. Menurut pandangan seorang bocah SD, jaket hitam, celana jeans, ikat kepala, dan sepatu kets Nike Dunk, adalah sesuatu yang pantas ditiru. Bermula dari situ, akhirnya gue sedikit intens mendengarkan musik. Lalu, sosok Michael Jackson pun muncul di televisi. Dengan tarian khas dan lengkingan suaranya, gue pun semakin jatuh cinta kepada musik. Seluruh warga SD Providentia mulai dari kelas 3 sampai kelas 6 terjangkit virus Michael Jackson. Menirukan gerakannya dan menggumamkan lirik lagu (yang mereka sama sekali tidak mengerti artinya) adalah pemandangan umum di beberapa kelas. Gue pun ikut-ikutan ber-moon-walker ria, walaupun pastinya ancur-ancuran. Saat itu gw masih kelas 5 SD. Di akhir tahun kelas 6, sebuah sekumpulan cowok-cowok asal USA nongol di televisi. Mereka menamakan dirinya Backstreet Boys. Gue kembali beralih kepada cowok-cowok ganteng ini. Dengan lagu-lagu hit yang menyuarakan cinta dan cinta dan cinta, mereka berhasil menarik jutaan penggemar. Gue sempat menjadi idolanya. Salah satu hardcore fans yang terus terbawa sampai gue menginjakkan kaki di SMP Sang Timur. Gak sedikit juga penggemar BSB, singkatan Backstreet Boys, di sekolah baru gue. Dengan paras menarik, BSB sama sekali gak menemukan kesulitan untuk menggaet massa cewek-cewek ABG.

Era kecintaan gue pada BSB berubah seketika ketika gue bertemu dengan Dipha Barus, seorang pelaku musik hebat di jaman gue SMP. Mengajak gue untuk ikut latihan band di studio Dizzy, gue didapuk untuk ngisi posisi vocal yang kosong.

Gue inget banget, lagu pertama yang gue nyanyikan adalah Radja dari /Rif. Menyanyi asal-asalan, tiba-tiba gue dapet pujian dari kakak kelas yang waktu itu ikut di dalam studio, “Suara lo keren juga, Blek.” Wow! Thanks berat, Kakak. Gue lupa nama dari si kakak kelas. Tapi, berkat pujian tersebut, akhirnya gue didapuk jadi vokalis. Kisah selanjutnya dalam sejarah musik gue berjalan sangat menarik. Setelah hampir setiap hari sepulang sekolah latihan tak kunjung henti, akhirnya tiba lah band gue untuk perform di atas panggung. Waktu itu, Auditorium MBK masih disebut sebagai Aula MBK, dan masih mempunyai tangga yang benar-benar mengantarkan kita ke “dalam” Aula. Aula saat itu masih punya, gue gak tau sebutannya apaan, tapi gue bakal sebut, jorokkan ke dalam. Sejenis palung. Pokoknya, jaman-jaman Aula belum direnovasi sedemikian rupa kayak sekarang lah. Gue lupa event apa yang dirayain SMP Sang Timur saat itu, dan banyaknya musisi dari kakak kelas membuat gue gemetar. Grogi. “They are doing some kind of great shit,” pikir gue waktu itu dari belakang aula. Malam sebelumnya, gue latian sampai menjelang maghrib di BSD, di rumah salah satu teman yang sekarang memutuskan untuk tetap memainkan musik The Beatles. Bayu namanya. Formasi band gue saat itu adalah Willy di drum, Dipha bassist, Bayu dan gue berperan sebagai vokalis, dan gue sedikit lupa siapa yang mainin gitar. Tapi, kayaknya Bastian, deh. Menyanyikan “Piknik 72”, jujur sejujurnya gue masih ingat apa yang gue rasakan saat itu. Lutut gue mati rasa, kepala gue melayang-layang serasa vertigo, dan telapak tangan gue dingin sedingin-dinginnya. Dan lagu pun selesai. Turun dari panggung, kakak kelas gue, yang juga kakak dari Marco, tiba-tiba melemparkan pujian, “Suara lo keren, Blek..!!”. Bodohnya, gue cuman bisa nyengir gak jelas dengan mata gue yang terbengong-bengong. Thanks, menjadi kata yang bisa keluar dari mulut gue. Itu pun dengan volume yang sangatlah kecil.

