Aku Bisa Terbunuh Di Trotoar Jalan

Tertanggal 17 Mei 2010, di hari Senin, pukul 20.00, ban belakang sepeda motor Vega R dengan STNK atas nama Andreas Surya Pratama dengan suksesnya mengalami kebocoran. TKP berada di bilangan Cawang Atas. Gue saat itu sedang dalam perjalanan pulang menuju tempat tidur tercinta di Perumahan Taman Kedoya Baru, Jakarta Barat. Waktu saat itu adalah sebuah waktu yang bakal gue kutuk seumur hidup gue. Kenapa? Karena di sepanjang 10 meter jalanan yang gue lalui dengan berjalan kaki sambil menenteng motor, tidak ada satu pun tukang tambal ban yang masih bersedia menolong pemuda terkutuk ini. Semua penjual jasa tersebut telah hidup di alam seberang, menikmati indahnya mimpi-mimpi duniawi yang teramat nyata. Alhasil, gue pun terus menerus menyusuri jalanan Ibu Kota tanpa henti. Sambil terkadang berhenti sejenak untuk sekedar menghisap rokok, sepatu Converse putih dengan rutinnya menginjak aspal yang sering kali terdapat jebakan lubang air sialan yang belum ditutup oleh Dinas Pekerjaan Umum Jakarta. Beban perjalanan (yang dalam arti harafiah memang benar-benar “berjalan”) terasa semakin berdinamika. Lampu-lampu jalanan seakan menaungi kutukan. Lampu-lampu mobil dan motor, kepulan asap karbon mono oksida dari knalpot hitam bus-bus kota juga turut menemani.

Rambu-rambu penunjuk arah di dalam tol menjadi kompas sekaligus pengukur jarak yang telah gue tempuh. Gue sesekali melihat ke seberang untuk sekedar memperhatikan tulisan di rambu yang tersiram cahaya kuning dari lampu jalan. Gue mencari tulisan “Semanggi 200 M” yang dalam imajinasi gue berubah menjadi “Api Penyucian 200 M”. Dan belum berhasil gue temukan. Akhirnya gw terendap ditemani motor Yamaha B 60** BL* (gue sensor, takutnya gue digangguin di jalan). Seperti yang gue sering tulis di cerita-cerita gue sebelumnya, gue adalah anak tunggal. Sedikit mengalami gangguan mental, sehingga terkadang gue mengajak para benda mati di sekeliling gue untuk berbicara. Dan kebetulan, korban curhat dalam kejadian ini adalah sang motor, sepatu Converse putih, jaket jeans distro, dan rokok Djarum Super yang gue selipkan di bibir.

Converse, selaku korban pertama, harus kuat-kuat hati menerima segala omongan bawel gue. Dan sebagai catatan, gue sama sekali nggak bergumam. So, gue bener-bener berbicara layaknya gue berbicara dengan orang biasa, yang menghasilkan tatapan-tatapan aneh dari para karyawan yang baru pulang kerja dan beberapa tukang ojek serta pengamen dan pengemis di pinggir jalan. Gue berhasil menasihati sepatu putih gue, yang telah berubah warna menjadi agak kehitam-hitaman akibat genangan air, supaya mereka bisa menghargai diri sendiri, karena mereka mempunyai sebuah nilai historis kelak. Gue membandingkannya dengan almarhum Converse merah yang teronggok entah dimana di dalam rumah. Pendahulunya menjadi korban keganasan alam ketika gue mengadakan camping. Kebetulan gue lupa gunung mana yang kami jajal saat itu. Almarhum Converse merah berhasil menemani gue dan menjaga tuannya sehingga tidak terjadi bencana apa pun. Sekarang, sang penerus harus kembali menjaga si empu untuk menjajal jalanan Jakarta demi mencari tukang tambal ban. Well, bila dibandingkan dengan si merah, si putih memang tidak mempunyai nilai historis yang mentereng. Setidaknya belum lah. Terus-menerus gue mengajak berbicara si Converse putih, dan tanpa sadar gue telah melewati Patung Pancoran. Dan gue baru tahu, bahwa nama sebenarnya dari Si Penunjuk itu adalah Patung Dirgantara dan ia mengarahkan telunjuknya dengan setia ke arah Bandara Halim Perdanakusumah. Ternyata memang perjalanan terkutuk ini sedikit memberikan gue ilmu sosial yang mungkin belum gue dapatkan di bangku sekolah. Sambil sedikit terburu-buru, gue menyeberangi perempatan jalan Pancoran yang masih saja ramai dengan berseliwerannya mobil dan motor. Berlarian dengan disertai keringat yang secara kurang ajar berkunjung ke mata kiri, gue menyeberang dengan hanya mengandalkan mata kanan gue. Ah, untung gue belum mati ketika gue tidak melihat bus Kopaja yang datang dari arah kiri hampir menabrak. Ya, Pancoran sudah terlesati, next destination adalah perempatan Kuningan. Dan gue merasa, perjalanan gue masih jauh.

