The Life of The Un-Manned

Pagi itu, matahari belum terbit. Dinginnya terasa sampai menusuk hingga ubun-ubun. Aku masih berusaha tertidur, namun kulitku serasa menjerit menahan hawa beku. Jendela yang tidak memiliki tirai, tertembus lampu kuning dari luar kamar. Kupaksakan tanganku bergerak, serampangan, mencari jam meja dengan hasil nihil. Gelas bir di ujung meja kecil malah jatuh dan pecah. "Anjing..!!", gumamku. Sepagi ini telah merepotkan aku. Bahkan aku lupa bahwa aku telah meminum segelas bir tadi malam. Tapi rasanya lebih dari segelas. Dengan putus asa, kusibakkan selimut tipis tanpa motifku, mencari-cari kemana larinya jam kecil terkutuk itu. Sambil bersumpah-serapah, aku mencari-cari di sekitar penjuru kasurku.
Akhirnya kutemukan juga jam sial itu, tertelungkup dengan bahagia di dekat sandal. Ah, pukul 5 pagi, namun matahari belum sedikit pun menampakkan sinarnya. Kota apa ini? Seharusnya mentari sudah bersinar terang menyambut hari baru. Akhirnya, dengan segala kekuatan, aku gerakkan seluruh tubuhku. Berusaha keras untuk bangun dari tidur. Engsel-engsel lengan berteriak dan berdecit, seperti engsel tua yang tak lama diminyaki.
Baiklah. Rutinitas lagi. Hari baru untuk rutinitas yang sama. Semangatku telah pudar. Pikiran positifku sudah terurai bersamaan dengan hembusan nafas beratku. Kupejamkan mata, mencoba mengumpulkan roh yang tersebar di setiap sudut ruangan. Berdoa kepada, siapapun yang mampu mendengarkan. Lalu menjejakan kaki ke lantai, yang akhirnya menjadi tindakan paling konyol pagi hari ini.
"Anjing.." Ucapku lemas sambil memandang telapak kakiku yang berdarah dengan aktifnya.