Akhirnya, beranjak ke SMA, dan gue kembali ke Providentia, gue bertemu dengan teman-teman lama yang ternyata juga punya hobi yang sama. Musik. Dan aliran gue di sini pun kembali berubah. Genre rock seakan menghipnotis gue. Karena, di jaman gue SMA sepertinya kebanjiran vokalis dan kekurangan drummer, akhirnya gue mendeklarasikan diri sebagai drummer terhebat. Well, ketika di langit tidak ada elang, belalang pun akan berteriak, “Akulah Elang..!!”. Dengan skill yang najis, gue mampu beradaptasi dengan teman-teman rocker gue. Dimulai dari memainkan musik Limp Bizkit, Korn, dan lagu “Stranger By The Day”, perjalanan musik gue terus mengalir. Lagu-lagu rock, khususnya brit-rock, ikut mewarnai sisi musikalitas gue. Sampai akhirnya, gue bertemu dengan beberapa teman dari masa lalu, Dennis, Kenjin, Albert, dan beberapa teman baru seperti Tomcun, Erik Neri, dan Edwin. Dengan mereka, gue berhasil menemukan jati diri permusikan gue. Rage Against The Machine, Deftones, dan Muse adalah band-band yang sering kali gue mainin di dalam studio. Hentakan beat kejam dengan scream dinamis membuat gue semakin tenggelam dalam indahnya melodi gitar metal. Akhirnya gue memutuskan bahwa ini adalah personalitas gue.


Sekarang, gue mendengarkan segala musik. Tanpa membedakan jenisnya. Pop, rock, dangdut, keroncong, jazz, atau apa pun itu, gue akan selalu mendengarkan kalau enak didengar di telinga. Malahan sekarang ini, gue lagi jatuh cinta sama yang namanya musik Soul dan Blues. BB King, Eric Clapton, dan beberapa musisi blues menjadi teman gue dalam mengerjakan segala pekerjaan sehari-hari. Dan anehnya, sekarang ini gue mengalami sulitnya tidur malam. Bukan insomnia. Tapi, karena faktor kelelahan. Tubuh gue yang terlalu capek akan terasa sangat-sangat pegal dan akhirnya berhasil menahan rasa kantuk gue. Gue mencoba untuk tidur sambil menempelkan ear-phone dengan alunan musik blues atau jazz yang berirama menghanyutkan. Hasilnya? Gagal total..!! Gue malahan berkhayal buruk soal pekerjaan yang belum kelar dan dikejar dateline. FUCK..!! Dalam kondisi putus asa, akhirnya gue menyetel “Shattering The Skies Above” dari Trivium. Dan lo semua bakalan kaget. Lagu metal ini berhasil membuat gue tidur nyenyak sampai gue gak bisa dibangunin sama nyokap gue buat berangkat kerja. Sleep like a bear. Besok malamnya, jam 9 malam, gue coba untuk tidur lagi. Ketika alarm weker sudah menunjukan pukul 10:13 pm, gue akhirnya kembali menyalakan iPod dan memainkan “Shattering The Skies Above” lagi. Gak butuh waktu lama. Cukup 1 ½ lagu Trivium tersebut (gue memasang mode repeat song) dan gue terhempas ke alam mimpi. Akhirnya, gue punya lagu lullaby yang di luar ambang kewarasan. Temen gue di twitter pun sampai heran, “Lagu kayak gitu jadi lullaby?”. Well, mau gimana lagi? Memang kenyataannya seperti itu. J

Perjalanan musikalitas gue belum berhenti. Berawal dari “Bintang Kecil”, Bondan Prakoso, Michael Jackson, Bacstreet Boys, Naif, Pure Saturday, Traktor Derek, Oasis, Muse, BB King, dan Trivium, gue meyakini bahwa ini sama sekali belum berakhir. Dan gue merasa nama-nama vokalis dan band yang gue sebutkan di atas telah mempresentasikan apa yang ada di dalam diri gue. Apa yang bersembunyi di balik emosi gue. Kalau gue boleh mengambil kesimpulan pribadi, mungkin seorang Andreas adalah seorang yang punya sisi romantic ala Backstreet Boys, namun bebas bergerak bak tarian MJ dan ingin tampil beda tanpa mempedulikan pendapat lainnya seperti Naif dan Pure Saturday. Punya hentakan hidup dinamis dengan racikan khas Traktor Derek. Dan berani menyuarakan perlawanan dengan gaya Muse dan melawan semua perlakuan yang menunjukan ketidak adilan terhadap gue seperti yang tertulis dalam setiap lirik Trivium. Ya. Musikalitas gue menunjukan siapa gue.

People are who they are listening.