Bosan dengan rutinitas mengobrol, gue malah tidak memfokuskan pikiran gue untuk mencari tukang tambal ban. Ah, tapi memang tidak ada lagi yang melayani. Mata lelah gue memperhatikan kehidupan malam di trotoar pinggir jalan. Banyak sekali dari mereka, para pengemis dan pengamen, yang tidur hanya beralaskan karton bekas atau berdindingkan gerobak dan beratapkan langit kelam. Anak-anak kecil masih sibuk bermain dengan botol bekas gepeng, ditendang ke sana kemari. Salah seorang dari mereka, memakai baju kebesaran Persija, mencoba menendang botol plastik itu sekeras-kerasnya sambil berteriak, “Aliyudiiiiinnnn…..!!!”. Dan, gol. Selebrasi dengan menirukan gerakan Vicenzo Montella, merentangkan kedua tangan ke samping sambil berlarian, disambut rekan setimnya yang berusaha mengejar. The Little Aeroplane, nama gerakan tersebut. Percayalah, gue akan ikut bertepuk tangan sambil membuat gerakan Mexican Wave bila kedua tangan ini tidak sibuk menuntun motor.

Di dekatnya berdiri dua gadis yang memakai kaus hitam. Yang satu bergambar tokoh favorit gue, yaitu Marylin Manson, dan yang satu hanya bertuliskan Misfits. Keduanya tampak serius berlatih menyanyi sambil menggenjreng (bukan memetik) ukulele. Entah apa lagu yang mereka dendangkan. Yang pasti, itu lagu berirama Melayu. Gue juga agak kurang yakin, antara ST12, Hijau Daun, atau The Bagindas. Namun, ada yang membuat gue sedikit terkesima. Seorang pemuda gondrong, mungkin seumuran gue, menyenandungkan nada yang agak gue kenal. Sambil terus berjalan, gue sedikit mengkonsentrasikan telinga kiri gue ke arahnya. “Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti,” ia menyanyi dengan suara yang lumayan merdu. Gue berhenti sejenak. Sambil menyalakan rokok, gue terus mendengarkan nyanyiannya. Di Udara adalah judul lagu yang dinyanyikan olehnya. Diciptakan oleh Efek Rumah Kaca sebagai persembahan kepada mendiang Munir untuk mengenang segala perjuangannya. Entah apakah ia mengerti arti dari lagu tersebut, gue nggak peduli. Yang pasti gue ingin menikmati sejenak alunan nada sejuk barang sesaat. Tanpa sadar, gue malah ikut menyanyikan sedikit liriknya. Duduk di atas jok motor, kaki kanan gue bergerak mengikuti irama lagu. Lima menit berlalu, gue sadar bahwa perjalanan harus dilanjutkan. “Aku bisa terbunuh di trotoar jalan…!!!, “ adalah sepenggal lirik yang gue dengar terakhir kali. Dan gue membatin, “Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti..!!”

Perjalanan yang terasa panjang akhirnya ditemani oleh suara si orang muda. Gue berhasil berduet dengannya, menyanyikan lagu yang sama terus menerus. Gue dan dia mengulang lagu yang sama sampai sekitar sepuluh kali. Sampai pada akhirnya, gue berhasil menjejakan kaki di perempatan Kuningan. Lampu merah menyala untuk mobil dari arah Kuningan. Dengan terburu-buru, gue berlari sambil menjalankan motor untuk menyeberangi jalan. Tapi, tiba-tiba lampu dari arah Pancoran (arah kedatangan gue) mendadak berubah menjadi merah. Artinya, mobil dari arah Kuningan mendapat giliran untuk meneruskan perjalanan. Mulut gue langsung berteriak sambil menyanyi, “Aku bisa terbunuh di prempatan Kuningaaaannn…!!!”. Tapi, maaf mengecewakan lo semua. Gue masih sehat walafiat sampai sekarang. Puji Tuhan. Sambil menunggu lampu rambu mengijinkan gue untuk meneruskan perjalanan, gue kembali berkaraoke ria, masih dengan lagu yang sama. Seorang petugas polisi menghampiri gue. Dengan rompi hijau menyala, ia mendekati gue.

