Pelayanan Adalah Bentuk Kemerdekaan

“Merdeka adalah bebas dari penjajahan. Merdeka adalah bebas berekspresi. Merdeka adalah bebas dari pembedaan suku, agama, dan ras. Indonesia adalah negara merdeka. Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Selamat ulang tahun Indonesia. Dirgahayu Indonesiaku.”

Tulisan-tulisan di atas adalah beberapa ucapan dan definisi idealis yang dapat saya temukan di situs twitter ketika saya membukanya tepat pada pukul 00.00 pada tanggal 17 Agustus. Para twitterian (sebutan saya bagi para pengguna twitter), terus-menerus mengetikkan untuk merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 65. Laman twitter saya tidak henti-hentinya bergeser ke bawah menampilkan pesan-pesan bernada idealis untuk Indonesia. Mereka terus melancarkan kritik pada Indonesia, pada warganya, dan juga pada pemerintah. Namun, ada juga yang memberikan pesan dan mendefinisikan arti kata “Merdeka” menurut ide mereka masing-masing. Tulisan-tulisan berbunyi nasionalis pun tak kalah banyaknya. Bahkan, ada yang menulis dalam Bahasa Inggris. Kira-kira bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia bunyinya adalah, “Mungkin Indonesia tidak akan bangga terhadapku. Namun, aku tidak punya alasan untuk tidak bangga terhadap Indonesiaku”. Berbeda-beda (Bhinneka), namun tetap menuju ke satu kesimpulan dan tujuan (Tunggal). Bangga dan cinta terhadap Indonesia yang seharusnya telah tertanam dalam hati kita, selaku Warga Negara Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika adalah sebuah semboyan yang penuh arti. Tak salah bila kata-kata yang diambil dari bahasa Sanserketa kuno itu menjadi semboyan Negara Indonesia. Bila diterjemahkan satu persatu, kata-kata tersebut akan bermakna, Bermacam-macam (Bhinneka) Satu (Tunggal) Itu (Ika), yang bila diartikan secara keseluruhan akan berbunyi: Bermacam-macam Itu Satu. Kata-kata inilah yang pada akhirnya menggerakan kami, para Orang Muda Katolik dari Gereja Maria Bunda Karmel untuk berani melakukan sebuah pagelaran demi memperingati acara Ulang Tahun Indonesia yang ke 65. Ide ini tercetus pada tahun lalu di daerah Cibubur, di Bumi Perkemahan. Melalui ide tersebut, gerombolan anak-anak muda ini memulai rapat-rapatnya. Pendapat-pendapat dari banyak kepala terus-menerus dilempar. Pada akhirnya keputusan untuk mengadakan sebuah acara besar pun disetujui. Dimulai pada tanggal 15 Agustus sebagai acara pembuka yang menyajikan bazaar yang menyajikan makanan-makanan khas Nusantara disertai lomba-lomba tradisional, seperti balap karung dan makan kerupuk, dan ditutup dengan sebuah acara musik dengan tema Pelangi Nusantara yang
menampilkan bakat-bakat dari beberapa wilayah dan juga beberapa bintang tamu.

Perjalanan panjang menuju sebuah tujuan final tersebut diwarnai dengan berbagai emosi. Mulai tangis, tawa, amarah, sampai sedih terpapar semua di sepanjang jalan yang harus kami lalui. Perbedaan-perbedaan pendapat sering dan selalu mengisi pertemuan ini. Namun, yang saya sadari, perbedaan itulah yang pada akhirnya membuat kami menyatu dan mampu berjalan bergandengan, bersama menuju sebuah mimpi yang ingin dicapai. Berbagai masalah tidak dapat
digambarkan lagi seperti batu kerikil di perjalanan kami, tapi seperti rangkaian kawat berduri, tebing yang menantang dan onggokan batu cadas di depan mata yang harus kami gunting, panjat, dan hancurkan. Lelah dan bosan bukanlah suatu alasan untuk berhenti menggapai mimpi. Sisi emosional dari setiap pribadi yang terselip malah mewarnai dinamisme dalam kepanitiaan. Semangat yang tercurah, seolah menjadi bahan bakar untuk terus maju menggantikan cucuran keringat dan luka di hati.

Memasuki bulan Agustus, kepanikan menyerang kami. Segalanya yang terlihat telah sempurna berubah drastis. Kami seolah harus memulai segalanya dari nol. Dikejar waktu, dengan sisa-sisa tenaga, kami terus
berpacu melawan waktu. Segala kekurangan segera dilengkapi. Setiap detil yang terlihat buruk, segera disempurnakan. Dana yang kurang mencukupi, dipenuhi dengan segala daya upaya. Dekorasi dikebut dengan mengumpulkan tenaga-tenaga cabutan. Anggota-anggota panitia yang menghilang, dipanggil kembali untuk melengkapi tim kecil kami. Di tengah kepesimisan kami akan mimpi yang tergolong luar biasa ini, kami terus berdoa memohon segala perlindungan, petunjuk, dan berkat dari Tuhan. Dan memang Tuhan tidak pernah tidur. Dia menolong kami dalam setiap usaha. Tangan-Nya seolah menyapu bersih segala halangan-
halangan besar. Tabir kepanikan yang melingkupi, perlahan mereda dan menghilang. Pikiran jernihlah yang kami perlukan saat itu.

Pada akhirnya, rangkaian acara kami pun berjalan dengan lancar. Dimulai dari Bazaar yang menjual berbagai macam produk dan juga beberapa makanan. Lalu sedikit diselipi oleh lomba-lomba tradisional yang cukup popular, seperti tarik tambang, balap-karung, sampai makan kerupuk. Dan akhirnya ditutup dengan sebuah acara seni untuk memperingati Hari Kemerdekaan. Wajah-wajah lelah tergambar jelas di masing-masing panitia, namun secercah pancaran kepuasan seolah menutupi peluh dan keringat. Sebagai anak muda, para panitia telah memperlihatkan tekad kuat dalam merayakan kemerdekaan sekaligus semangat pelayanan tanpa pamrih yang luar biasa. Terima kasih anak-anak muda Katolik Gereja MBK. Semoga kalian bisa menjadi penerus dan tulang punggung gereja Katolik. Namun, perjalanan kalian belum selesai sampai disini. Tetap semangat.