I Belong To Jesus


Apakah Anda pernah mendengar nama Ricardo Izecson dos Santos Leite? Dari namanya yang begitu khas, Anda pasti bisa menebak darimana ia berasal. Ya. Amerika Latin, tepatnya Brazil. Sang empunya nama, telah berhasil memenangkan berbagai penghargaan international di bidang olahraga. Mulai dari Ballon d’Or (penghargaan tingkat Eropa) pada tahun 2007, hingga penghargaan FIFA World Player Of The Year di tahun yang sama. Karirnya terbilang cemerlang. Pada umur 15 tahun, ia telah dibawa ke sebuah tim junior Sao Paolo (Brazil). Akhirnya, klub AC Milan pun terpincut dengan bakatnya mengolah bola dan membelinya seharga 8 ½ juta Euro. Di klub ini, ia menjadi salah satu pilar penting dalam meraih berbagai gelar baik nasional maupun international. Akibatnya, salah satu klub terkaya di dunia, Real Madrid, berkenan menggelontorkan dana senilai 68 ½ juta Euro demi mendapatkan tanda tangan sang bintang di atas kertas kontrak. Dan dia mempunyai nama panggilan, Kaka.

Tapi, disini saya tidak hendak membahas perjalanan karirnya yang terbilang cemerlang. Jujur, bahkan saya tidak mengidolainya. Yang membuat saya, pada akhirnya, mengalihkan pAndangan kepada Kaka, adalah caranya ketika ia berhasil menceploskan bola ke gawang lawan. Ketika itu, masih berseragam A.C Milan, ia berhasil mencetak sebuah gol. Lalu, dengan segera, ia berlari menuju ke tengah lapangan dan mengangkat tangan kanannya sambil menunjuk langit, sedangkan tangan kirinya menarik seragamnya. Disinilah yang membuat saya segera kagum. Di kaus dalamnya, tertulis sebuah kalimat dalam bahasa Inggris, “I Belong To Jesus”. “Saya adalah milik Yesus”. Barulah ia menyambut pelukan teman-temannya. Saya terkesima sesaat.

Kalimat “I Belong To Jesus” seakan menyentil alam bawah sadar saya. Kita adalah milik Yesus. Tidak ada yang luput dari-Nya. Segala sesuatu yang kita kerjakan, segala sesuatu yang kita alami, dan gerak-gerik kita, tidak lepas dari tangan-Nya. Contohlah seorang Kaka. Walaupun hidup bergelimangan harta dan seakan tidak kekurangan apapun, ia masih ingat untuk selalu bersyukur. Hal mencetak gol pun, ia persembahkan pada yang Maha Esa. Karena ia sadar, segala sesuatunya tidak mungkin tanpa-Nya. Ayah saya pun akhirnya mengidolai si pemain bola ini. Beliau sedikit mencontek filsofi Kaka. Katanya pada saya dalam sebuah kesempatan, “Segala yang Ayah lakukan, Ayah lakukan bukan demi pribadi. Bukan demi keluarga, apalagi demi uang. Segala yang Ayah lakukan adalah demi Yesus Kristus. Ini adalah sebuah ucapan syukur dan terima kasih pada Tuhan Yesus. Karena Dia-lah yang memberikan Ayah kemampuan untuk melakukan semuanya.” Kali ini saya tertampar dengan ucapan Ayah saya. Syukur dan terima kasih. Saya sering kali melupakan kedua hal tersebut.

Kebanyakan, isi dari doa saya adalah selalu meminta. Minta pekerjaan yang sesuai, minta supaya dapat undian, minta motor baru, bahkan minta dapat pacar baru. Saya pribadi selalu melupakan sebuah ucapan yang sebenarnya sangat mudah diucapkan. Doa bagi kebanyakan dari kita telah menjadi sebuah alat untuk meminta apa yang kita inginkan dan capai. Alat sebagai pemuas nafsu duniawi. Namun, ketika permintaan itu telah tercapai kita lupa cara mengucapkan terima kasih dan syukur kepada-Nya. Padahal segalanya tidak lepas dari kuasa-Nya. Pernahkah kita ingat kepada Yesus ketika kita berhasil? Ataukah kita hanya mengingat-Nya ketika kita sedang dirundung kegagalan?

I Belong To Jesus. Saya adalah milik Yesus.

Di Warung Rokok Itu

Sebagai anak tunggal, saya sudah terbiasa untuk hidup “sendiri”. Tanpa kakak atau adik yang menemani saya untuk bermain. Ketika kecil, saya hanya ditemani oleh seorang baby sitter atau pembantu untuk bermain dan bergumul dengan mainan-mainan saya. Kedua orang tua saya dipastikan sedikit sibuk untuk urusan rumah tangga dan mencari sesuap nasi. Alhasil, saya menjadi sedikit terbiasa dengan kesendirian saya. Beranjak Sekolah Dasar, akhirnya saya menemukan teman-teman sepermainan di komplek tempat saya tinggal. Berkelilling perumahan dengan menggunakan sepeda kuning kesayangan, menjadi satu-satunya aktifitas sore saya. Saya masih ingat, setiap jam 4 sore, saya bersama dua atau tiga teman mengayuh sepeda berputar-putar tanpa arah di sekitar komplek. Sering kali, jalan-jalan kecil dan gang-gang sempit kami terobos hanya demi memuaskan rasa penasaran. Terkadang, kami sedikit terkejut ketika jalan yang kami telusuri mengirim kami ke tempat yang benar-benar asing. Seolah kami menemukan sebuah dunia baru.