“Kenapa, Mas?,” suaranya terdengar parau. Mungkin akibat menghisap terlalu banyak debu jalanan.

“Ban belakang bocor, Pak,” balas gue sambil melemparkan senyum.

“Udah jalan darimana? Kok, keliatannya capek bener,” pak polisi kembali bertanya sambil memperhatikan kepala gue yang memang sudah basah gara-gara keringat.

“Dari Cawang atas, Pak. Tukang tambal ban gak ada yang buka,” kembali gue melemparkan senyum lelah. Di kepala gue masih terngiang-ngiang nada “Di Udara”.

“Buseeettt….!!!,” pak polisi tampak benar-benar terkejut dan gue cuma bisa tersenyum. “Di seberang masih buka, tuh. Kamu ke sana aja. Sini saya bantu.”

Ia dengan percaya diriya langsung maju dan mengangkat tangannya untuk memberhentikan arus lalu lintas sejenak dan menyuruh gue maju. Arus lalu lintas kebetulan memang telah berangsur-angsur sepi seiring semakin meningginya bulan sabit. Gue diantar olehnya ke tukang tambal ban. Kompresor oranye itu masih bersandar di dekat pohon. Tulisan “TAMBAL BAN” dengan cat tembok putih menghiasi badan sampingnya. Dua orang polisi, empat tukang ojek, satu penjaga warung, dan satu tukang tambal ban sedang mengobrol dengan intensnya. Pak polisi itu memanggil sang penyelamat malam gue dan memberikan info soal bocornya ban gue. Lalu, ia mengajak gue untuk ikut duduk sambil mengobrol bersama tim wacana pinggir jalan. Pak polisi itu memberitahu temannya bahwa gue sudah menuntun motor ini dari Cawang atas sampai Kuningan. Temannya yang sudah melepas seragam kebesaran dan hanya memakai kaus coklat berlambangkan POLRI, dengan serta merta bertepuk tangan sambil tertawa dan memuji gue.

“Emang, kalau uda jam segini udah pada tidur semua. Cuman di sini doang yang sampe pagi.”

Ucapannya itu langsung ditimpali dengan suara tawa yang semakin nyaring. Gue juga ikut terpancing untuk tertawa. Akhirnya gue ikut mengobrol dengan tim wacana tersebut. Dari masalah premanisme, terorisme, Anggodo-isme, Susno-isme, sampai kepada pelajaran mengenai seks di rumah. Yang terakhir kurang gue dengarkan karena memang itu adalah pembicaraan orang tua, sedangkan gue kan masih kecil (dengan gaya sok lucu). Paradigma-paradigma dari orang berbeda sedikit membuka wawasan gue mengenai hal-hal sosial. Dan ini membuktikan bahwa memang pelajaran tidak hanya didapatkan dari bangku sekolah. Mulai dari Patung Dirgantara yang menunjukkan letak Bandara Halim Perdanakusumah, keceriaan anak kecil di tengah keterpurukan, si pengamen muda idealis, sampai pandangan para polisi yang bersatu dengan para kaum menengah ke bawah. Namun, sayangnya, ban motor gue sudah berhasil ditambal. Alhasil, gue bisa segera pulang dan meninggalkan pelajaran-pelajaran jalanan. Sembari mengucapkan terima kasih kepada semuanya, gue langsung tancap gas dan menuju rumah tercinta. Sepanjang jalan, kembali gue berduet dengan si pengamen.

“Ku bisa tenggelam di lautan, aku bisa diracun di udara, aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi, aku tak pernah mati. Tak akan berhenti.”