Predators


Predators menjadi film terakhir yang gue tonton. Dengan segala reputasi yang telah dibuat film ini, dimulai dari film pertama yang dibintangi oleh sang governator, Arnold Schwarzeneger, yang bersetting di hutan dan film kedua dibintangi salah satu aktor yang menjadi side-kick Mel Gibson di Lethal Weapon, Danny Glover. Setelah itu, dibuatlah duology Alien vs Predator, yang menyatukan dua tokoh terbesar dalam satu film dan bertarung satu sama lain. Akhirnya, di tahun ini dibuatlah film yang menceritakan Predator kembali. Bukan prequel. Bukan pula sequel. Film ini adalah sebuah film baru yang diproduseri oleh Robert Rodriguez. Dengan tokoh utama, dibintangi oleh Adrien Brody, sekelompok pesakitan berjuang untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan makhluk-makhluk keji yang membunuh satu per satu para manusia. Tempat peperangan dikembalikan ke hutan belantara, namun tidak di bumi. Para survivor diceritakan dibuang ke sebuah planet. Mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mulai dari mercenary (tentara bayaran), pembunuh, gangster Yakuza dan mafia Mexico, sampai seorang dokter (yang pada akhirnya cuma dokter-dokteran). Mereka semua dijatuhkan dari angkasa oleh sebuah pesawat misterius ke tengah-tengah hutan yang seolah tak berujung dan dipaksa menjadi buruan para alien pemakan daging ini. Ya. “Para” pemakan daging. Kalo boleh gue bocorin sedikit, para Predator kali ini ditemani oleh beberapa anjing piaraan, sebuah makhluk aneh, dan Predator itu sendiri yang berjumlah empat (kalo gue gak salah hitung).

Hampir 30 menit dari film yang berjalan kira-kira 1 jam 45 menit ini berjalan sedikit membosankan. Obrolan-obrolan mengenai serangan-serangan misterius, alasan mengapa mereka yang dipilih, atau siapa yang menculik mereka, terus-menerus digulirkan sepanjang menit-menit pertama. Penonton dipaksa untuk menikmati awal-awal film yang lama-kelamaan menjadi sedikit membosankan. Adegan pertarungan dengan makhluk aneh pertama akhirnya disajikan. Makhluk aneh berkaki empat dengan tanduk-tanduk yang tumbuh dari badannya menyerang para survivor. Tembak-tembakan dan kejar-mengejar dengan alur kamera cepat membuat adrenalin sedikit terangkat. Beberapa scene menegangkan juga ditampilkan. Tapi, ada satu hal yang membuat gue sedikit heran. Dengan banyaknya survivor yang berlatar belakang militer, masakan membunuh makhluk aneh ini harus dengan ratusan peluru? Dan ketika makhluk ini berjalan mendekati sang calon korban, seharusnya dengan senjata otomatisnya ia mampu menembak di bagian-bagian krusial makhluk tersebut. Tidak dengan Adrien Brody. Ia terus menerus menembaki musuhnya tanpa mengenai sasaran dan tanpa mengenai bagian yang dapat menyebabkan kematian, yang seharusnya sudah diketahui oleh seorang prajurit. Walaupun pada akhirnya makhluk ini pun mati.

30 menit berikutnya, para survivor ini (minus Danny Trejo yang lagi-lagi mendapat peran numpang lewat) akhirnya bertemu dengan seorang sepuh di tanah Predator. Sudah sepuluh musim ia lewati dengan menyelamatkan diri dari serangan para Predator. Kembali, dialog-dialog membosankan mengalir dengan perlahan. Diperankan oleh Laurence Fishburne, survivor yang satu ini terus-menerus bercerita mengenai segala kelemahan dan kemampuan para predator. Ia juga menjelaskan jenis-jenis predator yang ada di luar sana. Ada perbedaan namun tidak kasat mata. “Seperti membedakan anjing dengan serigala,” katanya. Namun, Laurence Fishburne pun ternyata membuat twist yang sedikit mencengangkan dan perannya di situ tidak sebesar Morpheus di Matrix. Mudah terlupakan. Twist-nya sendiri terkesan maksa. Seharusnya Fishburne menjadi cameo dibandingkan peran aneh di film ini.

Akhirnya, pertempuran dengan Predator pun terjadi. Adrien Brody berjuang mati-matian demi kabur dari planet terkutuk itu. Satu-persatu mereka mati. Darah segar tidak ragu-ragu ditumpahkan oleh Rodriguez, baik itu merah ataupun hijau. Kepala Predator yang terpenggal pun ditampilkan secara brutal. Namun, kematian para manusia dipresentasikan berbanding terbalik. Saya agak kecewa di bagian ini. Gak adil. Masa’ Predator ditampilkan dengan kematian vulgar, sedangkan para manusianya malahan tersensor. Atau, Lembaga Sensor Indonesia yang tidak berkenan? Ah, sudahlah. Tapi, kematian brutal para Predator menjadi satu-satunya hiburan saya di film ini. Brody pun sebenarnya cukup cocok untuk memerankan jagoan di film ini. Wibawanya terlihat. Sayangnya, ia sangatlah untouchable. Kurang manusiawi. Dengan melalui pertarungan sengit, setelah melewati beberapa twisted story yang tak cukup twisting, akhirnya Brody berhasil memenggal kepala sang Predator. End of story. With no conclusion and untwisted twist story.

Oh, iya. Anyway. Arnold Schwazenegger tampil di film ini, loh. Tapi, hanya melalui cerita ketika para survivor jatuh dari air terjun. Just listen to the girl’s story. It’s gonna make you remember how The Gorvenator survive the Predator.