Jatuh Cinta Itu Biasa Saja

Cinta memang agung. Tapi, kita terlalu mengagung-agungkan jatuh cinta.
Cinta memang abadi. Tapi, kita terlalu mengabadikan jatuh cinta.
Cinta memang indah. Tapi, kita terlalu memperindah jatuh cinta.
Cinta memang buta. Tapi, kita tak perlu tersesat ketika jatuh cinta.

Find more artists like Efek Rumah Kaca at Myspace Music

Dimensi


Gelap. Kelam. Lembap.
Suasana ceria dan keadaan yang cukup membosankan bercampur menjadi satu. Tekanan situasi membuat Dimas hanya mampu menampilkan segurat garis wajah yang menyatakan senyum palsu. Terduduk di sofa panjang, di depannya tersaji sebuah pemandangan yang sudah berulangkali ia lihat. Bahkan telah diingatnya dalam palung memori terdalamnya. Seorang anak kecil yang memainkan pesawat terbang kecilnya yang baru saja ia susun, terus-menerus berlari mengelilingi ruang keluarga. Melompati sofa dan menghindari mereka yang berdiri di jalur larinya. Dimas kembali menyesap kopi. Seorang pria sambil tertawa menawarinya sekaleng minuman soda. Dimas menggeleng, menolak tawaran itu dengan menunjukkan cangkir kopinya. Lalu seorang wanita paruh baya menghampirinya sambil membawakan sepiring kecil kue tart yang ditutupi oleh lapisan coklat tebal. Dimas kali ini tak kuasa menolaknya. Sembari menaruh cangkir kopi yang hampir kosong, ia menerima piring kecil itu. Ruangan itu sangatlah ramai. Semua orang tampak menikmati suasana yang penuh keakraban. Wajah-wajah familiar terus menerus berdatangan memenuhi ruang tamu. Dimas beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang makan. Sebuah poster bertuliskan "HAPPY BIRTHDAY BOBBY" terbentang melebar dari sudut ruangan yang satu ke sudut ruangan yang lain. Sebuah kue tart putih tertutup krim putih terdiam di atas meja makan. Seorang anak terlihat menikmati suasana riuh dan ceria yang ada di sekelilingnya. Nyanyian "Selamat Ulang Tahun" pun akhirnya dimulai. Dimas ikut menyanyikan lagu itu sambil terus tersenyum ke arah si anak. Menjelang akhir dari lagu ulang tahun tersebut, Bobby, sang anak, menghirup udara dan memenuhi seluruh paru-parunya dengan udara dan menyemburkan seluruhnya ke arah lilin yang sudah dinyalakan setelah lagu dimulai. Dan berhasil. Lilin berbentuk angka tujuh itu padam dan ucapan selamat datang dari berbagai penjuru. Ayah dan ibunya, Mario dan Gisella, langsung menghujamkan ciuman ke masing-masing pipinya. Mario di pipi kanan, Gisella di pipi kiri. Dimas ikut bertepuk tangan dan berteriak girang.

Sambil berusaha menembus kerumunan orang yang mengelilingi sang anak, ia mengembangkan tangannya hendak memeluk dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Bobby. Telah terpikirkan semua harapan dan doa yang ia tujukan dan akan ucapkan padanya. Dengan tawa yang ceria Bobby seolah menyambut pelukan hangat Dimas. Tangannya juga sudah ia bentangkan lebar-lebar. Dan semua tiba-tiba menjadi gelap. Dimas hanya mampu mendengar suara nafasnya sendiri. Tangannya masih terbentang lebar. Pikirannya bercampur dengan pertanyaan. Tersadar dengan segala kegelapan yang ada di sekitarnya, nafasnya semakin memburu. Kesunyian semakin membuatnya tidak nyaman. Para manusia di sekelilingnya menghilang tanpa jejak. Gelap. Kelam. Lembap.

Ia tak dapat melihat apa pun. Berteriak putus asa, ia menggerakkan tubuhnya mencoba menggapai apa pun, apa pun yang ada di sekelilingnya. Sia-sia. Tak ada apa pun atau siapa pun dalam ruang luas kosong, dalam dimensi lain. Dilingkupi kepanikan, ia bergerak semakin membabi-buta. Bergerak dan berharap ia tersandung sesuatu, menyentuh sesuatu, hanya untuk mengetahui bahwa ia tidak sendiri. Dan tidak ia temukan. Ia menyerah. Terjatuh bersimpuh dan menangis setelah sadar bahwa ia sendirian. Teriakan penuh kesakitan terasa tak berguna karena tak ada yg mendengarnya. Putus asa. Sendiri. Dirasuki ruang penuh kegelapan. Dibasahi air mata kekelaman. Ditutupi udara penuh kelembapan. Dimas sendiri.