The Death of Tovalzky

Tovalzky terlahir pada di bulan Juni 2001. Tidak ada data mengenai tanggal kelahirannya. Umurnya pada saat ini adalah kurang lebih 8 tahun 11 bulan. Ia meninggal kemarin, 13 Mei 2010. Tidak ada data mengenai penyebab kematiannya. Tovalzky telah menjadi teman sepermainan saya sejak ia dilahirkan. Walaupun berumur jauh lebih muda dari saya, ia memiliki sebuah pemikiran yang jauh lebih matang dibandingkan saya. Cara berpikirnya yang lebih dewasa terkadang membuat saya kagum. Saya belajar banyak darinya. Segala perkataannya sering kali saya cermati dan saya simpan, lalu saya cerna sebaik mungkin. Tidak semua dari apa yang ia sampaikan adalah benar, namun tidak dapat dipungkiri, ia adalah kutub selatan dari diri seorang Andreas Surya Pratama. Namun, sikap emosionalnya kerap menganggu. Si Sumbu Pendek, kerap saya memanggilnya seperti itu. Bila egonya terganggu, kerap ia langsung meluapkan segala amarahnya tanpa memperhatikan sekitarnya. “Membabi buta,” ayah saya pernah menyebutnya seperti itu. Tovalzky tidak menyalurkan segala emosinya lewat pebuatan, melainkan perkataan yang seringkali menyakitkan lawan bicara. Namun, sayalah yang pada akhirnya maju untuk ikut bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Dan ia menghilang tanpa jejak begitu saja. Tanpa terima kasih. Tanpa berpamitan. Sendirian, saya kerap memohon maaf atas segala yang ia hancurkan. Saya sendiri maklum, dari segi umur memang ia masih kecil. Emosi labil, kata salah seorang teman saya. Belum mempunyai full-control terhadap diri sendiri.

Tapi, sikapnya yang terus menerus mengganggu orang lain, tidak bisa saya tolerir lagi. Saya sudah lelah mempertanggung jawabkan apa yang tidak pernah saya perbuat. Titik dimana saya bilang “cukup” telah saya lewati. Akhirnya, kami sering bertengkar, memperdebatkan segala jenis kelakuan dan perlakuan yang sudah mencapai batas normal. Memang, ia sering membela saya di saat-saat saya mengalami kejatuhan dan juga kemunduran. Tapi, saya ikut hadir di situ. Saya tidak lari dari masalah. Tidak seperti dia, yang kerap kali kabur ketika saya sedang membelanya mati-matian. Ketika pertengkaran memuncak dan tak bisa lagi diselesaikan dengan kata-kata, akhirnya saya mencapai sebuah kesepakatan. Tidak mungkin kami beradu fisik, karena masing-masing dari kami menyadari bahwa adu pukul bukanlah jalan terbaik. Kami sepakat akan satu hal. Salah satu dari antara kami harus mati. Ya. Mati dalam arti harafiah. Saya mengambil sebilah pisau dapur dari laci di dekat lemari peralatan dapur. Saya meletakkan pisau itu di meja makan. Kami berdiskusi dengan kepala dingin, tentang siapa di antara kami yang harus mati. Diskusi itu pada akhirnya tidak mencapai titik temu sesuai dengan yang kami harapkan. Kedua kepala mempunyai segala argumen yang mampu membantah teori masing-masing. Akhirnya, kami sepakat. Argumen hanyalah sebuah bentuk idealisme yang setia melingkupi sikap egosentris. Kenyataan hanyalah dapat diterima dan dimengerti melalui keikhlasan hati.

Ia pun bertanya pada saya, “Apakah engkau ikhlas kehilangan aku?”.

“Jika pertanyaan itu aku berikan padamu, apa jawabmu?”

“Ya. Aku ikhlas.”

“Ya, aku pun seperti itu,” jawabku gemetar.

Tanganku segera menyambar pisau itu dan menghujamkannya tepat di perutku. Ia hanya menatapku. Sikapnya tetap tenang. Tak ada kepanikan di matanya. Tovalzky yang ku kenal. Tidak akan pernah berubah. Matanya yang kelam masih menatap dalam, sampai noda darah yang perlahan membasahi pakaiannya. Ia memegang perutnya yang telah dibasahi darah. Sebuah luka sayatan besar terus-menerus dialiri darah hitam kemerahan. Aku hampir menangis melihat kejadian itu. Tapi, ia tetap tersenyum kecil. Sambil mengangkat tangan kanannya ia berbisik, “Teruslah hidup. Jangan berlari. Namun, berjalanlah tanpa henti.” Seketika itu juga ia jatuh terbaring bersimbah darah. Aku hanya bisa memandangi tubuhnya yang terbujur lemas, tanpa bisa berbuat apa-apa. Tak mau berbuat apa-apa. Kematian Tovalzky bukan untuk dikenang, bukan juga untuk ditangisi.