Terkadang pula, saya mengayuh sepeda kecil saya sendirian, tanpa ditemani seorang pun teman. Mungkin, seperti yang saya sudah tulis di awal, karena saya terbiasa hidup sendiri saya menjadi berani untuk menelusuri tempat-tempat baru. Suatu ketika, tanpa disadari, saya membawa sepeda terlalu jauh dari dalam komplek. Mungkin karena terlalu asyik menikmati sebuah perjalanan. Saya sedikit terpana dengan gedung-gedung (yang menurut saya pada saat itu) sangatlah tinggi yang berdampingan rapi. Saya terus menyusuri gedung itu dengan sepeda saya. Terkadang sepeda saya arahkan ke teras gedung itu. Dan akhirnya, seorang Satpam berkumis berwajah garang keluar dengan terburu-buru dan menghardik saya dengan kejam. “Huh, salah apa saya?,” saat itu saya bertanya dalam hati.

Setelah kembali ke jalan aspal, saya menemukan sebuah jalan yang sedikit menanjak. Saya menekan kayuh sepeda saya ke belakang (sepeda kuning saya menggunakan rem torpedo) dan menghentikan sepeda. Saya mendengar suara-suara bising di ujung jalan itu. Didorong rasa penasaran, akhirnya anak kecil lugu ini kembali mengayuh sepedanya, menaiki tanjakan kecil, dan menyusuri jalanan kecil. Sesampainya di tempat tertinggi, saya melihat jalanan aspal yang lebih lebar dari jalan komplek, dan lebih ramai. Jalan itu terbagi dua oleh sebuah garis putus-putus menjadi dua sisi. Mobil dan motor berjalan dengan kencangnya di kedua sisi jalan. Saat itu saya berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan itu. Tiba-tiba, terbesit dipikiran saya sebuah ide. Bagaimana bila saya meluncur dari turunan ini dan langsung menuju jalanan. Saat itu saya yakin rem torpedo saya mampu mengerem sehingga saya mampu berhenti pada saat yang tepat. Dan ketika saya menulis tulisan ini, saya sadar bahwa itu adalah ide terkonyol yang pernah dipikirkan oleh seorang anak SD kelas 2. Tanpa pikir panjang, saya langsung meningkatkan akselerasi sepeda saya sekuat tenaga. Jalan menurun itu saya libas dengan kekuatan penuh. Ketika sudah dekat dengan jalan raya, dengan timing yang sudah saya perhitungkan, saya menekan pedal kayuh saya ke belakang. Roda belakang saya menggesek aspal. Stang sepeda saya arahkan ke kiri (demi meniru sebuah film aksi berjudul The A-Team). Misi saya sukses. Sepeda saya memang tidak sampai kepada jalanan raya nan ramai itu. Namun, entah mengapa, dengan cara yang sedemikian rupa, saya terlempar dari sepeda saya dan mendarat dengan dagu saya terlebih dahulu. Saat itu saya memang tidak merasa sakit, sedikit pun. Yang membuat saya heran mengapa orang-orang yang melihat saya terjatuh segera mendatangi saya dengan menampilkan wajah panik. Bahkan ada yang berteriak “Astaghfirullah” (saat itu saya tidak mengerti apa maksud dari teriakan tersebut). Ternyata, ada cairan merah yang telah membasahi baju saya (orang dewasa menyebutnya darah) dan seketika itu juga saya merasakan sakit yang tidak pernah saya rasakan lagi sampai sekarang. Saya ingat ada seorang penjaga warung rokok yang segera bertindak. Ia segera mengambil baju bersih dan menekan dagu saya yang terus-menerus mengeluarkan darah segar. “Jangan nangis, ya. Sing sabar,” ucap bapak separuh baya itu. Saya memang tidak menangis, tapi air mata saya mengalir karena saya harus menahan sakit yang begitu rupa. Bapak itu akhirnya menanyakan dimana saya tinggal dan segera mengantarkan anak malang ini pulang ke rumahnya. Reaksi yang saya dapat dari kedua orang tua. Tentu saja kepanikan yang tak tentu arah. Sembari mengucapkan terima kasih, mama segera merawat luka di dagu saya, meninggalkan ayah yang sedang menanyakan kronologi kejadian. Ah, sungguh lugunya anak kecil.

Ketika saya menulis tulisan ini, saya baru saja melakukan sebuah nostalgia di TKP itu. Susunan gedung putih itu telah berubah. Cat putih cemerlangnya telah memudar bahkan mengelupas. Tempat sang Satpam membentak telah menjadi ruangan kosong yang tertutup kaca retak. Jalan kecil yang dulu saya telusuri ternyata masih memiliki tanjakan yang ternyata tidak terlalu tinggi. Di ujung sana, mobil dan motor masih memenuhi jalan raya, namun garis putus-putus itu telah pudar. Jalanan itu semakin ramai bahkan menjadi macet di jam-jam tertentu. Namun, ada yang tak berubah. Warung rokok di samping jalan kecil masih berdiri kokoh. Ketika saya berjalan menghampiri warung rokok itu, tiba-tiba seorang bapak tua keluar. Dengan mengenakan sarung hijau di pinggangnya, ia membereskan botol kosong dan memasukkannya ke krat-krat kosong. Tubuhnya sedikit bungkuk, garis-garis wajahnya seakan menggambarkan usianya. Wajah itu tidak asing bagi saya. Saya berjalan menghampiri si bapak tua.

“Pak,” panggil saya pendek. Dia menengok, memperhatikan saya sesaat sambil mengkerutkan keningnya. Berpikir keras sesaat.

“Bagaimana dagunya, Nak?,” suaranya bergetar sambil melemparkan senyum. Saya membalas senyumnya sambil mencium tangannya. Dia masih ingat.